Tuesday, January 24, 2023

Fanatisme Anti dalam Sepakbola

Dalam sepakbola, berlaku (pula) kaidah "Fanatisme Anti" dikalangan supporter. Fanatisme Anti adalah ketidak-sukaan kepada klub tertentu, sehingga senantiasa mendukung lawan dari klub tersebut. Jadi, bukan fanatik "suka" terhadap klub tertentu, namun kebalikannya, yakni "fanatik-tidak-suka".
Tidak hanya di Indonesia, di Liga Inggris-pun berlaku demikian. Apalagi di kalangan supporter klub liga Inggris yang berasal dari Indonesia. Ketika manajer Manchester United, Sir Alex Ferguson pensiun, nampak jelas fanatisme anti itu muncul di kalangan penggemar sepak bola Indonesia. Ferguson pensiun di 2013, tahun itu juga Manchester United kehilangan mahkota juara liga Inggris, diambil alih klub tetangganya, Manchester City.
Banyak kalangan bersuka cita kala Manchester City juara. Namun, apakah mereka adalah supporter Manchester City? Ternyata banyak juga yang bukan. Mereka hanya bersuka cita merayakan runtuhnya dominasi Manchester United.
Di Indonesia, fenomena tersebut nampak jelas, hingga muncul istilah ABM, Asal Bukan Manchester ( United).
Nasib seperti ini juga di alami oleh Arema Malang, sedari dulu. Klub profesional dan kenyang prestasi ini ternyata banyak yang tidak suka, anti. Mungkin karena dominasinya, minimal pernah mendominasi lapangan sepak bola nasional. Mungkin juga karena ke-khas-an supporternya. Ada yang bilang, kalo kalah supporternya ngamuk dan menyerbu turun lapangan. Namun, sejatinya bukan hanya Arema yang pernah demikian. Banyak juga klub yang supporternya pernah begitu. Tampak nyata saat PSSI kalah oleh Thailand di Piala AFF saat tanding di Jakarta, medio akhir Desember 2022. Saat itu juga kesebelasan Thailand diserbu supporter Indonesia rusuh. Jadi, kekecewaan supporter itu merata se-Indonesia, tidak hanya Arema. Namun, karena ada fanatisme anti Arema, maka Arema yang selalu diposisikan rusuh.
Kembali ke topik "Fanatisme Anti". Fanatisme Anti ini umumnya terjadi di ranah politik. Yakni saat peningkatan eskalasi kegiatan politik semacam Pemilu atau masa kampanye. Ketika salah satu partai / kontestan kalah, maka pendukungnya menjadi floating mass dan berpotensi menjadi kubu fanatisme anti.
Dalam kelompok fanatisme anti, dalam sepak bola, terdapat dominasi kalangan rendah pendidikan. Mereka begitu benci klub yang pernah mengalahkan klub idola. Saking bencinya, mereka membenci segala hal berkaitan dengan klub tersebut. Misalkan, kota dimana klub tersebut berasal. Sampai-sampai dia tidak mau menetap tinggal atau sekolah di kota tersebut. Saking bencinya. Kata kuncinya adalah "POKOK-nya", sama dengan kisah ABM di atas, " Pokok-nya Bukan Manchester".
Sebetulnya symptom-symptom seperti ini nyaris selalu ada, namun terbatas, tidak perlu dominan. Karena bila segala sesuatu diambil falsafah "POKOK-nya", ya jadinya fanatisme korslet. Wallahualam.