Friday, January 25, 2013

maulid dan pengemis

Ada beberapa hal yang bagi saya lebih mudah difahami di dalam tataran hakekat. Contohnya tentang pengemis. Seringkali kita jumpai pengemis berduyun - duyun baik di perempatan atau di pingir jalan. Untuk tataran syariat, maka pengemis itu harus disantuni. karena dia adalah dhuafa. Namun apabila pengemis itu ternyata seorang pemalas yang dikoordinir oleh mafia pengemis, maka kita tidak patut mengulurkan uang kepadanya, karena hanya mempopulerkan gerakan "manusia malas". Petakompli yang terjadi adalah, seberapa faham kita mengerti siapakah gerangan pengemis yang mengetuk jendela mobil kita ? Pengemis tulen -kah ? Pengemis geng mafia -kah ? Malaikat yang menyamar -kah ?

Dalam tataran hakekat, yang paling mudah apabila kita memulai dari term "niat". Innamal 'Amalu bin Niyat. Amalan tergantung dari niat. Term "niat" bukanlah pembicaraan dalam tataran syariat. Lihatlah bagaimana mudahnya tataran hakekat membahas soal petakompli yang terjadi dalam menyantuni pengemis yang membingungkan tadi. Bila kita berniat memberi untuk mencari pahala penyantunan, maka itu menjadi benar. Bila kita berniat tidak mau memberi karena hendak memberantas mafia pengemis, maka itu juga dibenarkan.

Kasus kedua adalah Maulid Rasulullah sebagai contohnya. Sebagian muslim menganggap memperingati kelahiran Muhammad sebagai Maulid Rasulullah, adalah tindakan untuk mengenang dan memuja Muhammad SAW. Untuk memuliakan Muhammad SAW.
Sebagian lain tidak merayakan dan cenderung memberi fatwa bid'ah perayaan Maulid dengan alasan hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin. Dan juga akan menciptakan kultus yang berlebihan. Itu adalah tataran syariat.

Dalam tataran hakekat dimana bicara tentang niat, maka bagi yang merayakan Maulid, itulah saat yang tepat untuk memuliakan Rasulullah. Bukan berarti hanya saat itu saja memuliakan beliau, tetapi benar - benar menunjukkan sebagai bentuk kecintaan kepada Rasulullah. Bila itu niatnya, maka dalah tataran hakekat perayaan Maulid Rasulullah jadi tidak ada masalah. Walaupun secara syariat memanglah hal itu tidak pernah dicontohkan baik oleh Muhammad SAW sendiri ataupun pada masa Khulafaur Rasyidin.

Demikian juga bagi mereka yang tidak merayakan. Karena memang menjaga kemurnian ajaran itu hal yang sangat mulia dan berpahala, maka merka tidak merayakan Maulid dengan argumen tersebut. Dan itu dalam tataran hakekat adalah benar. Siapa yang memelihara kemurnian ajaran Islam, maka dia setara dengan pejuang syuhada yang berperang di jalan Islam.

Itulah kenapa, pembahasan tingkatan syariat, hakekat, tarikat, makrifat menjadi suatu solusi. Seringkali kita sudah beradu bogem ketika masih ribut ditataran syariat, dan melupakan mencari solusi di tataran yang lain. Maka, cobalah. Insya Allah memudahkan. [] haris fauzi - 25 januari 2013

Thursday, January 17, 2013

malas dan mengemis

Salah satu penyakit yang tidak kunjung hilang adalah penyakit malas. Dia selalu ada nyaris di segala sudut pandangan mata. Malas tidak hanya boleh diplot kepada orang kere atau bodoh. Orang pintar, pejabat, tidak jarang terlihat malas. Malas itu adalah dampak dari suatu hal. Dimana korelasinya bisa jadi adalah kecocokan. Seseorang bisa saja malas karena suatu hal, tetapi dia rajin untuk hal lain. Inilah yang membuat sifat malas itu menjadi legenda everlasting. Harusnya, orang 'kudu' malas melakukan hal - hal negatif, dan rajin melakukan hal - hal positif.

Jangan salah. Kadang ada seseorang --yang cukup mentereng-- tapi demikian malas untuk hal - hal tertentu, misalkan malas melakukan kerja fisik, walau itu cuma mengangkat bangkunya. Padahal fisiknya bugar. Sedemikian malasnya sehingga dia rela untuk mengemis - ngemis kepada orang lain agar mau mengangkatkan bangkunya. Memohon - mohon dengan memelas atau merayu gombal. Sampe jijik kita bila melihat hal seperti itu. Tapi dia mau melakukan hal itu. Dalam pandangan dia, lebih baik merayu orang ketimbang harus ngangkat bangku sendiri. Ini prinsip orang yang berbeda - beda.

Biasanya, orang menyumpahkan sifat malas kepada pengemis. Memang keterlaluan. Ada tiga "keterlaluan" dalam kategori ini. Pertama adalah yang menyumpah. Yang menyumpah - nyumpah jelas keterlaluan karena kalo memang tidak mau memberi ya ga usah menyumpah gitu. Artinya, dia terpaksa "memberi" kepada pengemis dan gengsi kalo dibilang pelit. Sebuah petakompli yang ga asik tentunya. Sementara pengemisnya juga keterlaluan. Ini term "keterlaluan" yang kedua. Karena menjadi pengemis itu adalah buruk di mata Tuhan. Repotnya, penghasilan pengemis itu jauh lebih baik ketimbang menjadi buruh pabrik. Walau tentunya, menjadi pemulung pasti lebih mulia ketimbang menjadi pengemis. Profesi pengemis itu buruk, nista, dan tidak mulia. Tapi faktanya banyak yang kepincut. Keterlaluan berikutnya --yang ketiga-- adalah malasnya pemerintah menyelesaikan masalah pengemis ini. Ini petakompli juga, dan sangat keterlaluan. Kalo digusur-gusur katanya ga manusiawi. Tapi kalo dibiarkan, akan membudayakan sifat malas. Orang milih menjadi pengemis daripada jadi buruh pabrik. Duit banyak, gampang pula, tinggal tebal muka memelas minta duit ke orang lain.

Apakah ada petakompli yang lain ? Ada ! Contoh : di badan pemerintahan sendiri ada beberapa orang yang bermental pemalas dan pengemis elit juga. Entah jumlahnya berapa. Mereka mengemis ke pihak - pihak lain, berbekal wewenangnya. Beda antara pengemis, preman, dan koruptor. Kalo pengemis mengiba-iba, kalo preman mengandalkan kekuasaan, kalo koruptor melakukan mark-up. Ketiganya bisa dilakukan oleh satu orang dalam waktu yang berbarengan. Atau bersama - sama gotong - royong menjadi pengemis, sekaligus koruptor, sekaligus preman. Hebat bukan ? Ah, sudahlah. Hari ini Jakarta terendam banjir. [] haris fauzi - 17 januari 2013