Thursday, October 30, 2008

kenisah : merangkai nama

MERANGKAI NAMA
 
Setelah saya pikir- pikir, merangkai kata untuk menjadi sebait nama, bagi saya lebih mudah bila untuk nama wanita. Nggak tau atas alasan apa. Ketika menyusun nama untuk anak sulung saya dengan mudah bisa merangkai kalimat menjadi beberapa nama 'puteri' alternatif. Sementara untuk nama 'putera', saya hanya punya satu nama generik, 'Alija Muhammad'. Saya sebut generik, karena memang sudah seperti menjadi kebiasaan keluarga kami, maka setiap anak lelaki harus diberi nama dengan 'Muhammad', atau 'Ahmad'.
 
Ya memang hampir menjadi tradisi. Sebagai contoh, saya adalah empat bersaudara dengan tiga anak laki. Kakak saya bernama 'Muhammad', demikian juga dengan adik laki saya. Saya sendiri ber-awal dengan Ahmad. Mungkin bila saya punya adik laki-laki lagi, maka namanya pasti 'Ahmad' juga.

Semua anak laki-laki dari saudara saya,selalu mengandung nama 'Muhammad'. Ada Amru Hanif Muhammad, ada Asyrif Muhammad, Tsaqovi Muhammad, dan yang paling radikal adalah anak adik saya yang bernama "Husain Ali Muhammad". 'Husain' adalah cucu nabi Muhammad dari Ali bin Abi Thalib. 'Ali' adalah menantu nabi Muhammad.
 
Keluarga Kakek dari Rejodani, (Bapaknya Ayah) adalah keluarga besar, belasan ber-saudara, namun hanya ada tiga anak laki - laki. Dari tiga putera itu, yang paling tua ber-semat nama 'Ahmad'. Mangkanya Bapak saya memanggilnya dengan 'Kang Amat'. 'Kang' itu berarti kakak lelaki, Amat itu panggilan dari 'Ahmad'.
Dari keluarga Gentan ( Orang tua Ibu), keluarga kecil untuk ukuran saat itu, Ibu adalah 4 barsaudara. Perkara nama anak laki-laki, ternyata setali tiga uang. Saudara kandung Ibu yang laki-laki (paklik - paklik saya) juga mengandung nama Ahmad dan Muhamad.
 
Memang, walaupun nama Ayah sendiri tidak mengandung muatan kata 'Muhammad', mendiang Ayah pernah 'mem-fatwa'-kan kepada kami untuk memberi nama anak-anak kami dengan 'Muhammad' karena itulah tokoh tauladan kami, atau 'Ahmad' karena itu sebutan dari nama Muhammad itu sendiri. Katanya sih, memang di-sunnah-kan untuk menyematkan nama seperti itu kepada anak lelaki. Konon untuk 3 anak laki dalam satu keluarga, sebaiknya minimal salah satu bernama dengan 'Muhammad' atau 'Ahmad'.
Mungkin karena itulah, maka saya tidak kreatif merangkai nama buat anak lelaki, dan ter-patron hanya kepada nama 'Muhammad' itu. Pokoknya gitu. Saya juga begitu ter-opini dengan nama 'Muhammad' itu bila dikaruniai putera. Berapapun jumlahnya, bila laki - laki pastilah bernama itu. Walhasil, saya merasa lebih leluasa untuk berkreasi membentuk nama wanita. Ketika anak kedua kami hendak lahir, saya sudah menyiapkan satu nama puteri, panjang dan lengkap. sementara bila 'putera', saya hanya siap dengan 'Muhammad' saja.
 
Oh ya. Saya terbilang cukup cuek dengan jenis kelamin calon anak saya. Saya tidak pernah bertanya - tanya detil, dan bila ada informasi tentang hal itu dari dokter, saya hanya meng-iya-kan. Katanya sih gender bayi itu rahasia Tuhan, dan kita tak kuasa hendak merekayasa bagaimana-pun. Seperti halnya kiamat, seperti halnya umur, maka misteri gender bayi itu mutlak rahasia Tuhan. Sesuatu ketetapan yang tidak bisa diatur - atur di awal, dan sesuatu ketetapan yang tak hendak disesali di akhir. Ya. kalau toh ada teori yang mereka - reka bagaimana membuat bayi laki, atau bayi perempuan, hal itu mungkin hanya isapan jempol belaka. Seperti halnya teori dugaan kapan dunia ini akan terjadi kiamat.
 
Gara - gara sikap cuek itu, maka saya baru tau jenis kelamin anak pertama saya delapan jam setelah anak itu lahir. Otomatis, penyematan nama baru terjadi setelah itu walau 'calon' nama sudah ada di kantong. Dan ketika anak kedua lahir, saya mengetahui pada detik kelahirannya, karena saya berada di ruang tindakan.
 
Kembali ke urusan nama. Ibu saya juga begitu menyukai nama yang saya rangkai untuk 'puteri'. Ibu sering berkomentar bahwa nama pilihan saya sangat indah. Contohnya ketika saya sodori nama alternatif puteri sulung saya,"Salma Farrahani". Ibu begitu antusias sampai beberapa kali menelepon dan berhasrat ikut urun rembug, akhirnya Ibu menambahkan nama tengah menjadi "Salma Fatiha Farrahani". Dan ketika saya menyodorkan nama calon 'putera', beliau berkomentar pendek saja,"..bagus,..Bapak setuju....".
 
Demikian juga dengan kali ini. Menjelang bulan ramadhan (kemarin) berakhir, saya mencoba merangkai nama untuk calon puteri atau putera kami berikutnya. Dan saya dengan lancarnya merangkai untuk calon puteri. Cahaya Fahadaina. Itu nama pilihan saya, dan langsung disetujui oleh Istri, dan langsung dipuji habis - habisan oleh Ibu saya. Sempat saya konsultasikan kepada adik perempuan saya, yang mana dia ini faham penerjemahan bahasa arab. "...nama 'Fahadaina' artinya 'berilah kami petunjuk", gitu kata adik. Nama ini saya ambil mentah - mentah dari nama Ayah.
 
Dan ketika Istri menanyakan untuk nama putera, saya menjawab sedikit gamang lewat pesan pendek: 'Muhammad... Muthahhari ...atau bisa juga Muhammad Fahadaina".[] haris fauzi - 30 oktober 2008
salam,

haris fauzi

Monday, October 27, 2008

kenisah : absurd

ABSURD

(...dan jangan ditiru)

 

Taruhlah seorang kerabat mengajak saya menuju gedung bioskop. Kerabat itu sebut saja bernama Tole. Saya berangkat dengan tanpa harapan, karena toh, ternyata saya dan Tole tidaklah tau apa saja judul film yang bakal diputar di gedung bioskop tersebut. "Mungkin kita bisa memilih disana", gitu hibur Si Tole. Saya dan Si Tole memang sedikit banyak menggemari film bertema mafia. Itu selera wajib bagi orang gemblung seperti saya dan Tole ini.

 

Akhirnya sampailah kami berdua ke hall gedung bioskop, yang terdiri dari empat ruang pertunjukan. Ruang pertama hari ini memutar film berjudul "Pocong Kecekik", ruang kedua memutar judul "Pocong Kesambit", ruang ketiga memutar film "Pocong Terbang", dan ruang terakhir memutar "Pocong Gantung".

 

Kalau toh harus menonton, kira - kira, bagi saya, maka saya tentu tak hendak menonton, kecuali ada film yang seleranya nyerempet selera saya, taruhlah yang berjudul "Pocongan Ber-Lupara di Sisilia".Tapi kala itu tak ada yang nyenggol.

Bolehlah kerabat saya itu memaksa hendak menraktir nonton, tapi, apalah artinya bila saya tak berselera dengan judul yang hendak di tonton. Berujung begitu, maka saya pasti memilih hengkang dari sinepleks dan ngelantur entah ke mana, mungkin ke toko buku atau ke toko musik.

 

Apabila kejadian itu memang benar - benar terjadi, maka pilihan saya adalah pergi meninggalkan sinepleks.Itu bagi saya lebih baik. Namun, sekali lagi, cerita di atas hanyalah tinggal cerita. Permisalan belaka.

 

Hari ini, pagi tadi, tanggal 25 oktober 2008, kota kami tercinta, Bogor, mengadakan Pemilihan Umum untuk Walikota. Ada lima pasang calon Walikota. Dan entah kenapa, semenjak masa kampanye, kelima calon itu tak ada yang memenuhi selera saya untuk mengikuti pesta demokrasi ini.

Seperti halnya pemilihan presiden tahun 2004 lalu, ketika jagoan saya, pak Amien Rais tidak lolos putaran kedua, maka saya sudah tidak berselera lagi mengikuti putaran final, yang akhirnya dimenangkan oleh pasangan yang kini kita semua sudah ketahui bersama.

 

Mungkin ada yang salah dengan selera saya. Mohon jangan anggap saya menyama-ratakan calon walikota dengan film misteri. Tapi pandanglah dari sisi 'pemenuhan selera'. Ketika disodori empat film, ketika disodori lima calon walikota, dan ketika semuanya itu tidak ada yang memikat hati dan pikiran saya.

 

Namun, bila hanya menyalahkan selera saya, maka jangan disalahkan apabila akhirnya saya memilih untuk mengisi waktu dengan kegiatan yang lain.Tanggal 25 oktober 2008, saya merasa letih. Semenjak pagi subuh mata masih saja mengantuk. Memang sudah tiga hari saya bergadang dan pulang larut. Saya ingin istirahat, sambil memutar album "Starker In Tokyo". Sebuah album panggung akustik yang membuktikan bahwa David Coverdale masih-lah menjadi vokalis rock terbaik yang pernah ada di jagat ini.[] haris fauzi-25 oktober 2008

 

salam,

haris fauzi

Thursday, October 23, 2008

kenisah : sebuah paradigma tentang paradigma

SEBUAH PARADIGMA TENTANG PARADIGMA

 

Sejak tahun 1993, kira - kira, saya senang mengonsumsi minuman isotonik. Namun, karena harganya cukup mahal, dan kala itu saya masih tertatih - tatih sebagai mahasiswa, maka saya baru bisa dengan leluasa mengonsumsi dikala sudah bekerja, paska 1995. Di samping tuntutan karena ternyata bekerja lebih meletihkan ketimbang kuliah. Tidak begitu banyak, paling dalam seminggu saya meminumnya satu atau dua kaleng, maksimal tiga-lah. Ya. Kala itu memang minuman isotonik masih dikemas dalam kaleng seukuran 330 mili-literan (kalo ga salah)

.

Beberapa kaleng bekas kemasan minuman tersebut tidak saya buang. Saya manfaatkan sebagai tempat lilin. Maklum, rumah kami di seputaran Bogor Utara, sering padam listrik bila turun hujan lebat atau badai petir. Caranya begini, kaleng tersebut setengahnya saya isi dengan coran semen sehingga berat dan mampu menegakkan lilin. Trus, tinggal lubang atasnya diperbesar sesuai diameter lilin yang hendak ditancapkan. Aman dan kokoh. Jadi, ada sekitar sepuluh tempat lilin di rumah kami, semua berasal dari kaleng minuman isotonik tersebut, berwarna dominan biru langit dengan celeret putih-nya yang khas.

Tahun 2000 lahir anak pertama kami. Rumah kami masih tetap menjadi langganan listrik padam. Dan kami merasa aman dengan tempat lilin bekas kaleng isotonik tersebut. Kami cukup menjaga anak bayi kami agar tidak terlalu mendekati lilin tersebut. Lucunya, bayi itu menyukai nyala lilin, sekaligus menyukai warna biru tempat lilinnya. Di setiap sudut, dia selalu hendak menghampiri lilin, berikut tergirang ketika diijinkan memegang kaleng bekas tersebut. Ketika sudah sekolah, barulah saya menyadari, ternyata anak saya memang menyukai warna biru, warna dominan kaleng isotonik tersebut.

 

Dan tahun 2002, kira - kira, minuman isotonik itu mengeluarkan produk terbarunya. Yakni minuman isotonik berbentuk serbuk dalam kemasan saset. Tinggal diseduh, aduk, bisa diminum. Karena harganya lebih murah, maka saya cenderung membeli yang kemasan saset. Kemasannya tipikal, yakni warna biru mendominasi dengan celerat putih yang khas.

Saat itu anak kami, Salma, sudah besar. Sudah bisa berpikir cukup terang. Ketika melihat Istri saya belanja dan salah satu barangnya adalah minuman saset tersebut, kontan Salma yang masih berumur dua tahunan berujar :" mama beli tempat lilin..."

 

Inilah paradigma. Salma, yang sejak kecil melihat, bahwa warna biru dan celeret putih adalah tempat lilin, maka ketika melihat hal tersebut di tempat lain, dia akan menganggap kesamaan itu sebagai tempat lilin juga. Tertancap kuat. Bahkan ketika melihat baliho besar yang meng-iklan-kan minuman tersebut, Salma masihlah beranggapan bahwa baliho tersebut adalah ihwal lilin.

 

Itulah mengapa Stephen R. Covey dalam bukunya yang terkenal "7 Habits of Highly Effective People" membuka tulisannya dengan kiat atau cara - cara mengubah paradigma. Sungguh ini bukan basa-basi. Bagi Covey, apalah artinya membaca tujuh kiat, bila ternyata orangnya tidak mau mengubah paradigmanya. Tidak akan berguna. Covey memandang paradigma sebagai sesuatu yang sangat krusial untuk bisa meningkatkan harkat dan efektivitas manusia. Dan tidak sekedar krusial. Ternyata untuk mengubah paradigma adalah hal yang tidak mudah, dan mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama.

 

Tentang paradigma anak saya tadi. Kira - kira, saya membutuhkan waktu satu tahun untuk bisa mengubah pandangan dia ihwal tempat lilin tersebut. Coba tengok, untuk mengubah paradigma tentang hal sepele seperti itu, saya membutuhkan waktu satu tahun.

Marilah sekarang kita berkaca kepada bangsa ini. Banyak kejadian yang semestinya bisa diperbaiki, namun termentahkan gara – gara paradigma yang ada yang mana telah tertancap kuat. Bila kita mengambil contoh gampang ihwal pungutan liar di jalanan --atau biasa disebut mel-- dari pengemudi truk berlebih muatan yang disetor kepada polisi. Sebetulnya, apakah oknum polisi tersebut tidak sadar akan kesalahannya ? Apakah si sopir tidak faham akan penyuapan ? Saya yakin semuanya sudah dewasa dan berakal sehat. Mengerti hal tersebut adalah kesalahan. Namun, mengapa hal tersebut terjadi berulang - ulang ? Meremehkan ? Ketagihan ? Mungkin saja. Tetapi faktor utama terletak kepada paradigma. Bahwa hal tersebut biarpun salah, tetapi memperlancar urusan dan menguntungkan kedua fihak. Toh tau sama tau ini. Maka, jadilah pelanggaran berjamaah.

 

Mungkin saja alasan keterpaksaan menjadi prioritas. Bila kita melihat contoh yang juga cukup  gamblang namun rumitnya minta ampun, yakni acara gusur - menggusur pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima seperti kejar – kejaran dengan petugas ketertiban kota. Namun suatu ketika mereka akur bila suatu saat para pedagang itu ditarik retribusi. Entah ini retribusi dianggap sebagai retribusi murni, atau dianggap sebagai uang 'backing'. Rumitnya bisa dimulai disini, ketika gusur - menggusur digencarkan kembali. Merasa sudah membayar retribusi, pedagang pasti ogah pergi. Apakah alasan penggusurannya ? Karena toh para pedagang kaki lima itu juga sedikit nyinyir, bahwa setoran retribusi itu bisa saja masuk kantong aparat, tidak untuk kemaslahatan negara. Belum lagi urusan tata kota yang tidak lepas dari kepentingan sebagian kecil konglomerasi. Kadangkala pemodal pembangunan memaksakan dengan halus rencana bisnisnya sehingga –sama dengan pedagang kaki lima—melanggar tata kota. Namun karena duit punya kuasa, maka peraturan itu bisa dikompromikan dengan akomodasi kepentingan bisnisnya. Semua faham ihwal posisi kesalahan dan letak benarnya. Dan apabila ada sebuah kesalahan yang harus dilakukan, namun diketahui dua fihak, maka mereka-pun menganggap semuanya telah beres. Setelah ini, kerumitan demi merumitan akan diatur seperti menumpuk jerami, hingga akhirnya terlalu sulit untuk diurai. Banyak elemen yang berbicara disini, namun bagi saya hal ini adalah kasus yang tak bisa lepas dari elemen yang disebut paradigma.

 

Paradigma yang salah. Karena memandang sebuah kesalahan sebagai bentuk yang boleh dibenarkan bila telah dimaklumi bersama oleh pihak - pihak tertentu. Awalnya kecil, namun karena terangkai dengan yang lain akhirnya bikin puyeng. Makin rumit dan makin rumit.

 

Saya bukannya memandang pesimis terhadap perubahan dan perbaikan dalam negara ini. Sungguh perubahan itu telah terjadi, seperti apa kata Goenawan Mohamad, bahwa perubahan pada diri bangsa ini telah pernah terjadi, pernah ada. Namun, perubahan belumlah tentu perbaikan. Syukurlah bangsa dan negara kita sudah berubah. Ini penting dan patut disyukuri. Karena dengan perubahan, barulah kita beranjak menuju perbaikan. Alangkah susahnya hendak berbenah bila paradigma kita tidaklah mau berubah.

 

Ya. Sekali lagi saya tidak memandang pesimis. Namun, saya sekedar ber-perspektif ke depan dan kebelakang sekaligus. Bahwa apa yang pernah terjadi dan berubah di negara ini, membutuhkan waktu yang cukup lama. Bila anak saya untuk mengubah paradigma sederhana –ihwal tempat lilin tadi-- butuh waktu satu tahun, bahkan bangsa ini membutuhkan waktu hampir dua puluh tahun untuk faham dan mengubah paradigma tentang suksesi kekuasaan. Terasa alot. Kita semua tahu dan maklum, bahwa era 80-an adalah tabu membicarakan pergantian kekuasaan. Semua bilang seperti itu. Namun, apakah jaman itu tidak ada yang sadar bahwa kekuasaan yang terpusat kepada satu orang seperti itu hanyalah akan mengubur demokrasi ? Entah kalo negara ini monarki. Tapi ini republik, Bung ! demokrasi rakyat kuncinya. Dalam republik, suara rakyat adalah suara Tuhan. Tetapi, kita semua kala itu memakluminya, atau mungkin ketakutan dengan hal itu.

Hingga bangsa ini baru berubah pada penghujung abad dengan badai reformasi yang menghanyutkan banyak pengorbanan. Ya. Bangsa ini baru berubah pada jaman itu, setelah dua puluh tahunan. Berubah ke yang lebih baik ? Belum tentu ! Kala itu bangsa ini masih bersyukur sudah bisa berubah. Merubah paradigmanya tentang suksesi. Setelah ini, barulah bangsa ini hendak merencanakan perubahan menuju perbaikan. Menuju perubahan dan perbaikan akan hal – hal lain, menyebar pelan – pelan. Saya nilai pelan, karena memang setelah lebih sepuluh tahun, dampak ledakan reformasi ini masih merayap sahaja jalannya. Ya walaupun terasa berat, perjalanan yang bakal terasa lama dan tak hendak bisa diperkirakan sampai kapan, dan dengan langkah yang tertatih – tatih, namun, langkah itu harus tetap kita ayunkan.

 

Adalah prestasi bila bangsa ini sudah melewati koridor perubahan. Tak hendak pesimis. Karena bila kita berkecil nyali, maka kita malah merugi banyak sekali. Ongkos perubahan yang sudah dibayarkan terlalu banyak. Dan bila kita berputus asa, maka bayaran itu akan sia – sia menguap begitu saja. Dan, kelak, ketika bangsa ini hendak mencoba berubah lagi, maka akan membayar upeti yang mungkin lebih mahal lagi. Ya. Pengorbanan yang berulang pasti akan lebih mencekik dan membuat derita. Untuk itu tak ada pilihan lagi,  untuk membawa bangsa ini memandang cakrawala yang lebih baik, perubahan yang sudah dirintis di era reformasi harus terus digulirkan. Saya yakin sebagian besar komponen bangsa ini menghendaki perbaikan dalam bernegara dan berbangsa. Perubahan dan perbaikan ini harus dimulai dengan kemauan untuk mengubah paradigma yang telah usang dan lapuk, namun mengakar kuat dan susah dicerabut ini. Mari kita membuka pikiran dan hati, agar bisa mengerti, bahwa betapa perubahan itu diperlukan untuk berjalannya perbaikan itu sendiri. Mari kita mencoba berubah, merancang paradigma baru dan memulai dari diri kita sendiri.[] haris fauzi - 23 oktober 2008

salam,

haris fauzi

Monday, October 20, 2008

kenisah : jadi maling

JADI MALING
 
Saya pernah beberapa kali nyolong. Ini tiga ceritanya yang saya ingat cukup detil.
Yang pertama adalah maling blimbing. Jadi, dalam perjalanan pulang dari sekolah, kami melewati jalan besar. Namanya jalan Hamid Rusdi. Sekolah saya di jalan itu juga, namanya SD Putra rata tama, alamatnya jalan Hamid Rusdi nomer 100. 
 
Jalan itu masih seperti dulu, nggak juga diperlebar. Dan di salah satu sisinya ada trotoar lebar. Bukan trotoar, tetapi cuma jalur hijau gitu saja. Saking jauhnya jarak pagar rumah ke pinggir jalan, membuat jalur hijau itu demikian lebar. Beberapa kali saya tawuran di trotoar itu. Di area jalur hijau itulah ada salah satu rumah yang memiliki pohon belimbing yang sering banget berbuah. Saya biasa pulang sekolah bertiga, dengan Budi dan Wing.
 
Seingat saya, rumah itu adalah milik teman tetangga saya. Jadi tetangga saya ada yang berteman dengan anak rumah berpohon belimbing itu. Saya, Budi, dan Wing memang sering kehausan bila pulang sekolah kala matahari terik pas gelincir waktu dzuhur. Dan ketika melewati rumah itu, semula kami cuma memandang.  Besoknya kami melompat ke dahan yang keluar pagar, dan meraih buah yang bergelantung bebas di atas jalur hijau itu.
Lama - kelamaan kami makin berani, kami mulai bergantian memanjat pagar, hingga merayap pagar pembatas dua rumah mendekati rumah dan memanen buah yang ranum. Tapi kami belum menginjak area rumah itu. masih di pagar batas.
 
Namanya maling, sekali berhasil, pasti ngelunjak. Suatu ketika nggak ada lagi buah yang menjuntai ke luar pagar. Nggak ada lagi buah yang bisa diraih dengan memanjat pagar antar dua rumah. Kami bertiga mulai adu nyali. Suatu ketika pintu pagarnya terbuka. Kami memberanikan diri masuk, eh, rasanya yang pertama masuk Si Wing. Trus meraih sebuah belimbing yang terdekat. Lantas kabur.
 
Lama - lama kebiasaan, ternyata aman. Dan pintu pagarnya jarang ditutup. Kami bergiliran tugas masuk, andai hari ini Wing, maka saya besok, dan Budi besoknya. Bahkan kami juga sudah mulai berani membuka grendel pagar andai grendelnya terselot.
 
Kalo diingat, rasanya pas giliran Wing yang harus masuk pagar, kala itu kepergok. Dan kami bersembunyi, Wing yang berada di dalam ngacir lari keluar. Sementara saya dan Budi nggak pernah kepergok. Misi selalu sukses.
 
Gerakan maling yang kedua adalah ketika saya nyolong kaset. Ini sungguh dahsyat, saya nggak pertimbangkan resiko besarnya kala itu. Toko kaset itu berada di dalam mall yang banyak sekali satpam-nya. Memang di toko kaset itu cuma sedikit penjaganya. Tapi andai ketahuan dan saya berhasil kabur keluar dari toko itu, praktis beberapa satpam akan menghadang saya di hall mall. Resiko yang sungguh besar dibandingkan dengan apa yang saya peroleh, 500 perak. Lho kok 500 rupiah ? Ya. Sebenarnya saya tidak nyolong sepenuhnya. Tapi menukar isi kaset. Jaman itu ada kaset yang berdurasi 60 menit, disebut C-60. Dan yang berdurasi 90 menit, C-90. C-60 berharga 2250 rupiah, C-90 berharga 2750. Saya kepingin kaset yang C-90, tetapi apadaya, duit cuma ada 2500 rupiah.
 
Aksi itu nggak saya lakukan sendirian. Saya bersama Wawan, tetangga sebelah. Yang nyolong saya, tapi yang mbantu dia.
Walhasil, setelah atur siasat dan mengamati kondisi kami memberanikan diri memasuki toko kaset dan langsung menuju TKP. Saya memilih beberapa kaset, dan sesuai skenario teman saya seakan iseng mengambil beberapa kaset lain juga. Beberapa saat kemudian saya menukarkan isinya. Setelah mencobanya sebentar, saya bawa ke kasir dengan tenang, dan membayar 2250. Teman saya masih asyik pura - pura milih kaset dan membongkar - bongkar isinya. Setelah saya hampir kelar urusan bayar - mebayar, dia baru menyusul ke kasir lantas kami berdua jalan ke luar. Langsung ke parkiran, ambil sepeda pancal dan pulang. Hahahahaha. Dasar gendeng.
 
Yang juga gemblung adalah ketika saya nyolong buku di pasar. Sendirian. Nekad. Ketahuan pula. Untung nggak digelandang ke kantor pengelola pasar.
Critanya gini, saya pengen punya dua majalah, tapi duitnya cuma cukup buat beli satu. Nekad saya lapiskan dua majalah itu jadi satu dengan menyelipkan salah satu majalah di tengah - tengah majalah yang lain. Pas membayar, saya cuma melambaikan buku itu ke penjaga warungnya. Harapan saya dia tau harganya dan langsung oke tanpa memegang majalah yang kini tebalnya menjadi dua kali lipat itu. Tapi dasar sial. Dia pengen memeriksa dulu majalah itu. Dueeer !!! Ketahuanlah beta. Diomelin sama yang jaga. Dan disuruh bayar keduanya. Tapi karena saya nggak punya duit cukup, maka satu majalah saja yang disorongkan kepada saya sambil ngedumel dan memaki-maki. Nasib, nasib. [] haris fauzi - 17 oktober 2008


salam,

haris fauzi


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

Thursday, October 16, 2008

kenisah : secarik koran yang merisaukan

SECARIK KORAN YANG MERISAUKAN
 
Lehman Brothers Holding. Inc,- Tahun bangkrut 2008, asetnya tercatat mencapai USD639 miliar sebelum bagkrut....
 
WorldCom.Inc,- tahun bangkrut 2002; Asetnya tercatat mencapai USD104 miliar sebelum bangkrut...

Enron Corp. Tahun bangkrut 2001. Nilai total aset sebelum bangkrut sebesar USD66 miliar....penipuan hitungan penganggaran...hingga akhirnya mendesak status bangkrut...

(secarik koran, medio akhir september 2008)
 
Mendekati akhir ramadhan, dunia ini dikejutkan dengan peristiwa 'Black Friday'. Media dan koran ramai membicarakannya. Kejadian yang membuat raksasa asuransi dunia AIG, hampir terjungkal andai tidak diselamatkan oleh pemerintah Amerika Serikat. AIG --sebagai kelompok asuransi terbesar se-dunia--katanya-- dengan memasang iklan di kesebelasan paling mahal sedunia; Manchester United,-- tidak dinyana, akhirnya harus menyedot dana rakyat. Yang jelas - jelas tidak sedikit.
 
Saya bukan seorang pengamat ekonomi, saya bukan pula orang yang mengerti ihwal penghitungan finansial, yang berkabar bagaimana selembar saham bisa mengubah dunia. Demikian juga dengan secarik koran bekas tersebut. Secarik koran itu mengubah saya, menjadi seorang yang serba khawatir. Membuat saya jadi menerawang jauh ke belakang, mengingat - ingat bagaimana budaya kapitalisme menjalar dan menggurita, dengan segala tetek - bengek kerapuhannya. Dan kepalsuannya. Dan kemudian menyengsarakan banyak orang kecil.
 
Saya jadi teringat salah satu idola saya, Pak Adi Sasono, yang gara - gara straight forward melawan sistem kapitalisme dan konglomerasi ini akhirnya dijuluki oleh majalah Far Eastern Economic Review sebagai "Indonesia's Most Dangerous Man (?)". Adi Sasono sering menyampaikan bahwa bangsa ini terbawa - bawa arus kapitalis, mulai dari ritel hingga perusahaan - perusahaan besar, terproteksi oleh pemerintah menjadi monopolis, dimanjakan mendapatkan dana dari perbankan, dan setelah bangkrut, beban terbesar ditanggung oleh negara, berarti oleh rakyat. Pengusahanya sendiri kabur, atau menghilang, dan kemudian masih bisa menikmati hidup mewah. Padahal, bangsa ini bukan tempat yang cocok bagi sistem kapitalis.
 
Tempat yang cocok ? Seingat saya, semenjak era filosofi materialisme menggusur spiritualisme, maka ada dua tempat yang menjadi pertumbuhan gaya filsafat ini, sistem sosialisme tumbuh subur di wilayah sosialis, dan lantas sistem kapitalisme tumbuh menggurita di wilayah masyarakat liberal. Setidaknya begitu menurut filsuf modern Murtadha Muthahhari.

Ya. Amerika dan Soviet, tentunya yang dimaksudkan Muthahhari. Ladang di Sovyet sudah terbakar duluan, dan kini, bahkan di ladangnya sana, Amerika Serikat, ternyata 'black friday' hampir saja menjungkalkan sistem kapitalisme ini.
 
Seiring dengan ketidaktahuan saya, yang jelas benar - benar membuat rasa khawatir ini tumbuh. Khawatir akan kondisi disini. Di tanah dimana berpijak ini, suatu tempat yang masih sering disibukkan dengan kecompang - campingan sistem perekonomiannya, dimana aturan masih gamang, yang masih sering dimanipulasi dan ditelikung oleh orang - orang yang serakah. Bagaimana industri besar berjamur dan menggilas usaha kecil, sudah bukan tontonan langka lagi disini. Ketika satu usaha besar berdiri, dia menggilas puluhan usaha kecil. Ketika usaha besar itu berkembang, dengan segala usaha akhirnya menyerap dana besar dari perbankan sehingga pengusaha kecil gak kebagian. Dan ketika usaha besar itu bangkrut, maka pemerintah kewalahan menutup kerugiannya. Membangkrutkan bangsa dan rakyat. Ya. Mereka menggurita di tanah yang sangat tidak stabil ini. Membuat kekhawatiran yang semakin menggunung. Menggunung.[] haris fauzi - 16 oktober 2008

salam,

haris fauzi

Wednesday, October 15, 2008

kenisah : pramuka sakit gigi

 
PRAMUKA SAKIT GIGI
 
Sejak kecil saya menderita flu dan penyakit tenggorokan. Cukup berat. Oh ya, sebelum saya bercerita tentang sakit gigi, maka saya bercerita tentang sakit flu dulu. Nggak tau flu atau apa, yang penting hidung ini meler terus - terusan, batuk juga bertubi - tubi. Mungkin dasar anak kampung. Apalagi Bapak belum punya mobil, jadi kalo pergi malam, pasti keterpa angin, karena kalo nggak naik becak, ya naik motor. Hampir setiap malam tubuh ini dibalur minyak kayu putih atau balsem. Jaket-pun tebal lengkap dengan selendang membebat leher. Kota Malang dimana kami tinggal memang dingin kala itu.
 
Bertubi - tubi dengan urusan dokter, nama dokternya Bu Arif, namun nggak kunjung sembuh, akhirnya saya di gurah oleh dukun. Lendir yang dikeluarkan banyak sekali, saya memekik kesakitan. Rasanya itu jaman saya berumur lima tahun. Setelah peristiwa gurah itu, saya jadi jarang sakit, walau masih cukup sering dibanding anak lain. Tetapi dengan obat dari Bu Arif, segalanya beres. Repotnya saya jadi sering mengonsumsi obat - obatan. Dan konon, dari sinilah dimulai sakit gigi. Ada yang bilang, obat - obatan bisa mengacaukan pertumbuhan dan kekebalan gigi.
 
Memasuki jaman SD, saya beralih langganan. Urusan pilek udah beres, sekarang jadi langganan dokter gigi. Bapak seorang tentara, jadi saya berobatnya ke Rumah Sakit Tentara. RST Soepraoen namanya, letaknya cukup jauh dari rumah, musti naik bemo. Rumah Sakit tersebut bangunan Belanda, dokternya juga kebanyakan berwajah sangar. Untuk urusan gigi, beberapa kali --walau nggak selalu-- saya kebagian bu dokter yang relatif ramah, kalo nggak salah namanya Bu Eko Wiludjeng, dan satu lagi lupa saya. Yang belakangan ini akhirnya buka praktek dokter gigi deket rumah.
 
Jaman SD, kelas lima, saya pernah naik pangkat di kepramukaan, dari siaga menjadi penggalang. Tepatnya penggalang ramu, pemula. Dan entah kenapa saya naik pangkat juga ga cukup jelas. Pas ada acara kepramukaan, saya cuma dapat poin cukup bagus di baris - berbaris dan upacara. Urusan tali temali nilainya cukupan. Sementara sandi semaphor dan morse masih ketinggalan. Walau banyak yang lebih gak bisa dibanding saya.
 
Setelah naik pangkat itu, ada semacam kegiatan olimpiade pramuka se-gugus depan. Saya ikutan di nomer baris - berbaris, penjelajahan, dan baca puisi. Dan saya tidak mengira, penyelenggaranya adalah RST Soepraoen. Memang di lingkungan rumah sakit tersebut banyak pedesaan --kala itu-- dengan rute penjelajahan yang cukup menarik bagi siswa SD-SMP. Ada area perkuburan dan persawahan.
 
Pagi hari, pertandingan perdana adalah penjelajahan. Asli kelompok kami babak belur, banyak sandi dan tugas perjalanan yang tidak perpecahkan. Walau rute nggak pernah kesasar, dalam arti pembacaan medan sudah benar, setiap pos disinggahi dan ambil poin. Ketua regu, Bowo, sudah pasrah, karena detektif di kelompok itu adalah saya, dan saya di samping kecapekan tersengat matahari, banyak sandi yang saya belum pelajari. Huh. Capek habis. Saya nyerah, Bowo diam. Kami memasuki garis finish tepat waktu, namun lunglai karena tugas terbengkelai.
 
Waktu ashar, kami mengikuti lomba kelompok berikutnya. Capek, Rek ! Yakni baris - berbaris yang diadakan di lapangan parkir rumah sakit. Sekali lagi, saya menjadi juru aba, komendannya tetap Bowo. Leher sampe hampir putus kekeringan. Untung, walau letih, kami masih kompak. Dari dua pertandingan ini, kami semua mendapat hasil cukup, naik panggung, tapi nggak dapat tropi. Kisaran juara harapan, saya lupa tepatnya berapa.
 
Dan, pertandingan berikutnya, selepas maghrib adalah .....lomba baca puisi perorangan. Sehabis berteriak - teriak mengadu aba di lomba berbaris, saya harus menyimpan urat vokal saya untuk lomba baca puisi yang satu ini. Di lomba puisi ini, seperti yang lain, dibagi berdasar kelas. Ada kelas siaga, ada kelas penggalang. Seingat saya sekolah kami mengirim tiga orang pembaca puisi untuk ikut di kelas penggalang, yakni Maria, Ulfa, dan saya.
 
Setengah jam sebelum lomba, saya sudah memasuki aula. Saya lihat panggungnya, bikin gentar. Karena baru sekali itu saya akan manggung lomba. Pertama kali dalam hidup naik panggung, pas lomba RT aja saya nggak pernah mau ikut. Pak Mardji, guru sekaligus pelatih saya membenahi baju saya. Dan nggak nyangka, nggak jauh dari Pak Mardji duduk sosok yang saya hafal betul. Ya, benar, Bu Dokter Eko ! Lengkap dengan seragam tentaranya. Saya menghampirinya. Dia kaget dan tanya,"..ini putranya pak mayor, kan ?". Bu Eko merujuk pangkat Bapak saya. Memang, dalam kartu pasien, saya diatas-namakan orang tua, nama Bapak saya, jadi Bu Dokter hafal nama Bapak saya.
 
Tak lama kemudian, nama saya dipanggil oleh protokol lomba. Dengan bergetar saya naik panggung. Memulai ritual hormat dan pembacaan awal dengan canggung, demam panggung. Lawan saya kebanyakan anak SMP, sesama penggalang. Puisi andalan saya adalah "Cah'ya Merdeka", karya Usmar Ismail. Dada ini berdegup kencang.
 
Usai pembacaan dan penghormatan, saya berusaha elegan turun panggung, padahal pengennya ngabur aja secepatnya. Habis gitu makan malam. Menunggu pengumuman.

Saat pengumuman, saya tidak banyak berharap, mengingat lawan saya kebanyakan anak SMP, yang berpangkat penggalang juga tentunya lebih senior. "Lomba baca puisi tingkat penggalang putra", demikian suara protokol terdengar setelah mengumumkan banyak hasil lomba. Kuping saya menegak, jantung berdegup. "Juara tiga, Haris Fauzi dari SD Putra Rata-Tama..., juara dua.....", nggak kedengaran apa-apa lagi. Teman - teman bersorak seperti orang gila. Pak Mardji kaget dan gembira setengah mampus. Saya bingung harus gimana. Saya digelandang naik panggung. Disebelah saya, sang juara satu dan dua, semua anak SMP, tinggi besar. Sementara saya yang sakit - sakitan ini teronggok dipinggir dengan berat badan 22 kilo saja. Saya menerima piagam. Dan setelah turun piagam saya serahkan kepada Pak Mardji. Bu Dokter Eko menghampiri saya dan mengucapkan selamat,"...wah..Pramuka sakit gigi juara ya...". Saya cuma tersenyum dan ingin segera pulang guna melaksanakan kaul. Saya berjanji bila saya menang, maka saya akan mengubur teks puisi yang saya baca tersebut. [] haris fauzi - 15 Oktober 2008

salam,

haris fauzi

Tuesday, October 07, 2008

kenisah : baju lebaran

BAJU LEBARAN
 
Di kampung saya tinggal, --bukan kampung mudik lho ya-- solat Ied dilaksanakan di lapangan tenis.Selesai itu, kita rame - rame bersalaman di muka pos gardu.Terlambat saya datang, maklum, saya sempat ngobrol dulu dengan para pengurus mesjid yang kebetulan memang sudah kenal akrab, apalagi sebaris dengan saya sholat di shaf terdepan.
Sudah banyak yang bergerombol di pos gardu. Ini asli adalah warga muslim yang tetinggal belum atau yang tidak pada mudik. Ada sekitar dua puluh lima pasang, berikut anak - anaknya....kalau saya hitung sekitar lima puluhan orang dewasa.  Tertawa dan saling bercanda di depan pos gardu, khas tipikal warga komplek kami, nggak tua nggak muda doyannya guyon melulu. Sekali saya kena permak, saya disapa dengan," Selamat Lebaran Pak Petani...! cangkulnya kok gak dibawa ? Ha..ha...ha....". Dia mengacu pada pakaian yang kala itu saya kenakan untuk sholat Ied hari itu.

Hari itu tanggal satu Oktober, pas lebaran.  Memang sudah kebiasaan saya, tidak terlalu merisaukan baju yang dikenakan buat lebaran, karena menurut saya bukan itu esensinya. Baju ya tinggal baju saja. Oke. Saya coba diskripsikan apa yang saya kenakan pada hari itu. Saya mengenakan kaos oblong warna hitam. Salah satu baju kesukaan saya. Kaos itu saya beli seharga delapan ribu rupiah pada tahun 1993, di saat saya masih kuliah dan melancong ke Taman Safari Puncak. Untuk ukuran jaman itu, saya pandang mahal harga segitu. Semula memang pada bagian depan terdapat gambar macan --salah satu hewan kesukaan saya-- berwarna krom. Namun sekarang, setelah lebih sepuluh tahun digilas mesin cuci, pasti gambar tersebut sudah memudar. Bukan hanya gambarnya, warna dasar hitam kainnya juga sudah berbulu dan tidak kencang lagi. Namun, semakin kendor, maka pakaian itu semakin nyaman untuk dikenakan.

Semula saya hendak mengenakan celana panjang putih yang sudah tergantung di kamar. Maklum, dikarenakan Istri memberi cuti seminggu kepada pembantu, maka pakaian harus di hemat, jadi yang sudah tergantung, sebaiknya didayagunakan semampunya. Namun saya urung mengenakan celana panjang putih itu. Untuk berangkat solat Ied saya akhirnya tidak mengganti pakaian yang sejak subuh saya kenakan. Selain kaos oblong hitam, celana tiga perempat warna putih juga akhirnya saya kenakan ke lapangan. Saya nggak mau ribet. Oh, ya. Yang saya maksud dengan celana tiga perempat adalah celana yang tingginya setengah betis, jadi berada di bawah dengkul, tetapi sekitar sejengkal setengah dari tapak kaki ke atas. Jadi kayak celana monyet. Celana putih itu sendiri semula adalah celana seragam pembagian dari pabrik dimana saya bekerja. Seingat saya dibagikan tahun 1998. Dan karena saya pindah kerja ke lain pabrik, maka celana itu tidak saya kenakan lagi ke pabrik, melainkan saya pakai buat di rumah saja. Biar nyaman dikenakan, celananya sendiri saya potong dibagian setengah betis. Saya gunting begitu saja, nggak perlu sama persis antara kaki kanan dan kaki kiri. Ujungnya pun tidak lagi saya lipat jahit. Saya biarkan terburai benang - benangnya. Ini celana yang cukup nyaman untuk saya kenakan sehari - hari.

Namun, saya tentunya tidak bisa ber-sholat mengenakan celana seperti itu. Kurang rapat menutup auratnya. Untuk itu, saya pake sarung. Sarung ini adalah sarung warisan dari Ayah. Seingat saya dibeli saat saya SMP. Mangkanya --mengingat umur uzurnya-- di sambungannya ada 'bedhah' atau sobek sekitar satu jengkal. Repotnya, saya tidak biasa mengenakan sarung untuk berjalan atau beraktivitas. Akhirnya sarung itu saya kenakan hanya ketika sholat, selesai sholat, sarung itu saya selempangkan ke bahu seperti Si Unyil.

Nah. Atas dasar pakaian yang saya kenakan itulah, saya pas lebaran kali ini dijuliki dengan Pak Petani. [] haris fauzi - 2 oktober 2008


salam,

haris fauzi

kenisah : lebaran yang tenang

Pagi ini, terdengar takbir --sejak selamam-- dari lapangan sebelah komplek. Rencananya ada sholat Ied disitu. Ya. pagi ini adalah pagi lebaran. Tanggal satu syawal. Ini termasuk lebaran paling khusus dan khusyuk bagi saya. Memang saya akui qiyyamullail dan tadarus saya banyak yang bolong tahun ini, --tetapi saya paling nyantai dalam lebaran kali ini. Tidak membuat saya terbebani. Saya menutup bulan ramadhan dengan tenang karena tidak dengan segala persiapan mudik. Memang, mungkin berbalikan bagi semua orang,-- terus - terang acara mudik bagi saya butuh persiapan yang mendetail yangcenderung membuat saya berkejaran dengan jadwal yang ketat. Mulai persiapan mobil, pengepakan pakaian, pengadaan oleh - oleh, detil jam keberangkatan, penyelesaian urusan kantor, penguncian rumah, hingga tetek bengek yang lainnya. Yang mana masalah ini terus terang membuat saya grusa - grusu dalam menutup bulan puasa.

Saya bilang khusyuk, karena saya bisa dengan tenang bin santai menyelesaikan puasa, tidak perlu berebut ke bengkel, atau mengantar Istri ke tempat perbelanjaan langganan dia. Easy day, rockin every time. Puasa hari terakhir, selasa bakda sahur, saya mulai dengan membalas semua email yang masuk hingga subuh, dan setelah terpotong subuhan,--saya lanjutkan lagi acara itu. Kemudian sempat tidur sebentar dan ketika bangun tanpa mandi dulu saya bisa dengan santai membaca buku.
Siang setelah mencuci mobil, terik siang bolong bakda zuhur saya sempatkan membayar hutang mengantar anak - anak untuk mengunjungi toko buku, kemudian membacanya alakadarnya. Sampe rumah lagi sudah ashar lewat dikit. Dan sambil nunggu maghrib, saya membuka komputer lagi, browsing alakadarnya.

Es buah menandai buka puasa terakhir saya tahun ini, saya lihat anak - anak lahap berbuka puasa dengan kue martabak. Andai tidak hujan, mungkin malam itu saya hendak ke tempat takbiran. Maksudnya ya takbiran, namun kemungkinan saya lebih terpesona untuk memotret anak - anak yang berebut bedug. Namun, sayangnya hujan turun lebat, dan bakda solat maghrib, kami takbiran sendiri di rumah. Setelah itu saya memilih tiduran di sofa, sementara Istri memilih untuk mengaduk - aduk di dapur. Ya. hari ini memang sudah entah hari keberapa tanpa pembantu. Namun, kami juga tidak repot - repot amat. Baju kotor kami simpan rapi, mungkin minggu depan baru kami cuci. Sementara makanan kami membayar katering. Lebih simpel dan eifsien.

Malam takbiran, saya habiskan untuk membalas pesan pendek yang masuk. Mungkin telah mencapai seratus pesan dalam sehari itu. Malam harinya saya makan malam alakadarnya, dan memindah - mindah saluran televisi, hingga pukul dua dini hari baru saya masuk kamar. Tidur sebentar namun nyenyak karena memang hawa dingin, dengan posisi pintu belakang rumah saya buka, maka angin menembus hingga ujung kamar. Nikmat tidur dingin seperti itu.

Sungguh malam takbiran, akhir ramadhan yang menyenangkan bagi saya. Seorang rekan pernah berkata, bahwa di akhir bulan ramadhan seyogyanya kita bisa menyelesaikan dengan tenang. Ini syarat dan pertanda yang baik untuk menyongsong datangnya bulan Syawal. Namun aktualnya gimana mau tenang ? Kita malah sering kerepotan dan disibukkan dengan urusan mudik.
Ya. Sebaiknya, kita menutup ramadhan dengan tenang, dan dengan ini diharapkan kita bisa beribadah, bertakbir, dan memulai bulan syawal dengan khusuk. Dan bila disempatkan itikaf, hal itu lebih baik lagi guna penenangan jiwa. Gitu sarannya.

Sementara anak - anak menyisakan liburan sekolah yang cukup panjang. Satu minggu lebih panjang ketimbangcuti kantor saya. Ini saja yang merisaukan pikiran saya. Saya tidak punya rencana mengajak mereka kemana-mana. Tidak saya jadwalkan untuk itu. Acara dominan ya stay at home. Paling - paling ke toko buku lagi. Namun, ya apabila sempat, nanti kami akan berjalan - jalan entah kemana. Mungkin menonton sinema empat dimensi, atau mengunjungi wahana SeaWorld. Itu saja. Masih tersisa liburan cukup panjang bagi anak - anak, seminggu lagi kira - kira. Namun, saya pikir mereka tidaklah terlalu menuntut bila mereka hanya berliburan di rumah. Karena saya juga memiliki jadwal harus berangkat ke kantor di minggu depan, dimana mereka masih libur satu minggu lagi. Sempat saya tawarkan kepada Istri untuk mengajak mereka menyewa cottage selama beberapa hari ketika libur dimana saya harus ngantor. Namun Istri tidak bersedia, karena saya tidak ikut bergabung di cottage tersebut. Mending di rumah. Apalagi ketika Istri saya paksa untuk mencoba telpon ke cottage, ternyata sudah full-booked. Saya tinggal mengiyakan saja tertanda setuju, toh ini namanya penghematan.

Azan subuh d-day lebaran, saya bergegas mencuci muka dan menunaikan solat subuh dengan tenang. Toh solat Ied masih dilaksanakan pukul tujuh nanti. Sambil minum air putih yang nggak bisa saya lakukan di bulan puasa, -- saya pagi ini kembali membalas pesan pendek yang kebetulan membanjir  masuk --dari beberapa rekan terbaik dan orang tercinta-- dan disambi menulis tulisan ini. Menunggu waktu.Saya lihat di halaman belakang, anak sulung saya sempat bercanda dengan kelinci peliharaannya. Santai nian. Enak suasananya. Sungguh ringan hati saya. Seringan embun pagi. Selamat Idul Fitri.[] haris fauzi - subuh - 1 Oktober 2008


salam,

haris fauzi

Monday, October 06, 2008

kenisah : palestina dalam rak buku

PALESTINA DALAM RAK BUKU
 
Sungguh tidak di nyana, bahwa derita tanah Palestina sudah berjalan bertahun -  tahun. Bila saya pandang rak buku yang terseok di ruang kerja, maka, nampak jelas ada empat buku yang mencolok menggagas soal Palestina ini. Yang terbaru adalah buku dari si Petualang Raja Shehadeh, judulnya "Jalan - Jalan di Palestina". Sampul bukunya begitu menarik, indah. Shehadeh bertutur tentang petualangannya, berjalan - jalan seputar Palestina. Selama dalam petualangannya, dia selalu bercermin ke masa lalu, yakni ketika Palestina merupakan daerah dimana sering disinggahi para pejalan karena budaya dan alamnya yang memikat. Namun, dalam konteks kekinian, Shehadeh mengungkapkan bahwa Palestina sekarang tak lebih dari batu dan puing berikut deretan kuburan.

Ada pengalaman menarik ketika saya sedang membaca buku ini, saat itu saya sedang chatting dengan seorang teman baik. Untuk mengisi dialog, maka beberapa kali saya sempat lontarkan pendapat saya tentang Palestina yang tentunya saya cuplik dari buku tersebut. Dan dia terpengaruh, ikut trenyuh. Bayangkan, dari tangan kedua saja sudah demikian berpengaruh. Apalagi bila membaca langsung.

Buku kedua adalah pendapat Imam Khomeini tentang Palestina terbitan Zahra. Judulnya "Palestina dalam Pandangan Khomeini" dengan kata pengantar dari Dr.Riza Sihbudi, pakar politik Timur Tengah. Sebuah buku yang cukup sulit saya dapatkan, penantian cukup panjang untuk bisa berkesempatan menatap buku bersampul bendera Palestina itu nongol di toko buku, dan lantas tanpa ragu - ragu mencomot dan membayar di kasir.
Apa urusannya Khomeini terhadap Palestina ? Jangan salah, mungkin Khomeini adalah salah satu pemimpin negara yang paling serius membantu Palestina. Dalam buku ini diceritakan bagaimana Khomeini berjuang sedemikian keras untuk kemerdekaan Palestina dari cengkeraman Israel. Khomeini menyuarakan jihad untuk Palestina.
Seberapa keras Khomeini membela Palestina ? Kalo nggak salah, Khomeini menuangkan dalam undang - undang negara Iran bahwa salah satu target negara Iran adalah membebaskan Palestina dari cengkeraman faham Zionisme. Adakah negara Islam --baik negara Sunni atau Syiah-- yang lebih hebat dalam membela Palestina dibanding undang - undang negara bikinan Khomeini ini ?

Memang tidak bisa dipungkiri adanya fitnah ihwal Khomeini yang notabene Islam Syiah akan bermusuhan dengan Sunni. Namun itu hanya fitnah murahan. Kontroversi adu domba yang membara tanpa sebab yang pasti. Undang - undang bikinan Khomeini inilah buktinya bahwa Syiah adalah saudara dari Sunni. Khomeini berjuang untuk Palestina. Karena semua juga faham, Palestina adalah berpenduduk Islam Sunni, sementara Iran notabene Syiah.

Buku ketiga dalah komik karya Joe Sacco (entah udah berapa kali saya bahas komik antik dan hebat ini). Dalam bahasa Indonesia sudah pernah dicetak dalam dua macam judul, salah satunya adalah "Duka Orang - Orang Terusir" yang terdiri dari dua jilid. Komik dahsyat ini begitu mengena, apalagi ada komentar dari Goenawan Mohamad disitu.
Bagaimana sebuah masyarakat, budaya, dan peradaban kelas tinggi bisa diacak-acak karena adanya egoisme sekelompok manusia yang begitu serakah, yang lebih menghargai kekerasan. Menggusur sana - menggusur sini. Lantas tertawa - tawa melihat keberhasilannya. Kultur dan masyarakat yang hancur lebur gara - gara konflik politik, menjadi masyarakat yang pesimis, dan apatis, saling tidak percaya, dan tidak berharap banyak ke masa depan. Dampak dari agresi Zionis.

Dan tak jauh dari buku - buku diatas, ada buku terbitan Hikmah tentang sosok Ahmadinejad. Presiden Iran sekarang, yang selalu berkata bahwa holocaust hanyalah rekayasa. Sebetulnya buku ini tidak terlalu straight forward tentang Palestina. Saya hanya mengidentikkan dengan semangat perjuangannya. Semangat perjuangan menentang program zionis. Dalam dada Ahmadinejad terdapat semangat itu, dan ini sebuah dukungan kuat terhadap keberhasilan perjuangan Palestina itu sendiri. Entah kenapa saya begitu menyukai sosok Ahmadinejad yang bersahaja itu.

Bila saya pandang rak buku yang terseok itu, mungkin masih ada beberapa buku yang bercerita ihwal Palestina. Bahkan saya sudah memesan buku tentang Hebron, yang mungkin kelak akan bertengger pula di rak butut ini. Sudah pasti saya belum atau sudah lupa mengenai isi dari buku - buku yang lain itu, --apalagi yang statusnya masih dalam order-- dan dengan ini tentunya tak kuasa untuk dituangkan dalam tulisan alakadarnya ini. Mungkin lain kali. Mungkin akan lebih panjang. Karena derita Palestina memang telah bersimbah darah sepanjang peradaban modern ini, dan tak nampak ujungnya kelak, bila kita tak ada yang bergerak. Karena dengan diam, maka mereka tertikam.[] haris fauzi - 27 september 2008

salam,

haris fauzi