Thursday, April 30, 2009

kenisah : sedikit tentang nilai dan etika

SEDIKIT TENTANG NILAI DAN ETIKA

Keyakinan akan nilai - nilai kebenaran bisa diretas dengan sederhana di kurikulum filsafat. Secara mudah, filsafat bisa bersandar kepada dua hal, yakni kepada prinsip etis logis, atau kepada nilai ketuhanan, atau keduanya sekaligus. Nilai - nilai ini kelak akan menentukan moralitas. Dalam prinsip etis logis, moral manusia dan masyarakat berkaitan dengan norma, aturan, dan etika. Sementara dalam transendenitas, lebih terikat kepada wahyu dan perkembangan agama. Dalam Islam hal ini mungkin bisa ditilik dari keilmuan syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat, dimana nilai - nilai dikembangkan sesuai kedalaman ilmu ibadahnya. Aplikasi dominan dari ini semua adalah nilai dan etika yang berkembang dalam diri manusia dan atau masyarakat. Penilaian dari ini semua biasanya digeneralisir dalam skala moralitas.

Banyak sudah para filsuf yang menekuni ranah ilmu ini. "Nilai dan Etika" menjadi menarik karena filsafat memang merupakan pisau bedah yang sangat sakti untuk menemukan nilai - nilai kebenaran. "Nilai dan Etika" berkembang pesat sesuai dengan perkembangan ilmu filsafat.

Sejatinya ilmu filsafat hendak menggali nilai kebenaran secara kolektif / sosial sehingga lahirlah konsep - konsep filsafat dalam kacamata masyarakat. Dalam perkembangannya konsep - konsep seperti ini bila melingkupi banyak hal, namun elemen yang paling sering dibicarakan dalam konteks seperti ini adalah hubungan antara manusia dengan masyarakat dan dengan alam lingkungan.

Bila membicarakan heterogenitas dan bejibunnya model masyarakat, maka dalam pembicaraan nilai subyektif yang harus dimaklumi adalah adanya beberapa interpretasi terhadap nilai - nilai dan etika. Bahkan tak jarang bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Yang jelas, ada beberapa kebutuhan kolektif yang dinaungi oleh nilai dan etika sosial. Ini patokannya.
Sesuai ragam masyarakat dan persepsinya maka nilai dan etika sosial ini juga beragam. Namun yang perlu dicatat disini adalah --biasanya-- untuk nilai - nilai utama mengandung banyak kesamaan, seperti penghargaan kepada jiwa atau keadilan. Nilai dan etika yang mengandung kesamaan ini bisa disebut dengan nilai universal. Nilai fungsi ada kecenderungan berbeda atas dasar latar belakang masyarakat, sementara untuk nilai instrumentatif sangat subyektif.

Dalam suatu masyarakat, persepsi terhadap nilai dan etika yang berkembang sedikit banyak terkait dengan fakta masa lalu. Dan di beberapa masyarakat juga mengaitkan dengan orientasi masa depan. Namun biasanya yang dominan adalah pengaruh fakta masa lalu. Contoh sederhana untuk ini adalah apabila ada seorang anak yang dibiasakan ngomong jorok, maka menurut dia ngomong jorok itu adalah lazim.

Masyarakat yang futuristik memiliki porsi yang cukup besar terhadap orientasi nilai masa depan dalam implementasi nilai dan etika dalam hidupnya. Biasanya mereka selalu beralasan bahwa "masa depan kita harus seperti bla bla bla", dan mereka menjadikan hal ini sebagai acuan. Contoh sederhana untuk kasus ini adalah masyarakat yahudi yang memiliki cita - cita israel raya.

Nilai dan etika tidak sendiri dalam perkembangannya. Dia mendapat penajaman seiring jaman dari faktor ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan input mendasar dalam perkembangan nilai dan etika. Bila lantas kita menengok hingga implementasi, maka selain ilmu pengetahuan, maka karakter masyarakat juga menentukan perkembangan nilai dan etika, namun dari sisi lain. Masyarakat yang memiliki sifat komitmen biasanya akan mampu secara kuat mengimplementasikan nilai dan etika yang dipegangnya. Namun tak jarang ada masyarakat tidak kuasa dan cenderung lemah sehingga kurang amanah terhadap nilai - nilai yang 'sebenarnya' mereka junjung. Mereka hanya mengetahui nilai dan etika yang layak secara abstrak tanpa mampu menerapkannya. Contoh sederhana untuk ini adalah korupsi di sebuah negara. Biasanya, negara yang paling korup-pun mengetahui bahwa korupsi itu bertentangan dengan nilai dan etika yang ada, bahkan divonis haram sekalian, namun seringkali bangsa itu kesulitan mengenyahkannya.[] haris fauzi - 30 april 2009

terima kasih buat mas Win Sukardi atas ide penulisannya.


salam,

haris fauzi

Friday, April 17, 2009

kenisah : waktu yang terus bergulir

WAKTU YANG TERUS BERGULIR

"...ketika waktu terus berjalan, kita harus terus berlari...."

Merasa cepat. Itu saja yang saya rasakan dalam menjalani empat bulan di tahun 2009 ini. Sepulang dari mudik akhir tahun yang menyenangkan tapi agak compang - camping --dari sisi keuangan-- karena sangat mendadak, saya cukup puas bisa keluyuran ke rumah mertua di Surakarta, ke makam leluhur berikut ke rumah kakek saya di desa ujung Kaliurang Yogyakarta. Walau pada kenyataannya tidak berkesempatan menjejak tanah kelahiran saya di Malang sana, hati ini cukup senang juga bisa mempertemukan anak saya dengan Eyang Buyutnya. Masih terbayang wajah suka cita Eyang melihat tingkah laku anak saya. Empat generasi temurun.

Dan --mendadak-- saya baru berkesempatan ke Malang ketika liburan Imlek, --dalam rangka tugas kantor-- tanpa keluarga, saya meretas jalan rel kereta menuju atmosfir kampung halaman, dan sesegera mungkin menuju pusara Bapak di Ngujil. Hujan mendera bumi selama saya singgah di kampung Malang. Saya balik ke Jawa Barat melalui terminal Arjosari, selepas mengobrol dengan pengamen buta di terminal 'antik' itu.

Waktu berjalan dengan cepat. Februari adalah bulan pendek, dan saya tak ingat apa saja yang layak saya catatkan disini untuk memaknainya selain satu hal yang menurut saya cukup menarik. Dalam perjalanan ke kantor di pagi hari, tiba - tiba telepon genggam saya berdendang. Dan tercantum nama sahabat saya di sana. Ketika percakapan dimulai, sang sahabat bercerita singkat tentang rencana dia untuk membuat diskusi umum tentang pendidikan politik. "...Yang sudah konfirmasi sebagai pembicara utama adalah Pak Didik Rachbini, Ris... sementara pembicara utama lainnya juga sudah bersedia. Nah, saya dengan ini pengen ngundang kamu. Kamu saya undang jadi pengamat jalannya diskusi. Gimana ?", singkat cerita begitulah undangan dari sahabat. Politik ? saya insinyur, bukan politisi. Tapi apa salahnya ? Saya putuskan untuk bersedia menghadiri undangan sahabat saya itu. Bukannya sok-sokan politik. Tetapi, apa salahnya icip-icip ranah politik ? Itu saja. Saya ingin menjalin silaturahmi dan memenuhi ajakan teman, juga pengen tau --sifat dasar saya-- seperti apa sih rasanya menjadi pengamat diskusi politik dengan pembicara sekaliber Prof. Didik J Rachbini. Itulah.

Maret ? bulan yang cukup atraktif buat saya. Secara tidak diduga, Bung Kadri secara pribadi mengundang saya untuk datang di peluncuran album musik karya kelompok musiknya. Dan begitu surprise ketika saya memasuki lokasi, banyak sekali dedengkot musik Indonesia, termasuk generasi 80-an seperti Keenan Nasution --pujangga musik Indonesia-- dan Andy Julias. Sementara generasi sekarang setidaknya ada Once vokalis Dewa yang berdiri beberapa baris dibelakang saya. Saya sendiri duduk di deretan terdepan, karena memang undangan yang disodorkan kepada saya seperti itu,"...bangku first-row buat kamu, Ris...", begitu email dari Bung Kadri.

Yang membuat surprise bukan hanya itu. Yang paling kaget adalah ketika saya membuka cindera mata untuk hadirin --tentunya saya juga kebagian--, ternyata adalah CD album dari kelompok musik Bung Kadri. Dan, pada notifikasi albumnya, tercantum nama saya, tentunya kapasitas saya sebagai pengamat musik, bukannya sebagai musisi, hahahahaha...karena saya tidak bisa memainkan alat musik. Saya hanya bisa mendengar, komentar, menulis.

Bukannya gaya - gayaan, bukannya saya mendapat upah untuk itu. Bukan. Saya cukup kaget, bahwa selembar tulisan tentang kelompok musik itu --yang pernah saya bikin beberapa minggu sebelumnya --- ternyata mendapat menghargaan dan apresiasi demikian tinggi, sehingga nama saya dirasa cukup pantas disandingkan dengan para kontributor 'kaliber berat' lainnya.

Tidak semua momen tercatat dalam memori. Sesekali dua kali, tiga kali, sepuluh kali, saya memang teledor. Entah berapa kali, mungkin ratusan, ribuan, pokoknya cukup banyak yang terlantar. Sehingga, ketika waktu terus mendorong kita untuk terus mengurangi umur, kita sering tergopoh - gopoh berlari menjauh dari terkaman sang waktu. Dengan kalang kabut berlari seperti itu, seringkali kita pada akhirnya gagal memaknai perjalanan hidup yang kita lakoni. Mungkin anda demikian, dan saya-pun demikian. Mungkin ada pula yang tidak.

Ketika ada seorang kawan baik menanyakan sesuatu, suatu kali secara spontan saya menjawab dengan kalimat di atas. Bahwa ketika sang waktu terus berjalan, kita harus senantiasa berlari. Kita tidak boleh terlena. Karena apabila kita terhenti lantas tergulung pusaran waktu, maka status perjalanan kita menjadi mundur. Kita berada dalam kelam tornado perjalanan masa.

Ya. Kita harus berjalan lebih cepat dari pusaran sang waktu. Namun, bukan berarti kita gedabrugan berlari gak karu - karuan. Kita harus berusaha semaksimal memaknai perjalanan yang kita lakukan. Hidup ini harus dinikmati, dimaknai, dan dijalani. Cita - cita harus difokuskan, dikejar, dan diperjuangkan. Sementara masa lalu harus  diambil hikmahnya untuk pelajaran, entah buat kita sendiri, entah buat kerabat, entah untuk musuh, atau mungkin juga akan dimanfaatkan oleh keturunan kita, atau orang lain seribu tahun lagi. Entah benar, entah salah. Yang jelas, sang waktu terus berjalan, dan kita harus terus berlari. [] haris fauzi - 17 April 2009




salam,

haris fauzi

Tuesday, April 14, 2009

kenisah : sekian persen adalah do'a

SEKIAN PERSEN ADALAH DO'A

Adalah banyak pendapat yang menghitung - hitung serta mempersentasikan keberhasilan suatu usaha. Saya pernah membaca bahwa faktor usaha berkontribusi sekitar sembilan puluh persen dari sebuah keberhasilan, sementara sisanya adalah keberuntungan. Ada yang bilang bahwa kesuksesan ditentukan oleh faktor kerja keras dalam porsi sembilan puluh persen sekian, sementara sisanya adalah bakat.

Berapa persen kontribusi dari faktor do'a ? Berikut adalah pengalaman saya. Saya memiliki tiga anak, perempuan semua. Salma sekarang menjelang sembilan tahun, Norma menjelang usia lima tahun, dan anak terakhir namanya Aya, masih bayi.

Tentang si Sulung, tentunya adalah kejadian sekitar sepuluh tahun silam. Ketika saya mengetahui kehamilan istri di akhir tahun 1999, dan setelah berkonsultasi dengan dokter --ditambah dengan dengan sedikit baca - baca referensi, maka tahulah kami berdua, bahwa bayi kami diperkirakan akan lahir pada pertengahan bulan Juli tahun 2000.
Whaaaat,.... Juli 2000....? Ada apa dengan bulan itu ? Sekedar referensi saja, Bapak saya --kala itu masih sehat-- akan berulang tahun pada tanggal 17 Juli. Yang ada di benak saya adalah alangkah hebatnya bila bayi saya berulang tahun bareng dengan Eyang kakungnya. Betapa hebatnya, bukan ?

Ketika saya memanjatkan do'a, saya berdo'a untuk keselamatan bayi dan ibunya, dan juga harapan saya kepada calon anak kami tersebut. Juga saya utamakan harapan saya untuk memberi kado ulang tahun kepada bapak saya, saya berdo'a agar anak sulung kami lahir pada tanggal 17 Juli 2000. Dan, seperti kebanyakan orang, saya juga berharap anak sulung saya adalah laki - laki. Itulah harapan yang selalu saya panjatkan dari hari ke hari, bulan - ke bulan, hingga tanpa terasa menginjak bulan Juli 2000.

Hari itu tanggal 17 Juli 2000. Hari yang mendebarkan itu akhirnya tiba juga. Saya pergi ke kantor seperti biasa, kantor saya di daerah Sunter. Sementara istri saya sudah sekitar 2 bulan menetap di rumah orang tuanya di Surakarta. Mertua ingin proses kelahiran cucu pertamanya di Surakarta. Dan bagi saya itu tidaklah bermasalah.
Menjelang siang saya berangkat ke Surakarta dengan naik bis. Perasaan dan hitungan saya membisikkan bahwa ada kejadian penting hari itu di Surakarta, dan saatnya untuk menjenguk Istri dan mungkin --anak saya juga.
Di daerah Semarang, menjelang pekat malam, saya menelepon rumah mertua dan di jawab oleh bapak mertua bahwa istri saya sudah melahirkan. Jam delapan malam tadi....

Saya terhenyak, seberapa hebatkah saya ? seberapa manjurkan do'a yang saya panjatkan ? Saya terus berpikir, memikirkan seberapa persenkah kontribusi do'a dalam sebuah kejadian.

Sekitar pukul tiga dini hari tanggal 18 Juli 2000, saya memasuki ruang tidur istri. Dan sekitar pukul delapan pagi saya berkesempatan menjenguk anak sulung yang masih bayi itu. Kado buat Eyang itu tergolek miring. Lucu.

Cerita itu adalah cerita hampir sepuluh tahun lalu. Berikut ini adalah cerita yang masih segar. Alkisah menjelang bulan Ramadhan 2008 lalu, Istri saya dinyatakan positif hamil. Maka berangkatlah kami berkonsultasi ke dokter kandungan. Menurut dokter --singkat cerita-- anak saya bakal lahir awal bulan April 2009. "...Yaaah....Antara tanggal satu sampai tanggal lima", gitu kata dokter.
Whaaaaat,....? Awal April ? Ada apa dengan bulan April 2009 ? Menurut akte kelahiran, kalau tidak salah saya dilahirkan pada hari Sabtu Pahing menjelang subuh tanggal 8 April. Sebuah kemungkinan yang membutuhkan keajaiban bila saya berharap anak ketiga saya lahir pas ulang tahun saya.

Dari semenjak bulan Januari 2009, saya sering katakan kepada istri bahwa saya ingin ulang tahun antara saya dan anak bersamaan. "Ah...terlalu lama dari dugaan dokter...jauh sekali jaraknya...", gitu komentar istri saya. Setelah kejadian ulang tahun barengan antara si Sulung dengan Eyangnya, saya tak berhenti berdo'a untuk kejadian ajaib yang kedua. Saya sebut ajaib, karena hitungan dokter dan kehendak saya terpaut cukup jauh. Namun, seperti biasa, saya tak berputus-asa untuk berdo'a.

Hari berjalan terus. Tanggal demi tanggal berjalan seperti biasa. Bulan April dimulai dengan guyuran hujan. Tanggal satu, dua, tiga, empat, berjalan terus. Tanggal lima-pun berlalu. Belum ada tanda - tanda kelahiran putri kami ketiga. Tanggal 6 April, kami konsultasi ke dokter. Pulang lewat tengah malam, --artinya sudah tanggal 7 april dini hari-- itu-pun ternyata masih belum ada tanda signifikan. Saya mengantuk dan ingin memperbanyak tidur malam itu. Malam itu tanggal 7 April.

Sekitar menjelang pukul tiga dini hari, istri membangunkan saya, minta diantar ke rumah sakit. Saat itu --dini hari-- tanggal 8 April 2009. Untuk kedua kalinya saya terhenyak sebagaimana ketika anak sulung saya lahir. Pertanyaan yang pernah saya lontarkan sepuluh tahun lalu kembali terngiang. Seberapa besar kontribusi usaha dan kerja keras ? Dalam kedua kasus 'ketepatan tanggal kelahiran' ini, bisa dibilang kontribusi kerja keras adalah NOL. Saya tidak berusaha apapun, hanya berharap dan berdo'a. Lantas, seberapa besar kontribusi do'a ? Apabila memang hari ini adalah kelahiran anak yang selalu saya harapkan lewat do'a yang saya panjatkan, tentu itulah bukti campur tangan Tuhan. Tuhan yang mengendalikan semuanya. Sebagaimana Tuhan yang mengendalikan kehidupan saya, mengendalikan ulang tahun saya, dan mengendalikan prosesi kelahiran anak saya. Saya berharap, inilah saatnya.

Sebelum pukul empat pagi kami tiba di rumah sakit, dan --singkat cerita-- anak kami ketiga lahir menjelang pukul tujuh pagi. Tanggal.....8 April 2009, pukul 06.45. [] haris fauzi - 14 april 2009




salam,

haris fauzi

Thursday, April 02, 2009

kenisah : Ah...!

AH...!

Entahlah. Memang saya sering ketinggalan berita. Sudah sejak lama saya malas mengikuti rekaman kejadian, ihwal politik, ihwal olahraga, dan sebangsanya. Saya juga cukup terlambat untuk mengetahui ramalan atau prakiraan cuaca. Katanya sih, orang - orang sudah memiliki pembaharuan berita cuaca yang dikirim melalui pesan pendek yang berdering di telepon genggam. Yang jelas, yang saya tau adalah cuaca akhir - akhir ini sering marah kepada manusia. Mungkin karena tabiat manusia yang lebih senang menantang alam ketimbang bersahabat dengannya.

Usai hujan cukup deras, bagaimanapun juga cuaca sore itu cukup mengasyikkan. Awal bulan April, yang katanya juga menyenangkan. Mungkin karena gajian. Hahahahahaha. Sore itu hakkul-yakin cukup baik cuacanya. Langit bersih setelah dicuci oleh hujan membuat hati tenteram kala memandangnya. Apa yang sedang saya kerjakan ? Saya sedang nyetir pulang kerja. Meluncur ke arah barat menantang surya di tol Cikampek ke arah Jakarta, dan setelah itu melewati pintu gerbang tol Jakarta Outer Ring Road di Cikunir untuk menyambung jalan menuju tol Jagorawi.

Adalah sore itu pukul 5.48, begitu angka yang muncul di layar digital di dashboard mobil. Saat itu saya berada di kawasan Outer Ring Road terkesima menyaksikan sang surya yang sedang berhias di depan mata, tepat di depan mata, memendarkan warna baur jingga merah kuning, sedap sekali memandangnya. Tidak membuat silau pula, cuma membuat teledor dalam berkendara kalau terlalu lama memandangnya.

Jadi begini, sore itu, mentari seakan hanya berada satu jangkauan dari tanah. Besar, bulat, dan berwarna indah sekali. Saya ingin mengejarnya untuk meraihnya sejenak. Seakan seperti itu. Sementara langit yang kebiruan bersih dan rombongan awan putih tipis yang bercahaya cukup terang seakan menjadi para penari latar yang elok berjingkat - jingkat dibelakangnya. Hanya satu yang mengusik pikiran saya, yakni kenyataan bahwa sang surya yang elok itu ternyata hendak tidur. Di tengah pesonanya yang demikian memikat ternyata dia hendak pergi meninggalkan manusia dan digantikan oleh gemintang malam.

Terkesima terhadap sang surya yang hendak luruh itu tidak berlangsung lama. Dia terus meluruh turun, sementara dipersimpangan saya harus membelokkan kendaraan menuju selatan, melepaskan kait pandangan dari mata angin barat dimana dia berada. Dengan menurunkan kecepatan saya membelokkan mobil, dan menganggukkan salam perpisahan kepada mentari yang masih indah jua. Adakah saya meninggalkannya ? Ataukan sejatinya sang surya yang berhasrat tenggelam ? Ah....! Itu hal yang mungkin berada di luar kuasa saya.

Dalam hidup ini tidak selamanya enak dan menyenangkan. Memang begitu racikannya. Ada hal yang tetap, dan ada hal yang berubah. Diantara hal - hal yang berubah itu, ada yang mengenakkan, dan ada pula yang tidak. Ya. Ada beberapa hal yang tidak mengenakkan terjadi di tapak waktu yang kita jalani. Mereka ada yang telah terjadi dan berada dibelakang kita, namun ada juga yang berada di depan kita. Di depan kita menunggu apa yang hendak kita lakukan.

Ah....! Banyak sekali perubahan --seperti halnya gambaran cuaca yang tidak bisa dipastikan dengan nyata-- yang tersedia di depan mata. Beberapa hal mungkin menguntungkan kita, namun tidak sedikit pula yang kadang tidak mengenakkan dan membuat dada ini sesak. Semua bisa terjadi begitu saja. Dan sangat nyata seperti tenggelamnya sang surya. Dan untuk hal - hal yang tidak mengenakkan, beberapa mungkin bisa kita merubahnya, tetapi beberapa tidak. Namun mereka semua memiliki sifat yang sama, mereka menunggu respon dari kita, walau cuma kerdipan. Dan sesungguhnya ternyata bisa jadi lebih banyak hal yang kita tidak kuasa untuk mengubahnya, dimana kita tidak kuasa untuk memperbaikinya sesuai dengan harapan kita. Cukup banyak yang berada di luar keinginan kita, --yang tidak kita inginkan, yang tidak mengenakkan,--  dan ternyata mereka berada di dekat kita namun berada jauh berada di luar kuasa kita sehingga kita dibuat seakan - akan menjadi sangat bodoh. Namun bagaimanapun fenomena itu berada di depan kita. Sekali lagi, mereka menunggu kita. Sejenak sebelum membelokkan mobil, saya jadi teringat novel "Brokeback Mountain" tulisan Annie Proulx. Tulisan terakhir di novel tersebut adalah "..dan kalau kau tak bisa memperbaikinya,kau harus bisa menghadapinya " [] haris fauzi - 2 April 2009




salam,

haris fauzi