Wednesday, October 30, 2013

ayah

Hari itu tanggal 25 Oktober 2013, tercatat dalam carik tiket penerbangan. Sore itu saya hendak meluncur ke kota Malang. Dampak radang tenggorokan masih memberatkan kepala, suara ini masih setengah oktaf. Malam pekat menyelimuti badan ketika melangkah memasuki rumah Ibu di Joyogren, sebuah blok pemukiman di kaki kotip Batu.
Minggu pagi, 27 Oktober 2013, pagi yang panas untuk ukuran Joyogren. Ini pancaroba, itu alasannya. Saya nunut mobil adik saya guna meluncur ke makam Ayah di distrik mBunul. Tepatnya pemakaman umum Ngujil. Saya ingat, dua bulan lalu saya menjejak kaki ke Ngujil. Saya masih ingat bunyi riak sungai yang malas beradu dengan irama julur - julur bambu. Seperti biasa, di makam Ayah tidak banyak yang saya lakukan selain mendaras al-Fatihah, beberapa surat Juz-Amma, dan lantas do'a dan permohonan kepada Tuhan agar Ayah dijauhkan dari siksa kubur. Usai.
_________

Selasa, 29 Oktober 2013, Bogor. Hari itu adalah hari rutin. Duduk di jok mobil, duduk di kantor, perjalanan empat puluh kilometer pulang balik Bogor - Jakarta. Selepas Isya saya tiba di rumah. Sekira pukul delapan malam. Malam itu hari kedua saya berangkat tidur tanpa pengaruh obat radang. Tapi yang membuat malam itu istimewa adalah karena Sang Ayah hadir dalam sinema mimpi. Dalam durasi yang cukup lama, serta tidak hilang dalam ingatan sehingga paska subuh saya sempat mengangkat telpon dan menceritakan ihwal mimpi tersebut kepada Ibu. Beberapa mimpi mudah pergi dari ingatan ketika raga tersadar, namun yang ini tidak.

Sepertinya Sang Ayah berada di seberang, berbatas tabir kaca tebal yang jernih namun kedap. Mengingatkan beberapa lorong bandara. Saya berdiri berdampingan dengan Ibu, sementara Ayah berada diseberang mengenakan setelan putih - putih. Kami saling pandang, namun sekeras suara saya berteriak, Sang Ayah tak mendengar. Kami cuma bisa saling pandang. Ibu gelisah.
Mendadak Ayah tersenyum dan melambai, saya menjadi antusias berteriak - teriak serta membalas lambaiannya. Ayah tersenyum. Saya mengguncang - guncang Ibu agar Ibu sempat melihat sekilas senyum Ayah. Namun, dua kali Ibu kehilangan kesempatan itu. Pandangan Ibu tidak terpusat kepada Ayah. Dan ketika Ibu menghadap Ayah, senyum indah Ayah sudah lewat. Setelah itu Ayah pergi sambil melambai. Lambaian terakhir ini berhasil disaksikan Ibu.

Kelana mimpi memiliki skenario sendiri. Misterius. Selang saat beberapa, Ayah kembali muncul lebih dekat, ketika saya sendirian. Kali ini Ayah mengenakan jaket hijau dan kain sarung ungu. Setelan yang sering beliau pakai menjelang isya. Pula pengenakan arloji, yang masih asing bagi saya. Seakan - akan menunjukkan bahwa sang waktu sedang memburu, Ayah berjalan mendekat --dan tidak ada tabir--, lantas berkata," ... aku baik - baik saja, Le...". Saya terbata dan tertegun, mendadak terdengar adzan subuh yang membangunkan tidur. Waktu memang memburu. [] haris fauzi - 30 oktober 2013

Friday, October 18, 2013

matinya demokrasi disini

"Disini demokrasi sudah mati. Namun mayatnya gentayangan karena terlambat dikuburkan."

Para ahli kenegaraan sering berbicara mengenai demokrasi. Demokrasi berdiri tegak atas tegaknya tiga pilar trias politika yang berupa pemisahan kekuasaan absolut menjadi pilar legislatif, pilar eksekutif, dan pilar yudikatif. Landasan munculnya trias politika adalah bentuk reaksi protes terhadap kekuasaan monarki yang cenderung menyatukan ketiga kekuasaan tersebut. Di Indonesia ketiga pilar ini tidak serta merta dipisahkan, melainkan diadopsi dan dikembangkan untuk disesuaikan dengan kultur politik lokal.


Demokrasi mulai hiruk-pikuk dibicarakan ketika muncul istilah "demokrasi terpimpin". Beriringan dengan membekunya hubungan Indonesia dengan dunia barat, yang notabene tanah kelahiran demokrasi. Ini termasuk kejanggalan awal yang diderita oleh Indonesia. Yakni menerapkan sistem politik dalam negeri yang diadopsi dari barat, namun secara politik luar negeri malah berseberangan dengan negara barat.

Berjalannya waktu, maka demokrasi berkembang pesat paska krisis moneter 1997. Saat itulah sering disebut dengan istilah "dibukanya kran demokrasi Indonesia". Menyikapi 'kran demokrasi' ini, seharusnya kita juga bisa mengingat bahwa sekitar sepuluh tahun sebelum terjadinya krisis moneter 1997, muncul istilah pilar keempat dan kelima dari demokrasi, yaitu pilar pers dan pilar mahasiswa. Latar belakang munculnya kedua pilar tambahan ini adalah posisioning kekuasaan yang berpola demokrasi namun masih belum memuaskan semua pihak. Kala itu kekuasaan memang sudah terpisahkan menjadi tiga pilar, eksekutif-legislatif-yudikatif. Namun, masih ada masyarakat yang merasakan atmosfir yang 'tidak demokratis'. Masyarakat ini adalah pers yang terkekang, dan mahasiswa yang merasa dikebiri aktivitasnya. Singkat ceritera beginilah situasi munculnya pilar keempat dan kelima demokrasi.

Kini, belasan tahun setelah kran demokratisasi terbuka disini, maka terbukalah segala hal. Termasuk -ringkas cerita- semua orang juga bisa merasakan bahwa betapa rapuhnya pilar - pilar itu. Sebut saja pilar pelaksana pemerintahan, eksekutif, yang tak jamak lagi merekalah pelopor gerakan koruptif dan serakah. Sementara pilar legislatif menerapkan praktek kolutif dan menciptakan perundangan demi kenyamanan golongan masing - masing. Sementara penegak hukum sebagai pilar yudikatif malah bermental suap dan hendak memperkaya diri sendiri dengan mengatas-namakan hukum. Berapa banyak hakim yang mudah disuap, berapa banyak pengacara yang memilih imbalan harta dan lantas menyelamatkan kliennya yang bersalah.

Dalam tataran trias politika kuno, ketiga pilar ini sudah rubuh di Indonesia. Mereka kini bukan berupa pilar, melainkan sudah menjadi puing - puing. Lantas ada apalagi di demokrasi ? Tentunya --laksana sebuah bangunan yang pilarnya rubuh,-- maka bangunan tersebut walhasil rubuh juga. Namun jangan lupa, demi demokrasi modern, masih ada dua pilar yang tersisa, yakni pilar pers dan mahasiswa, yang ternyata disini kondisinya juga memprihatinkan. Pers mewujud menjadi pilar yang bisa dibayar dalam berkabar. Isi pemberitaan merupakan pesanan kepentingan politik pihak tertentu. Tentunya pilar yang ber-'penyakit' seperti ini malah harus disingkirkan. Sementara pilar kelima -mahasiswa- yang dulu berteriak karena aktivitas berbangsanya dikebiri, kini mewujud menjadi manusia - manusia yang disibukkan dengan hal - hal konsumtif sehingga dia tidak lagi peduli apakah bangunan yang dia sangga bakal rubuh atau malah entah sudah runtuh kemana.

Bangsa ini begitu mencintai demokrasi. Sehingga, walaupun sudah mati, maka jasadnya tak juga kunjung dikuburkan. Praktek - praktek demokrasi tak kunjung disudahi. Setidaknya ada tiga alasan mengapa mayat demokrasi dibiarkan gentayangan di Indonesia. Entah karena belum menemukan penggantinya, entah karena begitu cintanya kepada demokrasi, atau entah karena banyak yang sudah berhasil mengail ikan besar di puing - puing keruntuhannya. [] haris fauzi - 18 oktober 2013.

pic : http://marioguerrero.info/

Thursday, October 10, 2013

pemulihan (ala insting)

Ihwal trauma Si Bungsu terhadap sekolahan, tidak hanya kepada tas dan seragam, bahkan melewati depan sekolahan-pun Si Bungsu merasa trauma. Menanggapi keluh-kesah tentang hal ini,  seorang teman psikolog menyarankan kartu terakhir," ... mengikuti insting seorang ayah bisa menjadi jalan keluar memperbaiki keadaan...". Dan pada akhirnya saya mendapat legitimasi mencoba hal tersebut untuk langkah - langkah pemulihan kondisi psikologi Si Bungsu paska kegagalan terapi paksa berangkat sekolah.

Hari ini genap dua minggu saya memutuskan untuk mengikuti insting saya : menghentikan terapi paksa. Otomatis lempeng dua minggu Si Bungsu tidak sekolah. Kegiatannya setiap pagi adalah bangun pagi, merengek ketika Ayahnya berangkat ke kantor, trus kemudian jalan - jalan bersosialisasi bersama Mama-nya. Dan malamnya menunggu Ayahnya balik dari kantor.
Dua minggu lalu, Si Bungsu benar - benar tidak bisa lepas dari saya. Bahkan ketika di-drop di taman bermain-pun, dia merengek dan memilih minta ikut ke kantor. Mama-nya dipukul-pukul sambil meronta - ronta hingga dari jauh terlihat seperti seorang Ibu yang hendak menculik bocah. Itu dua minggu lalu. Dalam empat hari terakhir, rengekan ketika saya berangkat ke kantor mulai mereda. Dua hari lalu Si Bungsu sibuk dengan kolam renang-mini-nya sehingga membiarkan saya berangkat ke kantor. Suatu pagi Si Bungsu hanya berujar,"....itu suara mobil ayah, ya ?". Dan itu tidak masalah karena Si Bungsu terlalu asyik dengan kolam baru. Pagi tadi, ketika bersama Mama-nya saya tinggal di taman bermain, dia sedikit merengek ketika saya tinggal. Tetapi tidak meronta- ronta. Ini suatu kemajuan pemulihan.

Sebelum mengambil sikap hendak "mengikuti insting", saya juga sempat berkomunikasi dengan Psikolog sekolahan. Psikolog sekolah menganjurkan untuk survey ihwal terapi paksa ke beberapa sekolah yang berhasil menerapkan terapi paksa. Harapannya saya bisa mengambil pelajaran agar sukses menerapkan "terapi paksa" kembali.

Si Bungsu sudah gagal dalam terapi paksa dan berakibat menjadi seorang bocah yang cengeng dan berantakan, ... lantas kenapa saya harus survey ? Bukannya lebih penting mengambil tindakan pemulihan dari dampak negatif yang terjadi ? Wilayah ini bangunannya sudah rubuh semua karena gempa, apakah kini saya harus survey tentang gempa ? Bagi saya lebih penting untuk membangun bangunan dan infrastruktur yang runtuh akibat gempa daripada saya keluyuran survey perihal gempa. Survey itu tidak menjadi hal penting saat ini karena bagi saya penanganan korban-lah yang menjadi lebih penting sebagai prioritas.
Permisalan lain, semisal seseorang telah teridap penyakit demam berdarah. Apa yang harus kita lakukan sekarang ? Membawanya ke rumah sakit ? Ataukah kita melakukan survey tentang wilayah sebaran demam berdarah ?

Setidaknya, 'terapi paksa' berdampak beberapa. Yang pertama adalah trauma terhadap hal - hal yang berbau sekolah seperti seragam, tas, gedung sekolah, hingga jalanan yang menuju ke sekolahannya. Kedua adalah Si Bungsu menjadi suka meronta dan memukul, ringan kepalan. Ketiga adalah hilangnya kepercayaan Si Bungsu terhadap Mama-nya gara - gara Mama-nya dianggap meng-khianati dirinya dengan meninggalkan di sekolah. Keempat adalah Si Bungsu menjadi pemurung. Sifat pemurung ini merupakan perubahan yang "tidak alamiah".

Dampak ketiga dan keempat bagi saya adalah bagian yang harus segera diselesaikan. Dalam insting saya, apabila psikologi Si Bungsu pulih menjadi ceria, dan kemudian kepercayaan kepada Mama-nya pulih, maka dampak pertama dan kedua akan lebih mudah ditangani. Dalam hitungan saya begitu. [] haris fauzi, 10 oktober 2013