Friday, May 23, 2008

kenisah : di tepi cakrawala

DI TEPI CAKRAWALA
"kamu dimana ?", tanya seseorang di pesawat seberang
"..di toko buku, ...lantai atas....", jawab saya
"saya di supermarket, ...bentar "
"oke. ...saya turun ke depan kasir supermarket ", .... seraya menuju kasir.
Kami berdua masing - masing menarik bangku. Agak lama kemudian memesan dua cangkir kopi ringan. Sebenarnya saya tidak ngopi, tapi kali itu tak apalah. Dia yang membayar.
Bercakap tentang hal - hal yang makin mengerucut, dia dengan lancar mendiskripsikan opininya. Opini yang bermuatan kekecewaan. Luka. Sedikit banyak memperkaya keyakinan saya. Membuat saya bersikap cenderung khawatir, menambah deretan syak-wasangka.
Neon pertokoan mulai padam satu - persatu. Tak lama kemudian kami akhirnya beranjak, berjabat tangan, meninggalkan pertemuan dua pasang mata. Percakapan yang relatif jujur dalam sebuah pertemuan singkat yang menambah kegelisahan. Pertemuan di tepi cakrawala.
***
" Aku sedang bayar tol ", Dia berujar di pesawat seberang
"...berarti sebentar lagi nyampe, sudah dekat kok..", tukas saya
"setelah gerbang, belok kiri trus kemana ? "
"gerbang belok kiri, trus langsung belok kanan. Ada mobil saya di tepi jalan ... "
Saya harus segera menyelesaikan makan malam. Dia hampir tiba. Rupanya dia sempat kesasar. Musti berputar gang dan mundur untuk menemukan mobil saya. Setelah dia turun dari bangku kemudi dan berjalan melingkari mobilnya, barulah saya yakin dia masih subur badannya. Walau jaket hitam eksekutif menutupinya. Dan saya juga yakin dia juga memikirkan badan saya yang tak kunjung gemuk, berikut rambut saya yang masih relatif gondrong.
Tawa khas-nya memecah cahaya rembulan. Kami berjabat tangan. Percakapan dibuka dengan basa - basi indahnya tempat pertemuan kali ini. Juga cerita bagaimana dia selalu menyimpan tulisan - tulisan saya, hingga bagaimana dia mengutip tulisan tersebut untuk disampaikan di sebuah seminar di Singapura. Saya tersenyum bahagia. Dia menghargai tulisan saya.
Walau teh panas yang tersaji masih menyisakan hangat dan cairannya, dia pamit. Saya sempat berujar,"....kamu masih penuh semangat tetapi malam ini terlihat letih ". Dia meng-iya-kan. Saya tersenyum ketika dia mengatakan bahwa senang dengan pertemuan ini. Rasanya saya pun begitu. Banyak tertawa dan tersenyum malam ini. Maklum, sudah sejak lama saya menantikan pertemuan ini. Ya. Pertemuan yang memang saya rindukan. Pertemuan di tepi cakrawala.
***
" yahh... ga bisa nih di coba beberapa kali...he..he...he...", ujarnya
"..ya sudah, gapapa... saya tadi malah gak nyoba ", tukas saya.
Dia menjauhi mesin itu lantas duduk. Setelah memainkan ponselnya, dia memulai percakapan. Dengan tutur bahasa yang sabar, bercerita ihwal pekerjaannya. Saya mendengar sambil sedikit melamun. Berusaha membelokkan pembicaraan, saya berujar tentang musik. "...ini ada lagu bagus, mirip sinden, karena menggunakan nada pentatonis tradisional". Dia cuma senyum. Percakapan terhenti karena manouver saya tadi. Suatu ketika bertatap mata, dia mengalihkan wajah menghadap sisi lain. Saya agak protes. Dan pertemuan itu terputus tak lama kemudian.
Sesingkat apapun pertemuan itu, saya cukup faham maknanya. Saya yakin dia-pun memaknai hal yang sama terhadap pertemuan singkat ini. Pertemuan di tepi cakrawala. [] haris fauzi - 22 mei 2008

Saturday, May 17, 2008

kenisah : gong dan turilli

GONG DAN TURILLI
 
Berada di deretan buku - buku yang masih tersegel plastik rapi jali, saya comot buku serial 'Labirin Lazuardi'  berjudul 'Langit Merah Saga'. Entah sudah beberapa bulan buku itu saya beli, seingat saya sekitar akhir tahun 2007, lantas nangkring di rak buku begitu saja. Buku karya Gola Gong, rilis tahun 2007 - diterbitkan Tiga Serangkai, Solo.
 
Memasuki lembar pertama, Gong menjanjikan bahwa buku ini merupakan serial dari enam buku. Saya punya tiga buku, baru di baca satu ini (...huh, siapa yang nanya ?).
Oh ya. Belajar dari seorang teman, membaca buku itu harus dari lembar pertama, termasuk kata pengantar dan 'greeting'-nya. Belajar dari teman yang lain, katanya sungguh nikmat baca buku sambil denger lagu. Oke, kali ini saya membaca buku tersebut dengan mendengarkan lagu. Pilihan saya jatuh kepada musisi nordic Luca Turilli, album rilis 1999 berjudul 'King of The Nordic Twilight'. Sampul albumnya sangar : bergambar ksatria lagi berdiri di tebing salju sambil mengacungkan pedangnya. Dari ujung pedang menyembur api ke arah rembulan.
 
'Langit Merah Saga' adalah sebuah buku yang penuh ide, dengan lompatan peristiwa yang sangat dinamis. Bagi yang menyukai cerita - cerita singkat, dengan alur yang ringkas, maka buku ini bisa jadi pilihan utama. Saya yakin anda akan puas. Namun bagi pecinta kisah yang terselimut misteri, buku ini jadi terlalu cepat alur kisahnya, dan berjejal ide hingga bertumbukan kanan kiri saking kayanya. Gola Gong memang seakan menuangkan semua idenya, mulai dari romantika anak muda, idealisme sosial, nilai spiritual dan keagamaan, hingga dunia politik semua terjalin dalam buku ini. Kisahnya dinamis dan banyak lompatan. Jangan heran bila ketika sedang asyik menyusur cerita kehidupan yang beku dan kelam, ditengah - tengahnya terpenggal oleh pesan religius. Layaknya menonton film detektif, lagi rame -ramenya ngejar perampok tau - tau muncul jeda sejenak karena ada ustadz berpetuah.
 
Misi utama buku ini memang pesan moral. Tengok ketika Gola Gong bertutur tentang nilai - nilai iman yang disampaikan begitu nyata. Asma Tuhan berkali - kali di sebut dalam buku ini. Gong seringkali dengan beraninya membelokkan paragrafnya demikian drastis. Juga ketika serta - merta kita dibuat terkejut dengan manouver bahasan sinisme terhadap dunia politik. Tentang partai, tentang pemerintah, tentang kebijakan, tentang orang - orang suruhan. Mungkin ada yang terlewat, dalam buku ini Gong tidak menyisipkan nuansa klasik rock.
 
Luca Turilli juga tidak kalah garang. Bagaimana dia memulai kisahnya dalam album musiknya ini sungguh prestisius. Detik petama anda spin album ini, anda akan tau bahwa musiknya adalah dari alam eropa utara sana, lengkap dengan orkestrasi berbalut nada - nada organ gothic, sengatan bunyi keyboard yang menyayat hati, gebugan drum yang demikian rapat, paduan suara gerejani, tak lupa, vokal gagah yang menjelajah beberapa oktaf. Mantab abis. Turilli memang musisi spesialis kisah epic. Posisi bunyi gitar dalam musik karya Turilli juga dominan lazimnya genre power speed metal. Layaknya dentang pedang.
 
Gola Gong berkisah tentang heroisme seorang remaja yang sediang mencari jati diri, tepatnya menemukan jati diri. Gong juga pintar mengambil tokoh. Lazuardi adalah anak orang kaya, anak pejabat yang berlimpah harta. Dipanggil dengan nama pendek Ardi. Melarikan diri dari dunia gemebyar, meninggalkan band, meninggalkan hura - hura, meninggalkan narkoba, meninggalkan orang tua. Berpetualang menjadi 'hero' di setiap persinggahan, termasuk ketika singgah di pemukiman kumuh pinggir rel kereta api. Setting cerita dia bergumul di layar ini. Di mulai dari perempatan jalanan, rel, dan mushola. Setting yang realistis ini membuat mata saya lancar berlari menjelajah huruf. Nikmat sekali.
 
Tak hanya mata, kuping saya juga rekreasi. Seakan tak kepingin melewatkan unsur orkestrasi, Luca Turilli benar - benar serius menggarap aransemennya. Nuansa orkestra bukan tempelan, melainkan kesatuan utuh dari album yang berjajar sepadan dengan mainstream nordic-rock dan power speed metal, menyatu dalam karakter murni Luca Turilli. Asli,Turilli benar - benar memanjakan kuping. Jalinan antar lagu terasa kuat, tidak tersendat. Lagu pertama seakan mengajak kita menjajaki alam salju, gak lebih dari dua menit. End core lagu ini menyatu dengan preambule lagu kedua. Setelah itu anda akan diajak Turilli berpetualang dalam kisah - kisah kepahlawanan dan legenda, dalam jalinan musik keras yang gagah, rapat, bertenaga. Sungguh memukau. Apalagi bunyi keyboard berlarian kesana - kemari berkejaran dengan melodi gitar yang cepat. Di sisi dasar, tak ketinggalan bass dan drum berpacu mengisi barisan tanpa celah.
 
Beberapa kisah heroik karya Gong mungkin terlalu ideal, terlalu indah. Tetapi jangan salah, kisahnya tidak kodian. Anda akan tercekat kerongkongan ketika anda menyimak halaman 146. Disini kelihaian menulis Gong terbukti, membuat tengkuk merinding.
Sekali lagi, buku ini alurnya sangat dinamis. Di tengah desis pesan moral dan kisah heroik, juga kentara betapa vulgarnya ketika Gong tak kuasa hendak menyindir bagaimana aktivis mahasiswa pada akhirnya menjadi politisi dan kemudian menjadi pejabat korup. Menjadi bagian utama kebobrokan bangsa. Dan juga tak hendak di tahan kegemasan Gong terhadap tragedi lumpur Lapindo. Tumpah ruah, layaknya kata hati yang dipancarkan sebebas - bebasnya.
 
Dalam hal kompleksitas ide, Gong dan Turilli sama - sama dahsyatnya. Namun Turilli lebih memilih jalur yang tidak melompat - lompat, sementara dalam bukunya, Gola Gong nyelonong ke sana kemari dengan kecepatan tinggi, termasuk bagaimana ujung pangkalnya ada profesi wartawan amplop juga di bahas dalam buku mungil ini. Ya. Kali ini Gong senang melompat. Andai saya permisalkan, Turilli seakan mengendarai kuda perang yang menderap kencang, sementara Gong lebih mirip rodeo, lompatannya kadang mengubah arah tanpa bisa di duga. Turilli berkisah heroisme di alam legenda dewa, ksatria,  dan naga. Gong menceritakan heroisme pemuda dalam realitas kehidupan. Keduanya bikin saya tercengang.
 
Mendekati azan ashar, kelar keduanya. Ya kelar bukunya, ya kelar musiknya. Album Turilli saya spin mungkin empat - lima kali. Atau mungkin enam ? Fuih. Nikmat. Saya mau mandi dulu. Saking asiknya, asli saya belum mandi. Makan siang juga kelewatan. Namanya juga hari libur ini. [] haris fauzi - 17 Mei 2008


salam,
haris fauzi
 

Friday, May 09, 2008

kenisah : sering apa

SERING APA
 
Yah. namanya juga anak kecil. Saya pas sekolah di pra-sekolah (sekali lagi : sekolah di pra-sekolah...lho, ini apa-apaan sih ?), sering banget nangis. Mungkin karena usia saya yangterlalu kecil, 3 tahun. Tidak hanya itu, teman satu sekolah juga ada yang beulah nakal. Yang paling nakal adalah Iwan dan Hari. Penampilan Iwan sepertinya anak orang kaya, berbadan gempal, berambut panjang poni seperti Adi bing Slamet si Jenderal Kancil, warna kemerahan pula. Iwan suka memakai sepatu proyek, sepatu boot karet warna merah. Bercelana pendek jeans dan berkemeja kotak - kotak lengan panjang. Itu yang saya ingat. Hobinya merebut mainan temannya, kadang lewat cara kekerasan. Sementara Hari begitu royal membagi bogem mentahnya dengan kepalan tangannya yang khas, jempol yang terlipat di dalam genggaman. Entah kenapa, senakal - nakalnya Hari, dia juga cengeng seperti saya. Masa pra-sekolah di TK Aisjijah Bustanul Athfal ini menjadikan masa paling cengeng dalam hidup saya, sering nangis. Untungnya ada kakak dan Pak Ngadenin. Pak Ngadenin adalah tukang becak abonemen yang mengantar kami sekolah, betiga. Kakak, saya, dan mbak Irma, tetangga.
 
Masuk SD di lingkungan asrama tentara, jadilah saya lebih badung dari semula. Tahun - tahun penuh perkelahian. Enam tahun sekolah, tiga tahun diantaranya diisi adu jotos hampir setiap minggu. Hampir dalam segala urusan, murid sekolah ini selalu menawarkan penyelesaian cara duel.
Dalam komunitas yang selalu begerombol, maka acara pengambilan keputusan yang menyangkut antar kelompok jadi sangat serius. Biasanya diselesaikan di luar sekolah. Lumrah. Gara - gara kalah sepakbola, maka urusannya bisa dilanjutkan ketika sore dilapangan itu juga, namun bukan melakukan sepak bola, tetapi adu jotos.
 
Keseharian yang seperti itu sedikit banyak memaksa saya kadang melayani pertikaian yang membuat orang tua kuatir itu. Sejatinya saya sering takut, dan mungkin memang saya tidak suka berkelahi. Andai hal itu bisa diselesaikan lewat berbantah - batahan, mungkin saya lebih suka. Namun, tidak semuanya harus dijalani seperti yang saya mau. Kalo musti berantem, ya berantem. Sesering banyaknya friksi antar kelompok atau perorangan, maka sesering itu juga kami berkelahi bertukar bogem.
 
Walah. Kondisi tubuh yang kecil, dengan berat 25 kg, masa SMP menjadi masa penuh derita. Dengan berjalan kaki menempuh waktu 20 menit saya biasa berangkat dan pulang sekolah. Capek. Beberapa kali sakit. Seberapa sering saya tidak masuk karena sakit ? Mungkin setiap bulan saya pernah tidak masuk dan menyandang predikat absen sakit.
 
Bagi saya mungkin terlalu berat. Bersekolah di SMP favorit membuat beban akademis berlebih. Setidakmya dari jumlah buku yang harus dibawa lebih banyak ketimbang teman - teman dari sekolah lain. Dari banyaknya pekerjaan rumah sudah jelas. Dengan double impact seperti ini, maka hal itulah yang terjadi, saya sering sakit, sering tidak masuk, sering nyusul ulangan, kalau kesusul. Kadangkala ulangan tidak bisa disusul. Ya udah, terima nasib. Pernah nilai mata pelajaran bahasa Inggris saya berupa kursi terbalik alias 4. Namun di kelas tiga, nilai matematika dan bahasa Indonesia bisa 9. Ajaib.
 
Ya, ajaib. Dengan kondisi sekolah masa SMP yang tertatih - tatih karena didera macam - macam penyakit, saya lulus dan bisa diterima di SMA favorit kota Malang. Walah, betapa leganya hatiku. Lega karena mampu menyenangkan orang tua. Ga kebayang kalau gagal, pasti dimarahin habis- habisan.
 
Namanya anak SMA, tentunya sering main. Apalagi SMA favorit, pasti oke nih...oke temen - temennya, oke cewek - ceweknya juga. Jadi kerasan di sekolahan. Belum lagi hari minggu juga musti ke sekolahan, ada kegiatan ekstra kurikuler. Pokoknya, tiada hari tanpa menginjakkan bumi Bhawikarsu, nama sekolah itu. Gak cuma itu. Akhirnya sering kelayapan juga, karena kebetulan banyak teman yang anak orang kaya, jadi terbawa - bawa jalan - jalannya. Orang tua sering saya bikin repot dengan ulah sering kelayapan ini. Pulang sekolah gak jelas, kadang hingga menjelang maghrib. Wahai Ibu, anakmu ini memang bandel. Apalag nilai raport jeblok selalu. Setiap semester sudah menjadi langganan dimarahin Ibu. Mungkin karena kakak nilainya selalu gemilang, dan kakak saya biarpun di sekolah yang sama, dia murid yang baik, tidak ngelayap kemana - mana seperti saya. Jam pulang, ya pulang. Juga teman - temannya agak beda tipenya dengan teman - teman saya. Dasar saya-nya yang bandel, bersua teman - teman yang bandel juga. Keseringan ngelayap. Kacrut deh.
 
Keajaiban terjadi lagi. Mungkin karena manjurnya doa Ibu, mungkin karena saya berasal dari sekolah favorit, sebandel - bandelnya juga masih encer otaknya. Saya lolos seleksi penerimaan universitas negeri. Biarpun tidak seperti teman - teman yang bertaburan masuk institut dan universitas terkemuka, saya beruntung bisa kuliah di universitas yang cukup bergengsi. Sekali lagi saya lolos lubang jarum. Ihwal saya hendak kuliah ini cukup heboh. Sekampung rasanya nggak ada yang nggak tau siapa saya dan siapa kakak saya. Kakak saya terkenal sebagai anak pintar, saya badung. Dan suatu malam, menjelang pengumuman hasil UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), keberhasilan-kegagalan saya dijadikan pertaruhan beberapa tetangga. Mereka sebagain besar beranggapan bahwa saya tidaklah segemilang kakak, sehingga dalam UMPTN saya akan gagal. Hanya sebagaian kecil yang beranggapan bahwa saya bisa lolos UMPTN.
Dan esok paginya, dalam koran terbitan pagi, nama saya tercantum sebagai peserta ujian yang lulus dan berhak daftar ulang di kampus yang bakal membesarkan saya: Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang. Hampir seluruh tetangga melongo melihat kebiadaban ini.
 
Entah karena SMA keseringan di sekolah, maka masa kuliah saya sering bolos. Walau bolosnya tetep aja masih di kampus. Dalam arti saya jarang masuk ruang kuliah, padahal saya sendiri sedang di kampus nongkrong di gedung kemahasiswaan. Di gedung kemahasiswaan ini saya berdialog dengan banyak rekan, yang akhirnya menjadi lebih menarik ketimbang kuliah. Memang dasar anak malas.
 
Dari semua jenjang sekolah, masa kuliah menjadi masa yang paling berarti bagi saya. Bukan urusan teman wanita. Sepanjang sekolah belasan tahun saya tidak pacaran hingga lulus, karena memang ga punya modal. Namun masa kuliah banyak merubah dan menambah wawasan dalam diri saya. Wawasan apaan ? Saya detilnya juga tidak mampu menjabarkan. Yang penting saya merasa memiliki eksistensi di kampus itu, jati diri saya menguat, tidak seperti masa SMA yang kelayapan tapi nggak ngerti untuk apa. Masa kuliah saya mengerti hendak menjadi seperti apa, dan harus bagaimana. Setidaknya itu lebih sering saya pertanyakan kepada diri saya sendiri. Walau tetep saja saya keseringan bolos. Yang baru ketahuan belakangan oleh orang tua saya. Walhasil saya tidak bisa lulus secepat kakak saya.
 
Oh, ya. Sejak TK hingga lulus kuliah saya selalu satu sekolahan dengan kakak saya. Saya selalu satu kelas di bawah beliau. Nilai akademis saya selalu di bawahnya juga. Ya karena memang kakak saya pintar, dan kebalikan  saya bandel. Mungkin karena unyeng - unyeng kakak saya satu, sementara saya dua. Yang jelas Ibu selalu tidak puas saja melihat nilai akademis saya yang kebanyakan jeblok itu. Ibu selalu melipat dahi bila membandingkan nilai kami berdua, walau beda jenjang.
Tapi ada sedikit kejutan. Dalam suatu mata kuliah, karena sistem perkuliahan paket semester penuh, saya sempat bareng satu kelas dengan kakak saya, yakni mata kuliah Pemrograman Komputer. Ketika nilai ujian keluar, kami berdua memiliki nilai yang sama : C. Pada saat itu saya dengan gagah bisa bilang ke Ibu bahwa biarpun saya sering bolos, tapi sekarang saya sudah sepintar kakak saya. Hahahahaha.....[] haris fauzi - 9 Mei 2008


salam,
haris fauzi
 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

Saturday, May 03, 2008

kenisah : masa yang berulang

MASA YANG BERULANG
 
Sore tadi saya pulang agak terlalu larut. Ya. Bukan sore lagi, tetapi jam delapan malam. Sajian sore jadi ikutan terlambat. Walau sudah malam, saya belum tertarik untuk makan malam yang biasa saya santap bareng Istri saya. Sendiri saya malah menyantap sajian sore itu, teh tarik dan cracker untuk mengisi perut, meredakan penat, sambil tergeli - geli menyaksikan ulah anak bungsu. Yang sulung sibuk dengan buku - buku pelajarannya bersama Ibu-nya. Malam ini tanggal 2 Mei 2008. Setelah itu saya beranjak berisirahat.
 
Terjaga dari tidur malam,  setelah memeluk Istri yang masih menutup mata, saya menuliskan hal ini. Waktu menunjukkan pukul setengah dua dini hari, 3 Mei 2008. Dalam organizer saya tertulis hari ini Istri saya berulang tahun. Dalam bulan ini pula, jutaan orang lain lahir, dan tentunya jutaan pula yang berulang tahun. Bulan lalu, April, saya dan jutaan manusia yang lain juga berulang tahun. Bulan depan, anak bungsu saya berulang tahun, juga orang lain baik yang saya kenal atau pun tidak --ada tiga puluh hari di bulan Juni dan mereka tersebar di sana. Selamat ber-ulang tahun. Bulan berikutnya agak dahsyat, anak Sulung saya berulang tahun bersamaan dengan ulang tahun mendiang Ayah saya. Dan kelak bulan Agustus, Kakak kandung saya bergantian ber-ulang tahun. Tentunya berjuta orang juga berulang tahun di bulan - bulan itu. Selamat.
 
Semesta memang semakin renta. Siapapun. Juga saya yang berulang tahun bulan lalu. Juga Istri saya yang kini berulang tahun. Bumi bergerak terus. Tidaklah perlu menengok terlalu kebelakang, karena usia terus bergerak maju menyisakan kesempitan kesempatan dan tuntutan untuk semakin dewasa. Masalahnya adalah kedewasaan tidaklah selalu seiring dengan petambahan usia. Sebuah stasiun radio pernah mengutip pendapat saya,"...kedewasaan seseorang tidaklah diukur dari seberapa banyak umur hidupnya. Tetapi dari seberapa siap dia menghadapi kematian ". Saya tersenyum simpul ketika pesan saya tersebut on-air.
Dalam problem ini, seorang karib --yang berasal dari sebuah keluarga besar--menyudutkan dari sisi yang lain, " Ris, bagi saya tidak ada yang istimewa dalam ulang tahun. Hampir setiap bulan ada yang berulang tahun di rumah kami. Seperti adanya hari kamis, atau rabu, setiap minggu, setiap bulan, berulang...".
Sobat, kau memang selalu sinis. Itu kelebihanmu.
 
Masa yang berulang. Ada yang meng-istimewa-kan, ada yang menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Seringlah ada perayaan khusus untuk sebuah "anniversary" seperti ini. Saya pernah merasakan hal ini, salah satunya adalah setidaknya ketika di 9 Februari 2004 saya menonton konser musik "25th Anniversary", konser kelompok besar: TOTO. Konser akbar dalam rangka ulang tahun yang ke dua puluh lima. Konser yang istimewa.
Namun bagi saya pribadi, tidaklah ada yang terlalu istimewa pada perjalanan waktu seperti itu. Tidak ada latar belakang yang mewarnai hidup saya dengan hal - hal seperti itu, kecuali beberapa kali menghadiri perayaan ulang tahun teman sekolah, yang kurang tajam menjejakkan pesan di pikiran saya. Menyisakan kelelahan setelah semalam bersuka ria berikut beberapa permainan yang membuat sesak, dengan pakaian yang mengikat terlalu keras.
Sejak kecil di rumah Malang, selalu diadakan upacara kecil di meja makan untuk anggota keluarga kami yang berulang tahun. Diikuti seluruh anggota rumah, dipimpin Ayah. Berdoa bersama, lantas setiap anggota membacakan surat pendek dari Al-Qur'an sebagai kado kepada yang berulang tahun, ditutup dengan bersalaman. Ritus sederhana. Demikian berulang - ulang masa. Dalam perjalanan waktu, dalam masa yang berulang, dengan demikian yang istimewa bagi saya adalah selembar doa, ucapan salam, dan bagaimana berjabat tangan. Akhirnya adalah itu.[] haris fauzi - 3 Mei 2008
 


salam,
haris fauzi
 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.