Wednesday, November 30, 2011

kenisah : ceritera tiga berkawan

CERITERA TIGA BERKAWAN

Si Udi, Amat, dan Ari adalah bersebut nama untuk tiga sekawan. Tinggal satu desa bersama - sama menempuh waktu yang dingin. Desa dingin nan seragam. Orang tua mereka-pun bisa dikata seragam profesi, sebagai penggarap lahan. Kadang - kadang paling melenceng menjadi tukang ngarit, pencari rumput galah bakal santapan sapi. Udi, Amat, dan Ari makin seragam aktivitasnya, mencuci kebo bareng satu sungai, nyolong mangga bareng satu kebun, mengaji satu surau. Perbedaannya adalah dalam ragam permainan Si Udi paling cekatan, di surau Si Amat paling pandai mengaji, di hutan Ari paling gagah berani.

Menginjak umur limabelas Si Udi merantau ke kota untuk memulai hidup dengan tujuan bercabang entah sekolah entah bekerja. Tinggal bersama pamannya yang serdadu. Lantas atas kecekatannya dia mampu sekolah dan bahkan berhasil menjadi pegawai negeri. Ringkas ceritera, dengan ketekunannya, Udi dipercaya dan menjadi aparat dengan pangkat tinggi. Pada ujungnya ragam proyek pemerintah dia kendalikan. Setelah itu kita semua tau, uang tak henti mengalir ke koceknya.

Umur tujuh belas Si Ari pergi ke pesisir untuk menguji kenekadannya dengan menjadi kuli pelabuhan. Pelabuhan adalah arenanya berkelahi. Berkat keberaniannya, dia tulen menjadi petarung. Kepangkatan premannya makin menanjak. Genap sepuluh tahun memegang tambang pelabuhan, tak hanya mengutip setoran, kini menjadi penyelundup barang adalah lumrah. Ari menjadi kaya - raya.

Si Amat tak kemana - mana. Tetap di desanya, menggarap sawah tuan bapaknya. Mencangkul menggantikan orang tuanya, membersihkan surau menggantikan guru ngajinya yang merenta. Kehidupannya tidak ada perubahan berarti, datar semata, kecuali ketika berumur tiga puluh tahun menjadi yatim piatu.Walhasil guru ngaji-nya menjadi orang tua kedua, dan surau menjadi rumah keduanya. Seminggu sekali Amat ziarah ke kuburan orang tuanya.

Lebaran, lima tahun setelah kematian orang tuanya, Amat kedatangan tamu istimewa. Si Udi pulang kampung. "Sambang desa", kata Udi. Si Ari seakan tak mau ketinggalan, dia juga pulang kampung dengan suara kerasnya. Maklum, lama berteriak - teriak di pelabuhan. Walhasil Udi, Amat, dan Ari-pun terlibat nostalgia. Udi banyak berceritera tentang gemerlapnya kota, betapa proyek - proyek menghasilkan gepokan duit, dan tak lupa sedikit pamer tantang mobil mewahnya.

Ari mudik membawa ceritera heroik perkelahiannya yang beragam tanpa ronde di pelabuhan. Botol dan narkoba hanya cengengesan belaka. Suatu ceritera yang menarik dan makin menarik ketika bumbu pedas asamnya bergantian dinikmati. Tak lupa Ari membanggakan mobil mewahnya yang tanpa pajak karena ber-kongkalikong dengan aparat.
Si Amat pendengar setia, karena tak ada rupa desanya yang hendak diceriterakan. Karena desa ini dingin dan datar semata. Bahkan surau yang kini adalah rupa surau dua puluh tahun lampau.

Usai bertukar ceritera, usai pula liburan lebaran. Ari kembali ke kerajaan hitamnya di pelabuhan, Udi kembali ke kantor proyek yang menjadi pundi - pundi duitnya. Dalam senja Amat kembali bersua dengan pak Tua guru ngajinya. "Udi dan Ari kaya. Saya tak punya apa - apa", ujar Amat. Pak Tua bergumam," Itu meringankanmu..." [] haris fauzi - 29 Oktober 2011