Tuesday, November 15, 2016

Awas Provokator Beraksi

Seminggu ini ada dua kejadian provokasi. Sungguh menyedihkan. Satu provokator beraksi ketika diadakannya Aksi Bela islam 411 di Monas Jakarta. Seorang pria provokator berteriak - teriak "Bakar gereja !" berulang - ulang. Untungnya peserta aksi berhasil mengamankan pria ini. Setelah dibekuk, pria provokator ini ternyata membawa KTP dengan identitas non-muslim. Aksi provokasi berlangsung juga pada malam harinya sehingga membawa korban meninggal dan luka - luka. Apakah ini bukan aksi provokator ? Pasti ini provokator, namun dia tidak sukses mengemban misinya. Bayangkan apabila ulah dia berhasil, maka akan ada bentrok besar - besaran di Monas kala itu. Sungguh kegilaan tak bernalar. Apapun, adanya korban meninggal dalam kasus provokasi ini mencatatkan kelakuan bengisnya.

Kejadian kedua adalah peristiwa pelemparan bom molotov di Samarinda pada Minggu 13 Nopember 2016. Dilakukan oleh gerombolan bengis Bom Buku, aksi ini mengakibatkan korban meninggal, diantaranya bocah. Tujuannya jelas, menciptakan provokasi dan  mencemarkan nama Islam. Menciptakan provokasi, karena hendak memecah persatuan. Mencemarkan Islam karena para pelaku teroris bayaran ini mengenakan baju berlabel Islam. Apa maksudnya coba ?

Bila kita bertanya maksudnya, maka dua kejadian provokasi diatas jelas terangkai. Dalam Aksi Bela Islam yang diikuti jutaan ummat Islam, provokator (yang katanya ber-KTP non Islam) malah menghasut untuk melakukan pembakaran gereja. Tujuannya jelas, menciptakan kerusuhan besar, menciptakan image buruk bagi Islam. Demikian juga maksud pengebom Samarinda yang sengaja mengenakan kaos bertulis "jihad".

Dua kelakukan bengis provokator itu, mencatatkan korban meninggal. Memang provokator yang hendak mencitrakan Islam buruk itu selalu seperti itu. Jangan lupa dunia masih digegerkan dengan ISIS yang juga melakukan hal serupa bukan ? Dan ingat, ISIS itu binaan CIA dan Mossad, notabene bukan organisasi Islam. Dari skema nasional dan internasional ini, jelas ditarik garis merah, bahwa aksi teror, aksi provokasi, aksi ISIS adalah gerakan masif yang bertujuan dua hal, menciptakan teror dan kerusuhan, serta  untuk menyudutkan Islam. Targetnya menyudutkan Islam. Mereka tidak peduli mau berapa korban lagi. [] haris fauzi, 14 nopember 2016

Saturday, November 12, 2016

Kemungkinan Itu Islamphobia


Jangan kesampingkan kemungkinan ini. Lihatlah Aksi Bela Islam II yang digelar 4 Nopember lalu di seputaran Monas Jakarta. Itu adalah aksi damai. Salah satu aksi massa terbaik di dunia, setelah penyelenggaraan Ibadah Haji di Arab Saudi. Itu fakta tak terbantahkan. Murni gerakan tulus rakyat. Namun belakangan, hingga tulisan ini dibuat, yakni seminggu setelah aksi tersebut, bertaburan informasi simpang siur ihwal peristiwa tersebut.

Banyak analisa bertaburan berkenaan dengan hal tersebut. Mangkanya jangan kesampingkan kemungkinan adanya fenomena islamphobia. Selama ini, selama belasan --mungkin puluhan tahun, informasi dari dunia barat banyak mengintrodusir secara tidak berimbang ihwal betapa Islam dikonotasikan dengan terorisme dan hal - hal berbau brutalisme. Ini adalah gerakan opini yang digalang dengan intens oleh media sekuler. Masif sekali, dan tentunya ini menyudutkan Islam. Dan ini bukannya tidak berdampak. Apakah dampaknya ? Munculnya fenomena islamphobia.

Dari banyak dampak yang terjadi, setidaknya ada dua hal dampak yang nyata terlihat. Yang pertama adalah munculnya legitimasi islamphobia itu sendiri. Yakni ketakutan akan Islam. Skenario boneka ISIS membuktikan itu. Sandiwara boneka ISIS, yang sejatinya bentukan kaum kapitalis, berhasil menakut - nakuti nyaris sebagian besar penduduk dunia sehingga dunia takut terhadap gema "khilafah". Ini bentuk keberhasilan kaum sekuler menyudutkan Islam.

Dampak kedua adalah terbentuknya mindset bahwa Islam itu menakutkan, --dan tidak hanya itu-- sedemikian kuat mindset ini terbentuk sehingga mereka tidak akan percaya bahwa Islam itu penuh kedamaian. Mustahil, menurut mereka. Ini ketakutan yang sungguh berlebihan.

Dua fenomena islamphobia inilah yang dijungkir-balikkan oleh adanya Aksi Bela Islam 411 tersebut. Dengan penjungkir-balikkan opini tersebut, maka muncullah sinisme. Nada iri. Kaum islamphobia merasa seperti bermimpi, tidak percaya hal ini, dan berusaha mengaburkan fakta. Maka diciptakanlah provokasi yang bermaksud merusak citra aksi damai tersebut. Maka diciptakanlah opini ihwal kerusuhan. Media berperanan besar dalam hal skenario pemutar-balikan realitas ini.

Mengapa ini terjadi ? Harus dimaklumi bahwa islamphobia muncul dari bangsa Eropa, yang mana adalah bangsa sekuler yang berhasil melepaskan diri dari dogma agama dengan munculnya gerakan renaisans. Dogma agama pra renaisans sangat represif, membelenggu dan menakutkan mereka. Dan dengan adanya renaisans, hidup mereka terbebas dari kungkungan dogma tersebut. Itu alasannya mengapa bangsa Eropa, sebagai representatif kaum sekuler terindikasi mengidap anti agama. Rancunya, mereka menyama-ratakan Islam dengan dogma pra renaisans, sehingga muncullah fenomena islamphobia.

Sejatinya ini logika yang salah. Karena begitu mindset mereka adalah negatif, maka mereka akan memungkiri fakta positif. Apapun itu. Dan ketika bertindak, terjadi kecondongan untuk berusaha agar fakta positif itu lenyap, dikamuflase menjadi negatif sebagaimana mindset yang telah ada dalam otak mereka. Maka diciptakanlah opini dan pencitraan yang terbalikan dengan kenyataannya. Atas dasar pola inilah maka dalam aksi damai 411 tersebut terjadi provokasi - provokasi. Provokasi yang sumbernya adalah ketidakrelaan terhadap fakta --realitas yang terjadi-- bahwa Aksi Bela Islam 411 berlangsung dengan sangat bermartabat. Kaum islamphobia tidak rela Islam yang selama ini mereka opinikan sebagai teroris itu ternyata mampu membawa dua juta massa turun ke jalan dan berlangsung sangat santun. Ini mengobrak-abrik pemikiran mereka, merusak tatanan pola pikir mereka. Maka dalam menganalisa Aksi Bela Islam 411, sepertinya patut dipertimbangkan kemungkinan bahwa pihak yang selama ini mendeskreditkan Islam-lah yang tidak rela bila ummat Islam mampu membuktikan kedamaian yang sesungguhmya. [] haris fauzi, 12 nopember 2016 - foto republika

Saturday, November 05, 2016

411

Unjuk rasa Aksi BELA  ISLAM  yang digelar pada 4 nopember 2016 di seputaran Monas Jakarta, sepertinya ada 2 sesi, sesi siang dan sesi malam. Sesi siang berlangsung damai, dihadiri sekitar 2,3 juta muslim. Sementara sesi  malam terjadi rusuh karena ada provokasi. Dugaannya masih semrawut, apakah HMI disusupi, dan siapa yang membakar mobil polisi.

Sesi siang, walau gagal bertemu Jokowi, berlangsung sangat tertib, provokator pembakar gereja tertangkap oleh para peserta aksi dan diamankan. Target aksi ini adalah tuntutan agar pemerintah menindak tegas Ahok dalam kasus penistaan Al-Qur'an. Menjelang senja pemerintah menjawab tuntutan peserta aksi. Jawaban pemerintah disampaikan oleh Wapres, dimana berjanji menangani kasus penistaan Al-Qur'an tersebut. Jawaban Jusuf Kalla ini sepertinya cukup memuaskan sebagian peserta unjuk rasa. Menjelang maghrib, --sesuai surat ijin unjuk rasa,-- para peserta aksi berangsur - angsur membubarkan diri.

Memang ada ganjalan. Entah kenapa Presiden malah meninggalkan istana hari itu, sehingga pengunjuk rasa gagal menemuinya. Padahal unjuk rasa yang diikuti jutaan orang ini sudah direncanakan nyaris sebulan sebelumnya, sehingga timbul kesan Presiden seperti menghindar. Ini blunder sehingga menjadi salah satu faktor pemicu kerusuhan yang terjadi pada sesi malam.

Sesi malam berlangsung karena ada sebagian massa yang tidak puas belum bertemu presiden, dan dengan duduk tertib mereka tetap menunggu Jokowi. Saat menunggu ini rentang maghrib terjadi provokasi sehingga ada kericuhan. Ada beberapa bentuk kejadian yang disinyalir menjadi pemicu. Bentuk provokasi tersebut diantaranya adalah masuknya gerombolan berbendera HMI yang kemudian mengadu petugas. Entah HMI tulen atau gadungan. Provokasi kedua adalah terbakarmya kendaraan yang belum jelas siapa yang memulai, dan adanya tembakan gas air mata yang beberapa pihak menilai terlalu dini dan kurang terarah.

Semakin larut situasi semakin genting ketika provokator semakin menemukan jalannya, sementara aparat mulai mengunakan senjatanya. Saat itu peserta aksi bertahan dengan berusaha diam, tidak meladeni kericuhan. Dalam babak ini disinyalir ada skenario intelijen bermain di samping skenario provokator yang menghendaki aksi berlangsung ricuh. Seorang teman bilang bahwa banyak yang tidak rela bila aksi ini berhasil dalam damai, sehingga dipaksakan oleh provokator agar terjadi kericuhan. Seakan ada permainan yang hendak memperlebar masalah sehingga ada aksi penjarahan --di area lain-- yang tak jelas ujung pangkalnya. Dan tentunya disertai pula pemberitaan yang simpang siur. Pemberitaan jurnalisme yang mengail di air keruh.

Pada malam itu, aksi yang semula adalah berurusan dengan penistaan Al-Qur'an, ketika malam ada pula infiltrasi kepentingan politik ketika terjadi kekecewaan demonstran karena tidak bisa bertemu presiden. Maka sepertinya target berbelok, dari Ahok menuju ke Jokowi. Wallahu'alam.

Babak rusuh berikutnya adalah kepentingan pers islampobia yang begitu riang gembira menemukan sudut ricuh aksi ini. Jelas jurnalisme mengail di air keruh. Pers islampobia ini lantas gencar mempublikasi sisi ricuhnya demi kepentingan mereka. Dan, para gerombolan pasukan siber bayaran beraksi untuk membuat berita makin simpang siur. Karena memang itulah keahliannya. [] haris fauzi, 5 nopember 2016