MENGHITUNG NIKMAT Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. (QS 108:3) Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku"; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar. (QS 11: 9-11) Kalaulah kita pintar berhitung, tentunya tidak akan bisa menghitung seberapa besar nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita. Ini memang ungkapan klise. Dan semua orang mungkin juga sudah mengetahuinya. Mulai nikmat hidup, sehat, udara, dan lain sebagainya. Demikian banyak hingga tidak terukur lagi. Tak terhitung lagi. Bila hendak mencoba, bolehlah kita sebagai makhluk logis mencoba menghitung. Menghitung, dalam sistem ilmu teknik, berarti berkaitan dengan sesuatu yang terukur. Karena musykil menghitung sesuatu yang tidak ada nilai terukurnya. Dan bila kita lakukan penghitungan terhadap nikmat - nikmat yang sifatnya terukur, maka, semakin sadarlah kita bahwa sebenarnya Tuhan memang memberi lebih banyak dari yang kita mampu. Tuhan memberikan lebih berlimpah. Untuk hal ini saya tak hendak merekayasa. Dalam cerita hidup pribadi ada beberapa hal yang bisa jadi 'cocok' berkenaan dengan hal hitung - menghitung nikmat ini. Salah satunya adalah tentang nikmat rumah. Sejatinya, pada belasan tahun lalu,-- setelah sekitar lima tahun bekerja sebagai karyawan-- maka saya menimbang - nimbang peluang untuk memiliki sebuah rumah. Rasanya sungguh wajar, ketika berprofesi sebagai rekayasawan --karyawan biasa-- maka ada rasa sangat ingin memiliki rumah sederhana. Kala itu --hitung bolak - balik-- tandon tabungan rasanya cukup untuk mendapatkan sebuah rumah mungil di sebuah kompleks perumahan seperti biasa umumnya. Bayangan saya adalah tipe 21 di pemukiman perumahan rakyat. Kira - kira seperti itu gambaran yang sesuai dengan kemampuan keuangan kala itu. Harapan saya akan rumah tipe 21 di perumahan rakyat tidak terkabul. Karena Tuhan memberi lebih. Ternyata saat itu juga saya bisa mendapatkan rumah yang jauh lebih bagus, dengan tipe yang lebih luas, yakni tipe 60. Dan berada pada kompleks bukan sembarang perumahan, melainkan kompleks cluster yang cukup nyaman. Tidak mewah memang, tetapi jauh lebih bagus dari apa yang saya bayangkan semula. Demikian juga kendaraan. Ketika anak sulung lahir dan lantas saya berhitung akan membeli sebuah kendaraan tua, maka dengan menilik keadaan keuangan rasanya hanya cukup untuk membeli sebuah minibus bekas seperti angkutan kota atau mikrolet yang dirakit tahun 80-an. Ya memang hanya segitu kemampuan keuangan ketika itu. Namun, sekali lagi harapan saya tidak terkabul. Tuhan memberi lebih baik. Ternyata saat itu --atas bantuan seorang rekan kantor-- maka mobil sedan-lah yang bisa parkir di depan rumah kami. Walau umurnya sama - sama tuanya, tetapi sedan tentunya lebih nyaman ketimbang mini bus yang seumuran. Dan mobil itu terbukti handal dan masih layak gunakan hingga kini. Jelas, secara ukuran Tuhan memberi lebih baik kepada saya. Cita - cita ? Pada saat duduk di bangku SMA, sekitar tahun 1988, saya mengekor kakak sulung, bercita - cita menjadi seorang insinyur. Dan singkat cerita pada tahun 1995 usai sudah penantian saya ketika terwujud keinginan untuk berprofesi menjadi rekayasawan pabrik. Dan bagaimana sekarang ? Tuhan telah membuktikan memberikan lebih dari yang saya cita - citakan, ketika jabatan sekarang sudah jauh lebih baik dari yang saya cita - citakan semula. Contoh yang paling dahsyat adalah ketika saya mengalami kesulitan untuk mendapatkan anak yang kedua. Rupanya ada ketidak-normalan hormon. Saat itulah saya berandai - andai bahwa alangkah indahnya rumah ini bisa kami memiliki dua anak. Dan harapan ini tinggal harapan, karena Tuhan malah memperkenankan kami memiliki tiga anak. Sungguh luar biasa. Tuhan selalu memberi lebih dari yang saya minta. Itulah nikmat yang tidak terkira. Nikmat yang banyak dari Tuhan. Begitu melimpah dari Sang Maha Pemurah. Lantas, apa yang dituntut Tuhan atas itu semua ? Tidak ada selain sifat sabar. Ketika nikmat - nikmat yang berlimpah itu diberikan, lantas dicabut kembali, seringkali kita menggerutu. Ketika rumah atapnya bocor, mungkin saya menggerutu. Padahal, rumah tipe 60 walau bocor sekalipun tentunya masih mendingan ketimbang rumah tipe 21 seperti yang saya inginkan semula. Baru sedikit nikmat yang di cabut, kita mempermasalahkan hal itu. Demikian juga ketika mobil kita baret atau cacat permukaan cat-nya. Dan hal - hal kecil seperti itu seringkali memusingkan dan menggelorakan emosi. Rasanya itu semua tidaklah terlalu perlu dirisaukan. Menghadapi itu semua, sejatinya kuncinya hanyalah sabar. Begitulah apa yang disuratkan dalam kitab suci. Sabar memang menjadi cobaan yang tidak mudah. Saya berusaha mencoba memenuhi ini, ketika beberapa kali -- setidaknya tiga kali-- mobil kesayangan saya diseruduk kendaraan lain. Ketika di parkiran di eruduk mobil yang sedang mundur hendak parkir, ketika di setopan diserempet kontainer yang nekad menerobos lampu merah, dan ketika di perempatan diseruduk oleh bus yang rem-nya blong. Tiga peristiwa di atas membuat mobil saya compang - camping. Membuat lampu depan retak, membuat body belakang penyok dihajar ekor kontainer, dan badan mobil sisi kanan remuk dihajar bemper bis. Babak belur rupanya mobil kesayangan ini --satu - satunya pula. Semula hendak menuruti emosi, namun, sebuah mobil tua milik ini rupanya mengajarkan untuk mengukur nikmat. Intinya, ketika dalam keadaan compang - camping, toh mobil sedan tersebut masihlah lebih baik ketimbang mobil yang saya cita - citakan semula. Tak disangka - sangka, belajar menjadi sabar dari sebuah mobil tua ternyata membuat segalanya menjadi lebih mudah. Pun ketika sebuah promosi kenaikan pangkat ternyata belum juga kunjung terwujud, maka dengan ringan hati saya menerimanya. Toh apa yang saya dapat sekarang -walau nggak jadi naik pangkat- sejatinya masih jauh lebih baik daripada apa yang saya cita - citakan semula. Ringkas ceritera, rumah, mobil, pangkat, anak, dan sebagainya adalah nikmat pemberian Tuhan. Dan setelah terbukti Tuhan memberi nikmat lebih, maka sikap yang harus dikembangkan adalah sifat sabar. Karena, nikmat dari Tuhan itu milik Tuhan, dan Tuhan berhak mencabut nikmat tersebut. Entah dicabut sebagian, atau keseluruhan. Berdasar pengalaman saya, kebanyakan memang nikmat itu cuma dicabut sebagian. Itupun apa yang tersisa masihkah lebih baik daripada apa yang dicita - citakan semula. Sederhananya adalah seperti bila seorang bocah meminta duit kepada ibunya sebesar dua ribu rupiah, lantas ternyata ibunya memberinya berlebih dengan sepuluh ribu rupiah. Selang tak lama kemudian, sang ibu menarik duitnya dua ribu rupiah, menyisakan delapan ribu rupiah di kantong anaknya. Bila si anak bersabar, maka segalanya menjadi mudah. Namun, kebanyakan, sang bocah mempermasalahkan di-'tarik'-nya dua ribu rupiah, --padahal di kantongnya masihlah tersisa delapan ribu rupiah--, tanpa bisa mengerti bahwa harapannya semula hanyalah dua ribu rupiah. Dan seperti itulah dua gambaran sikap terhadap nikmat dari Tuhan. Satu sisi menyikapi dengan sabar terhadap dicabutnya nikmat. Satu sisi lain mempermasalahkan seakan - akan nikmat tersebut adalah semata - mata miliknya pribadi tanpa memperdulikan seberapa besar dia telah diberi. Dari dua sisi gambaran tersebut, tinggallah kita menentukan untuk memilih gambar disisi yang mana. [] haris fauzi - Mauk, Tangerang, Juli 2010 ----------- awal bulan kemarin, kami sekeluarga menyempatkan mengunjungi suatu daerah pesisir bernama Mauk, di kabupatenTangerang. Mauk -bagi kami- merupakan sebuah tempat yang bisa mengajarkan pentingnya untuk bersabar. http://harissolid.multiply.com/photos/album/131/sehari_di_mauk |
Sunday, July 11, 2010
kenisah : menghitung nikmat
Subscribe to:
Posts (Atom)