PILAR
Awal muasalnya adalah ketika John Locke (1632-1704) seorang filsuf politik Inggris mencoba menjabarkan pemisahan kekuasaan dalam pemerintahan negara. Menurut John Locke dalam bukunya berjudul Two Treatises on Civil Government kekuasaan negara dibagi dalam tiga pilar kekuasaan terpisah yaitu kekuasaan legislatif (Pembuat Undang – Undang), kekuasaan eksekutif (Pelaksana Undang – Undang dan Pengadilan), dan kekuasaan federatif (Hubungan antar negara).
Kisaran tahun 1740-an filsuf Perancis Montesquieu (1689-1755) mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L'Esprit des Lois (The Spirit of the Laws). Sebagamana buku karya Locke yang juga mencoba mengkritisi pemerintahan, buku tulisan Montesquieu juga demikian. Buku ini lebih menekankan kepada keberpihakan terhadap rakyat dari ganasnya kepemimpinan mutlak kerajaan. Dalam buku tersebut Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan ideal dalam tiga kekuasaan politik, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif dimana ketiganya terpisah dan saling melakukan kontrol. Dari sinilah populer istilah Trias Politika, yang artinya tiga kutub kekuasaan politik. Mengkritisi karya John Locke, menurut Montesquieu yudikatif harus terpisah daripada eksekutif karena sebagai kontrol antisipasi apabila pihak eksekutif menyimpang dari ketentuan legislatif.
Tata politik bernegara seperti ini dianggap sebagai acuan bentuk demokrasi. Setelah itu muncullah istilah pilar – pilar demokrasi dalam politik bernegara yang populEr di Amerika yang mana akhirnya diadopsi oleh banyak negara termasuk Indonesia, pilar eksekutif, pilar legislatif, pilar yudikatif. Sejatinya di Indonesia tidak hanya pemikiran Montesquieu, sebetulnya negara Indonesia pun juga mengadopsi pemikiran John Locke dengan pengembangan model federasi melalui otonomi daerah walau sedikit babak – belur disana –sini, contohnya Aceh dan Jogjakarta. Sementara hubungan luar negeri relatif terjaga berkat afiliasi dengan kiblat barat yang sangat mendewakan trias politika.
Entah tahun berapa, muncullah pilar keempat sIstem tata negara, yakni pers. Pers menjadi pilar keempat (fourth estate) sebagai faktor pengendalian terhadap kekuasaan dari tiga pilar lainnya. Seperti hal-nya pemikiran Locke dan Montesquieu, pilar keempat dimunculkan ketika ada permasalahan, dalam hal ini adanya tendensi korup di tiga pilar yang telah ada. Berbeda dengan tiga pilar terdahulunya, tipikal dari pilar keempat ini adalah tendensi bahwa mereka makin solid ketika ditekan.
Menyongsong era milenium banyak muncul fenomena kekuasan korup yang berkolaborasi antar tiga pilar. Jadi percuma saja ada fungsi kontrol antar tiga pilar politik karena mereka semua menerapkan kebiasaan korup kekuasaan. Setelah nyaris tiga ratus tahun tidak tergoyahkan bahkan oleh aktivitas ekspansif dan penaklukan, trias politika membuka celah masalahnya sendiri. Maka tak ayal, banyak negara yang melakukan pressure dan pembunuhan embrio pers demi tegaknya korupsi di pilar – pilar trias politika. Namun itu tadi, pers alih – alih tergencet, mereka malah makin militan. Pada ujungnya, tata pemerintahan membutuhkan eksistensi pers, disini artinya adalah kebebasan pers. Bahkan Albert Camus, kritikus apatis dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat berakibat baik dan dapat pula berakibat buruk, namun tanpa pers bebas yang ada hanya celaka.
Fungsi pers adalah sebagai jalur informasi, maka pers bisa berfungsi sebagai media kampanye (pembentuk opini), dan juga sebagai penyampai fakta. Dalam membentuk opini, pers berjasa menyampaikan nilai – nilai kebenaran untuk menjadi koreksi bagi tiga pilar yang lain. Sementara fungsi penyampai fakta menuntut transparansi tiga pilar lainnya. Inilah fungsi strategis pers dalam berkontribusi melakukan kontrol dalam sistem trias politika, yang kemudian menjadi empat pilar.
Sistem empat pilar ini belum sempurna, namun dalam kondisi ideal, mereka bisa mengakomodir kebutuhan berbangsa dan bernegara. Kondisi ideal adalah mensyaratkan kesempurnaan dari para pemegang kekuasaan di ke-empat pilar tersebut. Dalam bahasa religi, para pemegang kekuasaan haruslah amanah, memiliki nurani. Namun apa jadinya bila keempat pilar tersebut sama sekali tidak memiliki nurani ? Ketika itulah legislatif menjadi pengkhianat menelikung perundangan, ketika itu eksekutif berbuat semena – mena demi kepentingan pribadi, dan yudikatif bernafsu korup. Sementara pilar pers tidak independen dan memiliki muatan yang tendensius berikut pesan sponsor untuk merekayasa opini masyarakat demi kepentingan kapital. Korupsi merajalela, pemerintahan tidak dipercaya, hukum hanya banyolan rekayasa, dan terjadi kebingungan antara berita yang benar dan berita yang salah. Implementasi kebobrokan itu bisa kita nikmati di negara kita ini. [] haris fauzi – 23 Februari 2012