Inilah kebingungan saya sebagai rakyat jelata yang tidak faham ihwal BBM. Kebingungan pertama adalah dari sudut Indonesia sebagai penghasil hasil tambang. Mengapa Indonesia harus impor minyak ? Mengapa pengolahan minyak di Indonesia harus dilakukan oleh bangsa asing ? Apakah bangsa Indonesia tidak mampu ? Apakah bangsa Indonesia tidak mau belajar mengolah minyak ?
Trus, kebingungan kedua adalah dari sisi mekanisme pengadaan minyak impor. Di jaman customer oriented seperti sekarang ini, dimana pembeli adalah raja, mengapa impor minyak kita mahal sekali ? Konon kita harus mengimpor minyak lebih mahal daripada pertamax, dan lantas menjual sebagai premium. Selisihnya merupakan tanggungan APBN. Apakah dagang rugi seperti ini customer oriented ?
Trus (lagi), di jaman multi sourcing seperti sekarang, mengapa impor minyak --katanya-- malah harus lewat satu kaki yang dengan leluasa memainkan harga ? Apakah ini tidak rawan mark-up yang membuat harga makin melambung ?
Berikutnya adalah kebingungan dari sisi RAPBN. Di RAPBN yang telah disetujui menjadi APBN jelas - jelas menyetujui pencoretan subsidi BBM. Namun sehari setelah itu muncul berita bahwa subsidi terhadap partai politik tetap dianggarkan. Juga anggaran untuk membayar kasus Lapindo telah disetujui. Dan sekalipun tidak terdengar berita tentang efisiensi anggaran sidang dan kunjungan kerja para anggota partai politik. Ini negaranya partai politik ? Atau negaranya rakyat ?
Kebingungan ketiga adalah ketika saya mulai berandai - andai. Andai korupsi hambalang, century, dan sebagainya dikembalikan, ... seandainya para legislator dalam draft RAPBN memutuskan untuk mencoret segala fasilitas mewah pejabat, kemudian negara ini mengolah sendiri minyaknya, dan bila harus impor bisa mendapatkan sourcing yang murah, mungkin, harga BBM malah turun. Mungkiiiiin....... [] haris fauzi - 24 juni 2013