Maulid Nabi Muhammad SAW dinisbatkan sebagai salah satu peringatan hari besar Islam. Mungkin, malah jaman tahun 70-90-an menjadi kerutinan di tiap - tiap komunitas pengajian atau masjid untuk menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Nyaris di semua masjid memiliki seksi PHBI, berkepanjangannya Peringatan Hari Besar Islam. Ini untuk menggarap acara - acara peringatan tersebut, diantaranya adalah Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Nuzulul Qur'an, Isra' Mi'raj. Itu umumnya.
Kemapanan PHBI mulai terusik semenjak maraknya jamaah Salafi - Wahabi yang mengkritisi penyelengaraan PHBI, khususnya peringatan Maulid Nabi. Alasannya adalah telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW bahwa Islam memiliki dua Hari Raya, yakni Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Menurut dalil Salafi - Wahabi, diluar dua hari raya tersebut, maka hari raya yang lain adalah bid'ah dan sesat. Dan lagi, selama masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, hingga para sahabat empat generasi, tidak pernah ada penyelenggaraan acara Maulid Nabi Muhammad SAW.
Beberapa rekan Salafi - Wahabi juga berpandangan bahwa peringatan maulid hanyalah kebiasaan peninggalan nenek moyang yang harus ditinggalkan, yang dimuat dalam Al Qur'an Al-Baqarah 2:170 sebagaimana artinya :
"...Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
Dua statemen utama dari Salafi - Wahabi tersebut sangat benar sekali, namun dalam pandangan saya, justifikasi perorangan-nya bisa salah. Contoh sederhana adalah statemen pertama tentang Hari Raya. Sebagaimana saya bertanya kepada rekan - rekan yang menyelenggarakan Maulid Nabi, mereka juga beranggapan sama, yakni hanya ada dua hari raya, sementara Maulid Nabi bukanlah hari raya, namun berupa "Peringatan" akan lahirnya Rasulullah SAW. Ihwal "peringatan" ini, senyampang tidak pernah dijalankan di masa para sahabat, dalam pandangan Salafi - Wahabi, berarti mengada - ada, dan itu bid'ah, dan semua bentuk bid'ah adalah dholalah (sesat). Sementara dari pihak penyelenggara, yang kebanyakan berbasis NU dan Muhammadiyah, beranggapan bahwa tidak semua yang mengada - ada adalah bid'ah, contohnya sholat tarawih berjamaah, pencetakan Mushaf al Qur'an, sekolahan, dan lainnya. Dalil kedua kubu cukup kuat.
Statemen kedua, ihwal "peninggalan nenek moyang", itu juga benar. Karena acara maulid sudah dilakukan turun - temurun semenjak jaman dahulu kala. Namun, sekali lagi, tidak semua peninggalan nenek moyang adalah salah. Sholat, Zakat, Haji, Puasa, itu semua peninggalan nenek moyang. Dan itu tidaklah salah. Ini adalah masalah pemahaman tekstual kontekstual secara perorangan.
NU dan Muhammadiyah memiliki ustadz-ustadz yang berkaliber tinggi. Salafi - Wahabi juga memiliki rujukan kuat dari para ulama dari Saudi. Yang satu pihak menyelenggarakan peringatan maulid, yang isinya kebanyakan adalah tausyiah, pengajian, pembacaan sejarah Rasulullah SAW, pembacaan al Qur'an, hafidz, santunan, dan seabreg kegiatan positif lainnya. Pihak lainnya tidak melakukan itu semua dengan dalil yang telah ditetapkan oleh ulama mereka. Manakah yang salah ? Bagi saya, kedua pihak merujuk kepada dalil yang kuat, dan tidak ada yang salah. Semua benar. Ini seperti pertanyaan : manakah yang salah, tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat ? Mana yang salah ? Tentunya semua benar. Jalan menuju kebenaran itu tidak harus selalu sama. Sesuatu yang berbeda, tidak melulu salah, dan tidak boleh mutlak disalahkan. Mereka yang menyelenggarakan maulid bukan ahli-bid'ah. Mereka yang tidak menyelenggarakan juga bukan kaum takfiri.
Saya pernah punya pengalaman lucu ihwal seperti ini, yakni ketika saya kala itu sedang memelihara rambut panjang. Dalam sirah Rasulullah, Muhammad SAW memotong rambutnya mengunakan pedang pendek. Ini artinya rambutnya cukup panjang, konon sebahu. Hal ini diperkuat dengan dalil sebagai berikut :
Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat rambut melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari (rambut) Rasulullah.”
Dalam suatu riwayat lain, “Rambut Rasulullah sampai mengenai kedua bahunya.” (Hr. Muslim: 2337)
Ihwal rambut, ketika rambut saya disindir oleh salah seorang dari mereka, sempat saya tanyakan kepada rekan - rekan dari Salafi - Wahabi, mengapa mereka kebanyakan memanjangkan jenggot, tetapi memotong rambut cepak. Alasannya adalah," Rapi itu ajaran Rasulullah". Tetapi, bukannya Rasulullah SAW berambut panjang dan rapi pula ? Ini jelas sekali pemahaman individual. Pemahaman yang akhirnya menggiring justifikasi individual, bukan komunal.
Ini adalah bentuk pola pikir. Menurut beberapa orang Salafi - Wahabi, berambut gondrong adalah tidak rapi. Cuma beberapa orang, bukan atas nama kelompok. Padahal berambut gondrong adalah dicontohkan oleh Rasulullah. Berambut gondrong tidak mutlak kemproh. Ketika saya berambut gondrong, beberapa rekan Salafi-Wahabi melakukan justifikasi bahwa saya tidak rapi, tidak mengikuti sunnah rasul yang harus rapi. Apakah gondrong saya tidak rapi ? Saya rasa, rambut saya rapi. Rambut saya tidak seperti Bob Marley. Sekali lagi, ini pola pikir, menganggap yang mengikuti sunnah rasul adalah yang mereka lakukan, sementara lainnya adalah menyimpang dari sunnah Rasulullah. Padahal tidak demikian. Pola pikir ini sifatnya individual, penilaian oleh perseorangan. Secara umum, gondrong berarti sunah Rasul, rapi berarti sunnah Rasul. Kedua-nya benar dan baik. Lebih mudah begitu.
Menyelenggarakan Maulid dalilnya kuat, demikian juga bagi yang tidak menyelenggarakan juga memiliki dalil yang kuat. Tinggal pola pikir individualnya seperti apa positif - negatifnya. Hemat saya, Muhammadiyah dan NU tetaplah tidak perlu dianggap ahli-bid'ah bila menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi. Demikian pula bila Salafi-Wahabi tidak menyelenggarakan Maulid tersebut, bukan berarti mereka kaum takfiri (kaum yang sering menuduh kafir kelompok lain). Bila ada yang menuduhkan bid'ah, bila ada yang men-cap takfiri, itu mungkin hal negatif individual semata, bukan mewakili komunitas. Itu pendapat saya. [] haris fauzi, 12 januari 2016.
Kemapanan PHBI mulai terusik semenjak maraknya jamaah Salafi - Wahabi yang mengkritisi penyelengaraan PHBI, khususnya peringatan Maulid Nabi. Alasannya adalah telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW bahwa Islam memiliki dua Hari Raya, yakni Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Menurut dalil Salafi - Wahabi, diluar dua hari raya tersebut, maka hari raya yang lain adalah bid'ah dan sesat. Dan lagi, selama masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, hingga para sahabat empat generasi, tidak pernah ada penyelenggaraan acara Maulid Nabi Muhammad SAW.
Beberapa rekan Salafi - Wahabi juga berpandangan bahwa peringatan maulid hanyalah kebiasaan peninggalan nenek moyang yang harus ditinggalkan, yang dimuat dalam Al Qur'an Al-Baqarah 2:170 sebagaimana artinya :
"...Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
Dua statemen utama dari Salafi - Wahabi tersebut sangat benar sekali, namun dalam pandangan saya, justifikasi perorangan-nya bisa salah. Contoh sederhana adalah statemen pertama tentang Hari Raya. Sebagaimana saya bertanya kepada rekan - rekan yang menyelenggarakan Maulid Nabi, mereka juga beranggapan sama, yakni hanya ada dua hari raya, sementara Maulid Nabi bukanlah hari raya, namun berupa "Peringatan" akan lahirnya Rasulullah SAW. Ihwal "peringatan" ini, senyampang tidak pernah dijalankan di masa para sahabat, dalam pandangan Salafi - Wahabi, berarti mengada - ada, dan itu bid'ah, dan semua bentuk bid'ah adalah dholalah (sesat). Sementara dari pihak penyelenggara, yang kebanyakan berbasis NU dan Muhammadiyah, beranggapan bahwa tidak semua yang mengada - ada adalah bid'ah, contohnya sholat tarawih berjamaah, pencetakan Mushaf al Qur'an, sekolahan, dan lainnya. Dalil kedua kubu cukup kuat.
Statemen kedua, ihwal "peninggalan nenek moyang", itu juga benar. Karena acara maulid sudah dilakukan turun - temurun semenjak jaman dahulu kala. Namun, sekali lagi, tidak semua peninggalan nenek moyang adalah salah. Sholat, Zakat, Haji, Puasa, itu semua peninggalan nenek moyang. Dan itu tidaklah salah. Ini adalah masalah pemahaman tekstual kontekstual secara perorangan.
NU dan Muhammadiyah memiliki ustadz-ustadz yang berkaliber tinggi. Salafi - Wahabi juga memiliki rujukan kuat dari para ulama dari Saudi. Yang satu pihak menyelenggarakan peringatan maulid, yang isinya kebanyakan adalah tausyiah, pengajian, pembacaan sejarah Rasulullah SAW, pembacaan al Qur'an, hafidz, santunan, dan seabreg kegiatan positif lainnya. Pihak lainnya tidak melakukan itu semua dengan dalil yang telah ditetapkan oleh ulama mereka. Manakah yang salah ? Bagi saya, kedua pihak merujuk kepada dalil yang kuat, dan tidak ada yang salah. Semua benar. Ini seperti pertanyaan : manakah yang salah, tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat ? Mana yang salah ? Tentunya semua benar. Jalan menuju kebenaran itu tidak harus selalu sama. Sesuatu yang berbeda, tidak melulu salah, dan tidak boleh mutlak disalahkan. Mereka yang menyelenggarakan maulid bukan ahli-bid'ah. Mereka yang tidak menyelenggarakan juga bukan kaum takfiri.
Saya pernah punya pengalaman lucu ihwal seperti ini, yakni ketika saya kala itu sedang memelihara rambut panjang. Dalam sirah Rasulullah, Muhammad SAW memotong rambutnya mengunakan pedang pendek. Ini artinya rambutnya cukup panjang, konon sebahu. Hal ini diperkuat dengan dalil sebagai berikut :
Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat rambut melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari (rambut) Rasulullah.”
Dalam suatu riwayat lain, “Rambut Rasulullah sampai mengenai kedua bahunya.” (Hr. Muslim: 2337)
Ihwal rambut, ketika rambut saya disindir oleh salah seorang dari mereka, sempat saya tanyakan kepada rekan - rekan dari Salafi - Wahabi, mengapa mereka kebanyakan memanjangkan jenggot, tetapi memotong rambut cepak. Alasannya adalah," Rapi itu ajaran Rasulullah". Tetapi, bukannya Rasulullah SAW berambut panjang dan rapi pula ? Ini jelas sekali pemahaman individual. Pemahaman yang akhirnya menggiring justifikasi individual, bukan komunal.
Ini adalah bentuk pola pikir. Menurut beberapa orang Salafi - Wahabi, berambut gondrong adalah tidak rapi. Cuma beberapa orang, bukan atas nama kelompok. Padahal berambut gondrong adalah dicontohkan oleh Rasulullah. Berambut gondrong tidak mutlak kemproh. Ketika saya berambut gondrong, beberapa rekan Salafi-Wahabi melakukan justifikasi bahwa saya tidak rapi, tidak mengikuti sunnah rasul yang harus rapi. Apakah gondrong saya tidak rapi ? Saya rasa, rambut saya rapi. Rambut saya tidak seperti Bob Marley. Sekali lagi, ini pola pikir, menganggap yang mengikuti sunnah rasul adalah yang mereka lakukan, sementara lainnya adalah menyimpang dari sunnah Rasulullah. Padahal tidak demikian. Pola pikir ini sifatnya individual, penilaian oleh perseorangan. Secara umum, gondrong berarti sunah Rasul, rapi berarti sunnah Rasul. Kedua-nya benar dan baik. Lebih mudah begitu.
Menyelenggarakan Maulid dalilnya kuat, demikian juga bagi yang tidak menyelenggarakan juga memiliki dalil yang kuat. Tinggal pola pikir individualnya seperti apa positif - negatifnya. Hemat saya, Muhammadiyah dan NU tetaplah tidak perlu dianggap ahli-bid'ah bila menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi. Demikian pula bila Salafi-Wahabi tidak menyelenggarakan Maulid tersebut, bukan berarti mereka kaum takfiri (kaum yang sering menuduh kafir kelompok lain). Bila ada yang menuduhkan bid'ah, bila ada yang men-cap takfiri, itu mungkin hal negatif individual semata, bukan mewakili komunitas. Itu pendapat saya. [] haris fauzi, 12 januari 2016.