Alhamdulillah pada bulan Agustus
lalu saya berkesempatan menunaikan ibadah haji. Tentunya haji pergi ke negeri
Arab sana. Bagi saya, ini perjalanan paling mengesankan dari segala perjalanan
yang pernah saya tempuh. Saya yakin Istri-pun berpikiran seperti itu. Mengapa
mengesankan ? banyak hal, banyak tempat, banyak situasi yang menambah kekayaan
pribadi dan jiwa. Umur sekian ini, maksud saya, umur kepala empat seperti ini,
ada baiknya menimbun kekayaan ruhani. Dan perjalanan haji merupakan sumur yang
tak akan habis ditimba demi menambah kekayaan ruhani. Banyak sekali momen yang
bisa termanfaatkan untuk hal tersebut. Tentu sebanyak itu tidaklah bisa saya
tuliskan disini semuanya. Namun setidaknya saya akan berceritera ihwal tiga
tempat dan tiga momen yang sungguh gamblang menggambarkan hal tersebut.
Yang pertama adalah ceritera tentang
pengalaman di Masjidil Haram, kota Makkah. Ini masjid nomer satu di jagad raya.
Konon, dan sudah banyak yang membuktikan, merupakan tempat yang mustajab bin
makbul untuk berdoa. Ya wajar, namanya juga Baitullah, rumah Allah. Tercatat
lokasi Hajar Aswad, Hijr Ismail, Maqom Ibrahim, Multazzam, Talang Ka’bah, sudah
terkenal sebagai tempat – tempat yang mujarab untuk berdoa. Sudah banyak yang
membahas itu, bukan ?
Hari itu Jum’at 8 Agustus 2017.
Saya lagi mengalami ‘anyang-anyangen’. Yakni merasa selalu ingin buang air
kecil, dan ketika kencing berasa sakit dan keluarnya sedikit – sedikit. Hari
itu kami berombongan dari hotel berangkat menuju Masjidil Haram. Ibu – ibu
dianjurkan ber-sholat jum’at juga. Setelah naik bis Shalawat dan berhenti di
terminal Syieb Amir, kami melanjutkan perjalanan berjalan kaki kurang lebih
sekitar 500 meter. Saat itu sekitar pukul sembilan pagi waktu Makkah.
Menjelang
memasuki gerbang Masjidil Haram, anyang-anyangen saya kambuh. Saya memisahkan
diri dari rombongan untuk ke toilet dan lanjut berwudlu. Lantas usai itu saya
masuk Masjidil Haram, naik lantai tiga. Sampai di sana, tak lama kemudian anyang
– anyangen ini berasa lagi. Saya turun lagi menuju toilet yang jaraknya sekitar
300 meter dari shaf. Memang toilet di Masjidil Haram jaraknya cukup jauh dari
lokasi sholat. Setelah itu saya naik lagi, cari lokasi di sekitar situ juga.
Gak lama kemudian berasa lagi anyang-anyangen itu. Saya lagi – lagi berlarian
turun menuju toilet. Bolak – balik ke toilet membuat saya kepayahan. Dari situ lantas
saya berdo’a,” Ya Allah, sulit bagi saya beribadah bila anyang-anyangen ini
masih saya derita. Mohon sembuhkanlah supaya ibadahku lancar”. Saya berdoa
ketika masih kesakitan di toilet. Menurut saya cukup ajaib. Anyang – anyangen saya
lenyap. Setelah sakit mereda saya beranjak wudlu kemudian naik lagi ke lantai
tiga Masjidil Haram. Mencari shaf lagi.
Setiba di shaf dalam Masjidil Haram,
anyang – anyangen saya tidaklah kambuh lagi. Bayangkan. Di toilet pun do’a itu
bisa terkabul secara kontan. Bagaimana bila kita berdo’a di tempat – tempat
mustajab di lokasi Masjidil Haram seperti Hajar Aswad, Multazzam, dan
sebagainya itu ?
Cerita kedua adalah tentang
kejadian di Mina. Sebelum ber-wukuf di padang Arafah, jamaah haji melakukan mabit
–menginap— di bumi perkemahan Mina. Hari itu Kamis, tanggal 31 Agustus 2017,
dini hari dimana kami bersiap menuju Arafah. Semua jamaah bersiap – siap.
Suasana malam itu hidup seperti kesibukan siang hari. Diawali dengan melakukan
sholat malam di Mina dan lantas berkemas. Wukuf adalah kegiatan paling kolosal
dari rangkaian ibadah haji, karena semua jamaah berkumpul jadi satu di padang
Arafah. Pada saat berbaris hendak memasuki bis, saya tidak menemukan istri
saya. Maklum, tenda pria dan wanita terpisah. Saat itu, entah mengapa, walau
tau saya mencarinya, istri saya malah bercanda ngumpet. Saya tau maksudnya
bercanda. Tapi lihatlah akibatnya. Istri akhirnya terpisah dari saya selama
perjalanan dari Mina menuju Arafah. Pisah bis. Ketika saya masuk bis, didorong
– dorong terbawa arus jamaah, saya tidak berbarengan dengan istri. Ketika di
dalam bis-pun saya tidak melihatnya. Kami baru berjumpa di pintu maktab Arafah.
Gara – gara terpisah dalam antrian berangkat, Istri ikut rombongan dua bis
setelah saya. Insight-nya, jangan sembrono di tanah haram.
Cerita ketiga adalah tentang
Masjid Nabawi di Madinah. Adalah masjid Rasulullah, bahasa keren-nya Prophet
Mosque. Ada area Raudhah yang merupakan duplikat surga, ada lokasi makam
Rasulullah dan Abubakar as Shiddiq serta Umar bin Khattab, ada pemakaman Baqi.
Ini masjid dengan area yang cukup luas juga. Subhanallah luar biasa masjid ini,
menjadi juru kunci posisi penting peradaban kota Madinah.
Ceritanya ihwal makam Rasulullah
SAW. Adalah disunnahkan untuk sesering mungkin menziarahi-nya. Memang dalam
sholat lima waktu, rangkaian kegiatan arbain, tentu kita selalu menunaikan
sholat lima waktu di masjid Nabawi. Tetapi apakah kita juga senantiasa
menziarahi makam Rasulullah SAW ? Belum tentu kan ?
Banyak jamaah yang usai sholat
lantas pulang ke hotel masing – masing. Kebanyakan merasa cukup sekali saja
menziarahi makam Rasulullah. Namun jangan lupa, ada hadits yang menganjurkan
ummat Islam menziarahi makam Rasulullah. “Beliau hidup” ketika di-ziarah-i.
Semula saya membaca hadits ini dengan cara membaca biasa saja. Demikian juga
dengan cara saya berziarah.
Dalam rangkaian Arbain Nabawi,
setidaknya saya berziarah total insyaa Allah sebanyak sembilan kali. Beberapa
kali –di masa – masa awal-- saya hanya
berziarah dengan berucap salam sambil lewat –karena memang harus berjalan,
tidak bisa diam berhenti dikarenakan arus manusia yang berziarah selalu sangat
banyak. Lantas saya membaca lagi tentang hadits tersebut. “Rasulullah hidup”
ketika di-ziarah-i. Saya belum faham apa maksud “hidup” dalam dalil tersebut,
karena tentunya bukan hidup sebagaimana kita sekarang. Dengan lebih mendalam
saya baca ulang. Akhirnya suatu saat saya berziarah lagi, berucap salam, dan
keajaiban itu muncul. Saya merasa salam saya terjawab. Kita tentu bisa
membedakan apakah salam itu terjawab atau tidak. Laksana memasuki rumah kosong
dan berucap salam –dimana tidak ada yang menjawab salam kita, tentu berbeda
dengan memasuki rumah yang ada penghuninya dimana mereka menjawab ketika kita
mengucapkan salam. Saat merasa salam terjawab saya nyaris saja menangis
“gero-gero”, suara saya terbata-bata, air mata mengucur. Saya lupa –dan tidak mencatat— kejadian ini
terjadi pada ziarah keberapa dan tanggal berapa.
Saat itu memang saya tidak
melihat kanjeng Rasul, di mata saya yang “blur” ini hanya ada sekumpulan besar
jamaah yang antri berjalan berombongan sambil
berucap salam dan mendengungkan shalawat. Terlihat juga askar – askar
yang menjaga ketertiban. Tapi itu semua abai. Saat itu, ketika saya berucap
“Assalamualaika ya Rasulullah”, saya tercekat. Serasa ada yang menyambut salam
tersebut. Ini halusinasi, atau apa ? Saya tidak mau ambil pusing dengan teori –
teori psikologi. Yang jelas, saya merasakan sepertinya ada yang membalas salam
saya. Dan ini episode perjalanan spiritual yang sangat sensasional bagi saya.
Kejadiannya mirip saat melakukan tawaf Wada’, tawaf perpisahan kepada Ka’bah.
Benar tidaknya ya Wallahualam. [haris fauzi, 31 desember 2017].