Entah jin apa yang bersemayam di punuk Niccolo Macchiavelli. Mungkin dia itu cenayang. Macchiavelli meramalkan secara kontroversial bahwa kekuasaan akan direbut dan dipertahankan dengan segala cara. Kekuasaan identik dengan frasa demokrasi, karena mau nggak mau apa yang diperebutkan dalam arena politik demokrasi adalah kekuasaan. Jaman dulu, penerapan sistem demokrasi adalah untuk pengambilan keputusan, termasuk memutuskan siapa yang berhak atas kekuasaan. Banyaknya opsi putusan yang harus diambil, akan mengerucut menjadi dua pilihan. Akhir ceritera sekumpulan orang memilih dari dua opsi tadi. Sangat tradisional dan primitif. Sebetulnya sistem demokrasi ini cocok untuk komunitas kecil, namun kini berkembang menjadi sistem untuk mengatur suatu negara besar, dengan naluri yang tetap primitif. Memang demokrasi telah dipoles dengan teknologi sehingga berkesan canggih. Namun itu polesannya saja. Metodologinya tetaplah primitif. Benarlah pendapat teman saya, bila dalam sistem demokrasi maka 200 profesor tentu akan kalah dengan 201 orang gila.
Memanglah perbincangan ihwal kekuasaan tak akan bisa lepas dari perseteruan antara ramalan Macchiavelli versus Politik Adiluhung. Macchiavelli meramalkan bahwa setiap orang cenderung ingin merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Ini pola basis yang sama dengan filsafat Eropa yang materialistis. Cara - cara bekerja di dunia ini, sebetulnya banyak. Namun lebih separuh cara manusia untuk mendapatkan sesuatu itu dibatasi dan dilarang oleh spiritualisme, ketakutan akan murka Tuhan. Maka dalam pola spiritualisme muncullah pelarangan - pelarangan atas cara yang dimurkai Tuhan. Label "haram" disematkan kepada cara - cara yang dimurkai Tuhan. Dan bila peran Tuhan diabaikan, maka semua cara - cara itu menjadi terbuka untuk digunakan, tidak ada lagi labielisasi cara haram, semua digunakan demi Tuhan baru : materi. Dalam filsafat materialisme, peran Tuhan bukanlah prioritas. Tuhan semenjak renaissance telah dimasukkan ke dalam kotak. Renaissance adalah kebangkitan akal dalam melawan belenggu dogma agama yang ada di Eropa. Renaissance - lah yang bertanggung jawab atas munculnya kotak tersebut. Kotak tersebut bernama ruang privat individu. Bukan ruang masyarakat. Jadi aspek Tuhan disekularisasi hanya menjadi perbincangan pribadi, tidak mengatur tatacara bermasyarakat. Anda boleh tidak melaksanakan sholat, asal baik hati kepada orang lain. Anda boleh gay, asal tidak mencuri. Padahal dalam spiritualisme, tidak sholat dan gay adalah hal - hal yang mendatangkan murka Tuhan. Kapitalisme, sosialisme, liberalisme, sekularisme merupakan anak sungai pola pikir materialisme.
Ihwal spiritualisme, mungkin kita sempat silap dengan gerakan separatis yang mengatas-namakan agama tertentu sehingga berkesan sayap kanan. Mereka bertindak merebut dan atau mempertahankan kekuasaan dengan cara - cara yang kadang tidak manusiawi. Apakah demikian filsafat spiritualisme ? Jangan terkecoh. Mereka-pun produk filsafat materialisme. Sejatinya mereka memburu materi, namun berkedok spiritual. Musang berbulu domba. Sudah banyak faktanya, dan hal seperti itu selalu ada saja. Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa doktrinasi yang salah, --apalagi dalam hal agama-- bisa saja membuat gelap mata.
Itulah. Demokrasi, lahir dari budaya filsafat Eropa, yang kemudian tersublim dan diuntungkan oleh renaissance yang merilis sekularisasi, dan tersebut dalam gerbong filsafat materialisme. Gerbong dahsyat ini menjadi antitesa filsafat spiritualisme. Spiritualisme menjadi oposisi. Ini penting. Dalam filsafat materialisme, penjaga kebenaran adalah manusia, bukan malaikat. Jadi, masyarakat materialisme --sesuai namanya-- akan lebih condong berbasis materi dan tidak percaya hal ghaib, termasuk tidak percaya siksa kubur, malaikat, bahkan Tuhan diletakkan dalam rumah ibadah saja --disekularisasi dan dimasukkan ke dalam kotak pribadi. Dalam dunia materialisme kelakuan buruk bukan diganjar dosa, melainkan dikenai pasal, itu-pun bila ketahuan. Bila tidak ketahuan, bila tidak ada pasal, maka hukum tidak kuasa. Tinggallah aspek moral sendirian mengawal kebenaran. Tapi aspek moral itu subyektif. Jadi, pencuri bisa jadi tidak dihukum bila tidak terbukti. Memang hukum dunia materialisme sebenarnya dalam format hitam - putih adalah seperti itu.
Gambaran sederhana tentang penegakan hukum dalam masyarakat materialisme adalah seperti pencuri buah. Seseorang hendak mencuri buah, namun takut oleh penjaga ladang. Bila penjaga ladang lengah, maka dia akan mencuri. Dia tidak takut akan hukuman Tuhan kelak. Hukum dikawal oleh manusia yang bisa lengah, dan tentu saja bisa disuap.
Percayalah, oleh karena itu, mana ada pesta demokrasi --representasinya berupa pemilu-- yang benar - benar jujur dan bersih ? Saya rasa tak akan pernah ada. Malah aneh bila ada pesta demokrasi yang jujur tanpa kecurangan. Ini adalah hal yang pertama nampak mencolok dari aplikasi filsafat materialisme dalam berdemokrasi. Materi adalah segala - galanya, demikian juga kekuasaan. Untuk itu, segala cara digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Halal haram diabaikan.
Yang kedua, filsafat materialisme sebagai basis demokrasi akan menyingkirkan peran Tuhan dan malaikat. Manusia tidak takut dosa. Demokrasi hanya diawasi oleh manusia -- yang bisa disuap, dan oleh undang - undang --yang bisa diedit. Inilah yang membuat Politik Adiluhung tidak bisa berjalan dengan baik dalam sistem demokrasi. Politik Adiluhung adalah sistem politik demokrasi yang berketuhanan. Yang jujur, bersih, adil. Tanpa kecurangan tanpa politik uang tanpa kampanye hitam. Politik yang bermartabat, bermoral, dan "takut dosa". Politik Adiluhung digaungkan salah satunya oleh Profesor Amien Rais, politikus ulung dari Indonesia. Namun, penantian dia akan lahirnya politik Adilihung tidak pernah kesampaian. Politik demokrasi lebih berpihak kepada ramalan Niccolo Macchiavelli. Ini seperti pertandingan gladiator diharapkan penuh rasa kemanusiaan. Mana mungkin ? Ketika orang berpolitik mengejar kekuasaan, berdasar pola pikir materialistis, menyimpan Tuhan dalam kotak rumah ibadah, maka disitulah ramalan Macchiavelli mewujud. Disitulah politik adiluhung dibuang jauh - jauh. Mengutarakan ide politik adiluhung dalam demokrasi adalah melemparkan kekonyolan yang menjadi bahan tertawaan.
Yang ketiga, bila para pemimpin madzhab demokrasi ini adalah pemuja filsafat materialisme, maka jangan salahkan masyarakat yang terbawa menjadi gila materi. Disinilah peran politik uang sangat menonjol. Di sebagian negara, politik uang ini malu - malu diakui, padahal nyata ada. Penjelasan ihwal filsafat materialisme tak dapat disanggah, bahwa materi memang menjadi modal utama demokrasi. Politisi yang membutuhkan kekuasaan akan berusaha meraihnya dengan menebar uang, sementara rakyat bersuka menerima uangnya. Mereka jadi pengikut setia ekuivalensi dengan besarnya angka uang yang didapat dalam simbiosis mutualisme.
Dengan ramalan Macchiavelli, maka seyogyanya kejujuran menjadi berseberangan dengan kekuasaan. Yang jujur dirasa terlalu culun dan polos untuk berkuasa. Seperti kawanan sopir ugal - ugalan. Bila tidak ugal - ugalan, maka tidak mendapatkan duit. Pemegang kekuasaan adalah pemegang materi dan penganut materialisme dengan metode "segala cara", termasuk politik uang. Masyarakatnya mata duitan. Maka gelontoran uang untuk urusan politik mengakibatkan penguasa mengeruk lagi uang untuk kelancaran pemerintahannya selama berkuasa. Individu - individu yang berpolitik demikian akan membutuhkan modal besar untuk tebar pesona. Maka tak ada lagi halal haram dalam struktur permodalan politiknya. Korupsi akan dilakukan bila hukum lengah, atau di-lengah-kan. Maka janganlah heran dengan anomali kejujuran dalam demokrasi. Demokrasi memang se-primitif itu. Karena bila demi kekuasaan, maka kejujuran itu --sama saja-- telah dimasukkan ke dalam kotak terdalam. Dia tertidur dan minta untuk dimaklumi. Entah sampai kapan. [] haris fauzi - Pendopo, 24 Mei 2019
gambar : medium.com