Orang kaya adalah orang yang banyak harta. Bila orang tersebut sakit, maka dia akan beristirahat dan membelanjakan uangnya untuk berobat. Ketika terjadi wabah di daerahnya, maka dengan kekuatan hartanya, dia akan berusaha sehat dengan memenuhi segala persyaratan anti-wabah. Kalo perlu, dibelinya rumah sakit.
Orang miskin kebalikannya. Ketika dia sakit, bisa jadi dia tetap bekerja demi mendapat rejeki. Prioritas baginya adalah rejeki. Kesehatan jadi nomer dua.
Demikian juga dengan negara. Ketika terjadi pandemi, negara kaya akan semampunya membiayai keperluan kesehatannya. Bila perlu, menghentikan kegiatan 'cari duit'. Kesehatan nomer wahid. Umumnya begitu.
Demikian juga dengan negara miskin. Ketika wabah pandemi merajalela, ternyata masih disibukkan dengan mencari devisa, mendongkrak pariwisata, dan upaya mengais harta ekonomi lainnya.
Setiap keluarga, baik miskin atau kaya, memiliki peluang untuk berhutang. Pelajaran yang saya dapat dari musim PHK krisis moneter 1998 adalah bahwa hutang bisa saja menjadi beban utama sebuah keluarga. Jadi, bila dia pegawai pabrik, dan lantas kena PHK, maka beban finansial terbesar bukanlah biaya makan, melainkan adalah tagihan hutang. Berat ini. Berbeda dengan kebalikannya. Taruhlah seorang buruh tanpa hutang, maka bila terjadi PHK pada dirinya, maka dia cukup berupaya untuk memenuhi kebutuhan makannya, kebutuhan dasarnya. Dia tidak perlu memikirkan bagaimana mencari duit untuk membayar hutang.
Demikian juga dengan negara. Ada negara yang demikian santuy menghadapi krisis ekonomi. Mungkin memang dia negara kaya. Mungkin dia negara swasembada apa saja. Namun jelas, yang santuy menghadapi krisis adalah negara - negara yang tidak memiliki hutang yang besar. Sementara negara - negara yang memiliki hutang bejibun bakal kebingungan ketika ada sedikit pergeseran angka parameter ekonomi, kurs mata uang misalnya.
Ghana, negara yang segera memutuskan untuk melakukan 'lockdown', akhirnya memilih mengorbankan ekonomi negara, demi kesehatan warganya. Presidennya Mr. Nana Akufo memiliki posisi sulit dalam pilihan ekonomi dan kesehatan. Namun Mr Akufo harus memilih salah satu. Dia memilih memrioritaskan kesehatan warganya.
Bagaimana bila ada negara yang miskin --lebih memprioritaskan mengais devisa daripada faktor ancaman kesehatan--, dan negara tersebut memiliki banyak hutang ? Bilamana fenomena - fenomenanya ? Untuk pertanyaan seperti ini, rasanya ada satu saran. Belajarlah ke Asia Tenggara. Sepertinya ada yang bernasib demikian di situ.[] haris fauzi, 21 Maret 2020
ilustrasi : dari internet
Orang miskin kebalikannya. Ketika dia sakit, bisa jadi dia tetap bekerja demi mendapat rejeki. Prioritas baginya adalah rejeki. Kesehatan jadi nomer dua.
Demikian juga dengan negara. Ketika terjadi pandemi, negara kaya akan semampunya membiayai keperluan kesehatannya. Bila perlu, menghentikan kegiatan 'cari duit'. Kesehatan nomer wahid. Umumnya begitu.
Demikian juga dengan negara miskin. Ketika wabah pandemi merajalela, ternyata masih disibukkan dengan mencari devisa, mendongkrak pariwisata, dan upaya mengais harta ekonomi lainnya.
Setiap keluarga, baik miskin atau kaya, memiliki peluang untuk berhutang. Pelajaran yang saya dapat dari musim PHK krisis moneter 1998 adalah bahwa hutang bisa saja menjadi beban utama sebuah keluarga. Jadi, bila dia pegawai pabrik, dan lantas kena PHK, maka beban finansial terbesar bukanlah biaya makan, melainkan adalah tagihan hutang. Berat ini. Berbeda dengan kebalikannya. Taruhlah seorang buruh tanpa hutang, maka bila terjadi PHK pada dirinya, maka dia cukup berupaya untuk memenuhi kebutuhan makannya, kebutuhan dasarnya. Dia tidak perlu memikirkan bagaimana mencari duit untuk membayar hutang.
Demikian juga dengan negara. Ada negara yang demikian santuy menghadapi krisis ekonomi. Mungkin memang dia negara kaya. Mungkin dia negara swasembada apa saja. Namun jelas, yang santuy menghadapi krisis adalah negara - negara yang tidak memiliki hutang yang besar. Sementara negara - negara yang memiliki hutang bejibun bakal kebingungan ketika ada sedikit pergeseran angka parameter ekonomi, kurs mata uang misalnya.
Ghana, negara yang segera memutuskan untuk melakukan 'lockdown', akhirnya memilih mengorbankan ekonomi negara, demi kesehatan warganya. Presidennya Mr. Nana Akufo memiliki posisi sulit dalam pilihan ekonomi dan kesehatan. Namun Mr Akufo harus memilih salah satu. Dia memilih memrioritaskan kesehatan warganya.
Bagaimana bila ada negara yang miskin --lebih memprioritaskan mengais devisa daripada faktor ancaman kesehatan--, dan negara tersebut memiliki banyak hutang ? Bilamana fenomena - fenomenanya ? Untuk pertanyaan seperti ini, rasanya ada satu saran. Belajarlah ke Asia Tenggara. Sepertinya ada yang bernasib demikian di situ.[] haris fauzi, 21 Maret 2020
ilustrasi : dari internet