|
Friday, May 15, 2009
kenisah : pernahkah menghalangi
Tuesday, May 05, 2009
kenisah : seperti horizon
SEPERTI HORIZON Rasanya saya belum pernah melihatnya, yakni makhluk yang bernama bintang Alpha-Centaury. Siapakah gerangan bintang Alpha Centaury ? Beliau adalah bintang yang terdekat dengan matahari kita, jaraknya sekitar empat puluh trilyun kilometer. Bintang ini kabarnya cukup terang untuk dilihat, tidak seredup bintang Barnard yang tidak kasat dengan mata telanjang. Namun, ya itu tadi, saya belum pernah melihatnya secara khusus. Mungkin secara makro, ketika malam menyelimuti berikut tirai gemintangnya, bisa jadi saya melihatnya, namun saya nggak tau yang mana tepatnya Alpha Centaury yang kondang itu. Itukah, atau inikah. maklum, saya bukan pemerhati masalah perbintangan dan semesta. Dalam jarak empat puluh trilyun kilometer itu, Alpha - Centaury termasuk bintang yang terdekat, bintang yang masih berada dalam jangkauan horizon. Demikian beberapa orang menggunakan istilah ini untuk jarak pandang manusia. Ya, horizon artinya adalah jarak pandang dalam meniti ujung langit terhadap pertemuannya dengan muka bumi. Setelah horizon tidak ada lagi yang kelihatan. Bukannya karena terbatasnya kemampuan pandang mata, tetapi karena terhalang garis pandang pembatas cakrawala ketika langit dan bumi bersua. Sementara batas pandangan mata bila ditengadahkan ke langit jadinya adalah adanya bidang berwarna biru nun jauh di sana. Horizon adalah garis pembatas yang bergerak secara relatif tergantung posisi kita dan rotasi bumi. Pembatas jarak pandang yang bergerak. Sejatinya banyak bintang yang tidak nampak --walau sebenarnya posisinya dekat-- karena dia berada di bawah garis horizon. Sementara bintang yang terletak di atas horizon, banyak pula yang tidak nampak karena kemampuan pandang yang terhingga pada bidang biru tadi. Dalam kebanyakan masanya, horizon nampak indah. Maklum, dia bernuansa bumi dan juga bernuansa langit. Yakin indah, apalagi di saat sang surya turut berembug di titik tersebut. Matahari, bumi, langit, bertukar warna dengan cantiknya membentuk jiwa semesta. Ya. Horizon bergerak seiring pergerakan kita. Bila kita berlari menuju horizon, maka garis horizon itu ikut berlari menjauhi kita. Saya selalu teringat dengan cerita dari Rusia tentang keserakahan seorang manusia. Yakni ketika kala itu seorang manusia boleh mendapatkan tanah seluas - luas yang dia kehendaki. Dengan catatan, bahwa dia bisa mengelilingi tanah itu dan sebelum mentari tenggelam dia telah berada dimana dia awal berlari. Semakin kencang seseorang berlari, tentunya semakin luas tanah yang dia dapatkan. Dikisahkan bahwa ada seseorang yang demikian tamak ingin mendapatkan tanah yang luas, dia berlari ketika dini hari, dengan sekencang - kencangnya tanpa berhenti. Demikian cepat dan jauh sehingga menghilang dari pandangan dan muncul kembali dari horizon orang yang mengawasinya. Begitu luas jarak jelajahnya dan akhirnya ketika malam dia kembali ke asal mula dengan perolehan tanah yang demikian luas. Paling luas dalam sejarah suku tersebut. Di tengah kecapekannya, akhirnya beberapa saat kemudian dia kehabisan tenaga dan putus nafasnya karena kelelahan. Tak selang kemudian lantas mati dan dikuburkan segera. Dia dipendam dalam tanah seluas dua langkah kaki. Itulah luas tanah yang dibutuhkan dan digunakan olehnya setelah berjuang menaklukkan berbukit - bukit luasan tanah. Saya tidak hendak membahas tentang seberapa banyak kebutuhan dan seberapa serakahnya manusia. Bagaimanapun manusia memang serakah. Tamak. Itu sudah jamak. Ihwal cerita Rusia tersebut rasanya sudah pernah saya tuliskan, dan pula, kisah itu sudah banyak beredar. Saya tergelitik dengan upaya horizon ini 'melarikan diri' dari jangkauan kita. Tidak sekedar melarikan diri, namun juga sekaligus memperdayai. Kalo kita berlari makin cepat, maka horizon itu juga semakin cepat menjauhi kita. Layaknya bayangan. Adakah kita sadar tipu-dayanya ? Manusia memiliki utopia - utopia. Mimpi - mimpi yang seharusnya menjadi 'penjaga' bagi 'cita - cita'. Saya agak berbeda memandang definisi cita - cita dan mimpi muluk. Cita - cita bisa diraih dengan logis, semetara mimpi di gantung di langit, yang menjaga kemauan kita untuk meraih mimpi. Mimpi sejatinya adalah semacam motivator agar kita bisa meraih cita - cita yang notabene tergantung sekian jengkal di bawahnya. Banyak kiasan yang menyatakan bahwa mimpi itu digantungkan kepada bintang. Bagi saya, maksudnya kurang lebih adalah seperti itu. Setiap orang memiliki mimpi dan cita - cita. Mimpi ini terletak di cakrawala, bermain - main di horizon. Dan ketika kita bergerak untuk menghampirinya, dia menjauh, namun cita - cita tidak. Cita - cita menunggu kita dengan setia. Ketika kita berlari mencoba meraih horizon, sejatinya kita menjumpai cita - cita, berapapun cita - cita yang kita canangkan, dia menunggu kita untuk meraihnya. Namun, seringkali kita terlena dengan pernak - pernik cantiknya horizon. Haus, dan selalu mengejar horizon sehingga kali ini mimpi itu bukan lagi menjadi penjaga cita - cita. Mimpi kali ini --dengan berjuta keindahannya-- berubah menjadi jebakan yang melenakan, sehingga kita urung untuk memungut cita - cita --menelantarkan apa yang seharuskan kita dapatkan--. Horizon membuat kita berlari terus membabi - buta mengejar kehampaan tanpa sadar bahwa horizon itu tidak bisa kita raih.....[] haris fauzi - 5 mei 2009 salam, haris fauzi |
Subscribe to:
Posts (Atom)