HARAPAN YANG (NYARIS) KANDAS -- kepada beberapa --
Adakah di antara kita yang tidak memiliki harapan ? Bila ada, mungkin mereka adalah orang yang lelah, atau juga, mereka - mereka yang ingin menikmati sebagaimana apa adanya hidup ini. Atau, merekalah yang menyembunyikan harapan - harapannya. Di sisi lain beberapa orang bertimbun harapan di dadanya. Beberapa orang lagi lebih banyak lagi bersimbah harapan, utopia, dan segenap cita - cita yang sangat indah. Bahkan tak jarang sebuah harapan terlalu melambung sedemikian berbunga melebihi keadaan semestinya. Di balik itu beberapa di antara kita memilih menyisipkan harapan - harapan sederhana guna melakoni hidup ini dengan ringan.
Ada harapan - harapan yang kompleks, ada pula yang sederhana. Memiliki harapan yang sederhana, sebenarnya juga tidak mudah. Karena, biasanya sesuatu yang sederhana itu adalah sesuatu yang mendasar, dan sangat universal nilainya. Di dunia kehidupan sekarang yang begitu simpang siur, memiliki sesuatu yang sederhana rasanya aneh, menjadi kurang lazim, dan seringkali tersingkirkan karena tertimpa kepentingan - kepentingan absurd yang merajalela.
Secara sederhana, harapan adalah sesuatu yang diinginkan pada jangka pendek, setidaknya relatif lebih pendek daripada cita - cita. Harapan - harapan disusun untuk menuju cita - cita. Begitulah. Cita - cita itu semacam visi, yang lebih mudah direncanakan dan kelihatannya lebih gampang ditempuh ketimbang 'mimpi'. Inilah 'sedikit beda' antara mimpi dan cita - cita. Itu semua bisa bersifat individu maupun komunal. Karena masyarakat atau organisasi-pun bisa --dan memang-- kebanyakan memiliki cita - cita atau visi bersama.
Lantas, apakah ukuran dari harapan ? Ini wacana yang senantiasa bergerak sesuai dengan pergeseran jaman. Menurut standar organisasi, syarat dari visi dan misi --hampir identik dengan cita - cita dan harapan-- adalah 'terukur' dan 'terjangkau'. Dan ini ternyata tidaklah gampang. Jaman saya kecil dulu, cita -cita atas dasar keluguan pola pikir seorang bocah adalah menjadi guru, dokter, dan sebagaimana contoh simpel lainnya. Bila ada seorang bocah yang bercita - cita agak 'nyeleneh', seperti 'menjadi konglomerat', rasanya sudah membuat rekannya takjub. Hal ini bisa jadi diakibatkan oleh perbendaharaan referensi pengetahuan bocah kala itu yang belum faham dan belum pernah mendengar tentang istilah 'konglomerat'. Selain itu, hanya sebagian kecil anak yang bercita - cita dan berharap menjadi orang terkenal. Anak - anak masa itu masih sangat terdikotomi bahwa cita - cita itu berkisar antara profesi - profesi umum saja. Sementara harapan mereka diantaranya adalah naik kelas, dibelikan baju baru, memiliki 'game-watch', memakai sepatu boot, uang jajan naik, dan hal - hal sederhana seperti itu.
Menjadi terkenal ? Jaman kini teroris juga terkenal. Bintang film porno juga terkenal. Koruptor kelas wahid pasti kaya dan terkenal. Namun, apakah itu harapan orang ? Malahan, orang - orang seperti inilah yang meruntuhkan kredibilitas komunitas 'populis'. Orang populer sekarang banyak dicibiri, tetapi tak bisa dipungkiri ternyata dalam tataran pragmatisme banyak yang pengen juga. Dan merepotkan banyak orang karena seringkali menggunakan kiat apapun caranya. Demikian juga orang kaya. Ketika miskin, sebagian orang mencibiri si kaya. Namun ketika si miskin mendapatkan jalan dan lantas menjadi kaya dengan cara 'tidak terhormat', mereka menjadi bagian dari kontradiksi hati nuraninya sendiri. Dan kebanyakan membiarkannya. Seniman Suka Hardjana menyebutkan dengan 'peristiwa tingkah laku kehidupan manusia yang tak jarang melawan akal sehatnya sendiri'. Walau tidak semua seperti itu. Banyak orang kaya dan populer yang sangat baik hati, contohnya adalah Utsman bin Affan, khalifah ke-3 paska pemerintahan Muhammad. Dan tentunya masih banyak lagi. Lionel Messi mungkin bolehlah menjadi contoh sederhana dengan kehebatannya bermain sepak bola dan riwayat kehidupannya yang 'anteng'.
Itulah kira - kira contoh cita - cita dan harapan bocah. Bagi saya, seorang bocah adalah gambaran simplifikasi kehidupan ini. Saya beberapa kali tercenung ketika mendengar pembicaraan anak - anak. Mereka polos, dan secara universal berkata benar. Jadi apapun yang mereka cita - citakan, apa yang mereka harapkan, sejatinya adalah nilai - nilai universal. Yang bisa dijadikan patokan, walau tidak selalu.
Jaman selalu berubah. Dan sekarang berubah menjadi semakin kompleks dan simpang siur. Saya kerap menyebut istilah simpang siur karena dua alasan. Yang pertama karena memang sudah semestinya di jaman sekarang ini banyak sekali urusan dan efek - efeknya yang seringkali merancukan pedoman. Membuat puyeng dan tidak mengerti. Banyak contohnya, sebagaimana sulitnya meng-adil-i koruptor, misalnya. Dan yang membuat bingung adalah malahan --secara hukum-- lawan koruptor itu yang bolak - balik penjadi pesakitan dan bakal masuk bui duluan. Ini efek yang membingungkan dan membuat pedoman simpang siur. Tidak sesederhana jaman dulu. Alasan kedua saya menaburkan istilah simpang siur dalam tulisan ini adalah atas dasar keterbatasan, maka sudah selayaknya saya bingung, dan untuk menuntaskan hal ini, maka berbagi kebingungan ini kepada anda. Tentunya dalam bentuk kesimpang siuran.
Bagi seorang bocah, mencanangkan sebuah harapan tidaklah mudah. Namun ketika dewasa, hal itu semakin sulit. Kondisi dan situasi, ditambah beberapa kepentingan yang bermacam - macam membuat segalanya menjadi semakin rumit.
Pada umumnya orang dewasa sering berharap dengan dilandasi banyak pertimbangan. Dan, bila di depan --menurut dia-- terhampar jalan yang jelas, maka berani-lah mereka mencoba peruntungan meraih harapan itu. Namun sebaliknya, bila problema tak kunjung berhenti dan jalanan ternyata semakin absurd terhampar di depan mata, maka tak jarang situasi ini menyurutkan semangat seseorang. Dan lantas mengubur niatannya, mengkandaskan harapan - harapannya. Dalam keadaan seperti ini, orang dewasa berpikir lebih logis ketimbang seorang anak kecil. Seorang bocah hanya memandang sebuah tujuan, dan bila dirasa bagus, maka itulah yang dia harapkan. Sementara orang dewasa sering mengidentifikasi kendala - kendala seiring perjalanan waktu. Semakin rumit akan membuat semakin puyeng, walau sebenarnya apa yang dia harapkan adalah hal yang sederhana.
Bagaimana jalan mencapai suatu harapan bisa jadi menjadi hal yang lebih penting ketimbang harapan itu sendiri. Di tengah ketidak-pastian, maka kepiawaian untuk menciptakan sesuatu yang absurd menjadi nyata merupakan modal yang berharga. Ya. Harapan adalah utopia, sesederhana apapun itu. Harapan bisa merupakan sesuatu yang terukur dan 'reachable' untuk diwujudkan. Dan ini tidak gampang. Bagi sebagian orang, menatap sesuatu yang absurd untuk diwujudkan bisa jadi merupakan sesuatu yang menakutkan. Seakan berjalan tanpa pijakan. Bagi sebagian orang lainnya, 'mewujudkan hal - yang absurd menjadi nyata' merupakan tantangan. Walau tentunya tantangan - tantangan yang terhampar belum tentu bisa diselesaikan semua. Tantangan itu beriring dengan kemampuan. Suatu saat, batas kemampuan itu pasti tiba, dan kelelahan itu pasti timbul. Bila tantangan itu berada di bawah parameter kemampuan, maka merupakan kenikmatan untuk menaklukkannya. Namun bila tantangan yang ada ternyata lebih berat daripada kemampuan, maka tidak jarang perjalanan untuk meraih harapan itu akan berhenti.
Antara harapan dan jalan yang ditempuh tidak selalu kongruen. Harapan boleh sederhana, namun bila terjerat kerumitan di jalan tempuhnya, maka harapan itu terbawa menjadi semakin rumit juga. Begitulah sebuah contoh tantangan untuk mewujudkan harapan. Sesederhana apapun harapan itu. Sebagaimana contoh mengapa hidup lumrah di jaman sekarang ini menjadi tidak mudah. Sebuah harapan yang sederhana, berupa hidup lumrah saja, sudah demikian sulit karena berbagai kendala yang terhampar di depan mata. Padahal negeri ini adalah negeri yang kaya raya gemah ripah loh jinawi, gitu kata sesepuh jaman kuno.
Dengan problematika yang semakin kompleks, maka tak heran bila terlalu banyak harapan yang harus siap dan terpaksa untuk dihempaskan. Karena prosentasi pencapaiannya memang semakin kecil, maka tentunya semakin banyak yang bersiap untuk dikorbankan.
Jadi, setiap orang yang mencanangkan sebuah harapan seyogyanya mengetahui bahwa harapan itu selalu dihadapkan kepada situasi yang ada. Dan tentunya, tersedia pula tantangan yang terhampar di depan mata. Perlu disadari bahwa tidak banyak harapan yang memiliki jalan lapang nan lega. Di jaman sekarang hampir semua harapan memiliki ganjalan dan tantangan berikut kerumitan kepentingan - kepentingan. Maka, taklukkanlah tantangan untuk melapangkan jalan meraih harapan. Begitu wejangan para motivator. Ini yang disebut optimisme.
Berdiri di antara harapan, jalan tempuh, dan tantangan, sejatinya adalah mengukur kemampuan diri. Ada optimisme, namun halal juga berpikir pesimis. Bila ternyata harapan terancam nyaris kandas di tengah badai persoalan, maka boleh pula untuk memperlambat laju kehidupan ini, boleh pula membelokkan tujuan harapan. Apapun. Posisi ini sering disebut dengan 'putus asa'. Beberapa orang membela diri dengan sebutan 'rasional'. Karena siapapun bisa berputus asa ketika dengan merayap-pun sudah terhempas, dan siapapun harus berpikir rasional ketika dirasa terlalu sulit untuk melangkah.
Apapun sebutannya dan bagaimanapun keadaannya, di saat tersadar bahwa sebuah harapan ternyata nyaris kandas, maka yang penting adalah bagaimana memunculkan sifat bijaksana yang utuh. Menyadari realita dan bersiap-diri untuk menghadapinya. Hal ini adalah lumrah karena manusia memang memiliki keterbatasan. Bahwa tidak seluruh tantangan bisa dilewati, bahwa tidak seluruh harapan akan terwujud. Tentunya ada hikmah yang cukup berharga di balik itu semua. Ketika hendak mengail cercah hikmah disaat harapan telah kandas, disitulah sifat bijaksana dibutuhkan. Karena bagaimanapun juga hikmah lebih penting daripada harapan itu sendiri.[] haris fauzi - 22 juni 2010
salam,
haris fauzi |
No comments:
Post a Comment