Tuesday, November 02, 2010

kenisah : petruk pertanda

PETRUK PERTANDA

Pagi tadi dalam siaran televisi saya menyaksikan sebuah keajaiban. Keajaiban tingkah laku para pengamat aktivitas gunung berapi, namanya gunung Merapi. Saya cukup akrab dengan gunung ini karena leluhur saya berasal dari daerah tersebut. Bahkan detik ini, ketika tulisan ini dibuat, Ibu saya sedang menemani Kakek saya di Kaliurang sana, di kaki gunung Merapi. Konon disana masih aman dari ancaman aktivitas vulkanik yang sudah berjalan sekitar satu minggu ini, hanya pernah kebagian debu. Mudah – mudahan aman terus. Soalnya pada erupsi gunung tersebut beberapa tahun lalu, lahar dingin sempat membludak di kali Boyong –berikut gelundungan batu – batu kali segede ampun. Kali Boyong adalah sebuah kali yang menembus desa leluhur. Pas itu laharnya meluap nggak karu – karuan sehingga menggenangi sawah dan masuk rumah seperti pada banjir – banjir umumnya di Jakarta. Cuma kalo di Jakarta yang masuk rumah adalah air, nah yang di desa leluhur adalah lahar dingin. Ngepelnya berat. Bahkan untuk mencari kain pel-nya saja sudah susah karena terhanyut.

Saya sebut 'ajaib' karena ada interpretasi unik tentang bentuk awan atau asap yang muncul dari kawah Sang Gunung Merapi yang menjadi legenda ini. Dikabarkan –dari siaran televisi—bahwa semburan asap kawah tersebut membentuk wajah tokoh wayang purwo, Petruk. Dalam siaran tersebut sempat ditayangkan, memang sih mirip banget dengan Petruk. Mulai dari hidung mancungnya yang ditiru Pinokio, atau kuncir rambutnya. Cuma kuncirnya terlalu melengkung, menurut saya.
Para pengamat gunung berapi –pengamat mistikal ini-- menyatakan bahwa penampakan rupa mBah Petruk ini merupakan pertanda. "Pertanda bahwa Pemimpin Bangsa ini kurang memperhatikan rakyatnya", seingat saya begitu ujar seseorang yang diwawancarai di televisi tersebut.

Mungkin postulatnya tidak salah. Memang asapnya berbentuk mBah Petruk. Juga, bisa jadi –seperti pendapat banyak orang— rakyat bangsa ini memang banyak yang merasa hidup susah dan patut dapat perhatian lebih dari pemerintah. Dua pernyataan ini bisa jadi benar. Namun, masalahnya adalah apakah ada hubungan logis antara gambaran asap gunung dengan performa pemerintahan ? Inilah yang dalam kasus 'asap Petruk' ini akhirnya dijawab oleh dunia mistikal kali ini. Apalagi ini memang gunung yang me-legenda. Demikian me-legenda sehingga acapkali bersentuhan dengan dunia mistis dan wacana klenik. Sebut saya kisah mBah Marijan Sang Juru Kunci Gunung Merapi yang eksotis layaknya cerita jaman Walisongo itu.

Saya tak hendak menuliskan ihwal mistik terlalu jauh. Sudah banyak siaran televisi yang memuakkan perut dengan tayangan hantu dan dedemit. Ihwal pemerintahan juga sudah banyak dikupas di media hingga membosankan. Namun, preseden seperti layaknya era Walisongo ini setidaknya menyimpan satu hal kemungkinan lain. Bahwa ada harapan – harapan yang semestinya disampaikan dan diaspirasikan melewati jalur logis, bisa jadi mentok dan mentok dan lagi – lagi mentok sehingga akhirnya ditempuhkan jalur mistik.

Secara lazim manusia memang selalu dihadapkan kepada persoalan - persoalan, dan lantas secara natural instingnya akan bergerak untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara logis - materialistis. Tindakan awal umumnya selalu berupa 'tindakan nyata'. Misalnya ketika seorang manusia lapar, maka secara logis - materialistis dia akan mencari makan. Namun ketika jalur logis - materialistis sudah mentok, tak jarang jalur spiritual ditempuh. Bila tetap saja kelaparan, bisa jadi orang tadi akan meminta kepada roh halus untuk mencarikan makan, atau berdo'a kepada Tuhan agar memberikannya rejeki dari arah yang tidak disangka – sangka. Dua cara ini ada di jalur spiritual, yang satu mistis, satunya lagi mengikuti ajaran agama samawi.

Intinya, manusia mempunyai batas nalar dan batas logis, istilahnya : 'mentok'. Bila mentok batas logisnya, memang harus dicari jalan keluarnya. Bila memang sudah penasaran dengan aspirasi dan harapan – harapan yang disalurkan secara logis, memang tak seharusnya tinggal diam. Ada dua sisi yang patut dilihat. Sisi pertama adalah respon dari tumpuan harapan. Istilahnya, bagaimana tanggapan dari pihak yang di-'saluri' aspirasi. Cuek-kah ? Responsif-kah ? Andai dianggap mentok, artinya aspirasi tersebut di-cuek-in, ditelantarkan. Pihak yang cuek ini seharusnya memiliki sensitivitas ihwal aspirasi rakyat ini. Harus introspeksi, apakah mentok karena memang terlalu sibuk dengan urusan yang lain ? Ataukah – gimanalah. Pokoknya diupayakan untuk mencari kausal-nya mengapa sampai ada kejadian seperti ini. Asbabun nuzul-nya gimana, gitu. Bukan asbun-nujum-nya, asal bunyi ramal-meramal. Trus kalo sudah ketahuan sebabnya ya ditindak-lanjuti.

Paling tidak, -setidaknya- jangan sampai membiarkan aspirasi tersebut mentok pada jalan buntu sehingga rakyatnya lepas harapan dan akhirnya mengambil jalan mistik -hingga mereka – reka gambar asap gunung berapi untuk menunjukkan gambaran kinerja pemerintahan sebuah negara. Kinerja sebuah organisasi masa kini setidaknya digambarkan dari data statistik dan aplikasi produk kebijakannya, bukan dari perupaan asap gunung berapi. Kalo seperti itu ternyata yang terjadi –dan dibiar-biarkan-, wah, bisa repot kita. Sekarang sudah bukan lagi jamannya wangsit atau pertanda, walaupun kadang - kadang kayak gitu asyik juga sih. Hahahaha..... [] haris fauzi – 2 nopember 2010


salam,

haris fauzi

1 comment:

Anonymous said...

1. Dari catatan erupsi Merapi tahun ini terbesar setelah erupsi tahun 1870 (1872). Tanpa bermaksud membela pemerintah manapun, Gubernur Hindia Belanda yang berkuasa pada tahun (transisi) itu adalah P Mijer (1866-1872) dan J Loudon (1872-1875), kekuasaan kolonial Hindia Belanda (yang juga meliputi Jogjakarta, Magelang, Boyolali, Klaten dsk)terus bertahan hingga Perang Dunia ke dua.

2. Catatan lain, erupsi besar Merapi juga terjadi pada tahun 1672 , akibat letusan itu 3000 orang meninggal dunia. Saat itu penguasa Jogjakarta dsk adalah Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau disingkat Amangkurat I, raja Kesultanan Mataram yang memerintah tahun 1646-1677, yang terkenal kejam.

3. Jaman Pemerintahan Soekarno, erupsi Merapi terjadi pada tahun 1954, korban 64 orang, 57 luka. Pada tahun 1955 terjadi Pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Catatan Februari 1952 : Devaluasi Rupiah sebesar 66,67%. Semula US$ 1 = Rp 3,80 menjadi US$ 1 = Rp 11,40. Dipasar gelap tahun 1954 1 US$ = Rp. 44,- dan tahun 1955 1 US$= Rp.48,-

4. Akhir kekuasaan Orde Baru, tahun awal krisis moneter 1997, kekacauan sosial politik 1998, juga terjadi erupsi Merapi, tetapi tidak banyak korban.

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/bicara_fakta/2010/10/22/6/-Letusan-Merapi-Sepanjang-Zaman

Kesimpulan sementara yang gegabah : siapapun pemerintahnya, tetap terjadi erupsi Merapi, dengan banyak sedikit korban yang bervariasi.

Disimpulkan juga bagaimanapun pemerintahnya , tapi yang jadi obyek erupsi tetap rakyat di sekitar gunung, dan bukan pemerintahnya sendiri. Ini sangat jelas sekali. Satu-satunya catatan menunjukkan pemerintah jadi sasaran erupsi Merapi adalah erupsi Merapi tahun 1006, Mpu Sindok memindahkan pemerintahan dan peradaban Mataram ke Jawa Timur. Ada juga pendapat yang menjelaskan kepindahan ini karena dipicu serangan militer atau gempa tektonik.

Terakhir, tentu saja berharap yang muncul adalah awan berbentuk Semar, perlambang bersatunya pemerintah dan rakyat. Hidung awan Semar mengarah ke segala penjuru Indonesia, bahkan ke seluruh dunia. Repotnya kalau erupsinya sangat kuat dengan efek ke seluruh dunia menyaingi letusan Tambora 1815 atau Krakatau 1883. Jadi jelas, budaya wayang ini dapat "menerangi" seluruh dunia, bukan hanya Jogja dan sekitarnya.