LELAH
Seminggu ini terasa lelah. Bukan hendak menyalahkan rutinitas sehari – hari. Tiga hari lalu memang sempat sakit, tapi itu bukan sebab utama. Itu adalah akibat bahwa kelelahan sudah mendera hingga titik batas elastis dan plastis. Memang saya terbiasa sudah sepuluh tahun bepergian menempuh jalanan tol Jagorawi. Namun selama seminggu ini tidak. Dikarenakan kemacetan menggila di rute tersebut, maka sudah seminggu ini saya pergi ke kantor melalui Jalan Raya Bogor. Perubahan rutinitas ini memang menjadi tertuduh utama mengapa saya kelelahan.
Berkendara melalui tol memang lebih dimanja. Belokan tidak radikal. Tidak ada tikungan sama sekali. Semua berjalan lurus, dan rata. Aspal bolong ? Nil boleh dikata. Pada saat macet-pun, gangguan utama adalah terletak pada sengatan sinar matahari. Penyerobot kelas kambing hanya satu dua. Mungkin fore-rider yang berlaku seperti itu. Dalam keadaan macet di jalan tol, masalah utama adalah keresahan akan keterlambatan. Jadi sering melirik ke display jam digital di dasbor.
Alangkah terkejutnya ketika dua – tiga kali saya memulai untuk menempuh jalanan non-tol. Beberapa tahun lalu saya juga pernah mengalami hal serupa, dalam ladang yang berbeda. Kala itu jalan tol Jakarta – Cikampek sedang dalam perbaikan. Mangkanya, daripada terjebak macet di jalan tol yang nggak karuan juntrungannya, mending bertarung di Jalan Raya Bekasi. Amboi. Jalan Raya Bekasi ganas memang. Kontainer, truk, bis, angkot, sepeda motor, menjadi petarung kelas bebas dijalanan ini. Beradu pacu dengan gaya tidak peduli.
Apa yang saya rasakan ketika melalui Jalan Raya Bogor, tidaklah se-dahsyat Jalan Raya Bekasi. Menurut saya jalan Raya Bogor lebih 'kalem' ketimbang Bekasi. Pepohonan yang merindangi sisi kanan – kiri sepanjang Cibinong hingga Simpang Depok tentunya tidak kita jumpai di Jalan Raya Bekasi. Seingat saya jalur Setu-lah yang memiliki keteduhan semacam ini.
Memacu kendaraan pada kisaran 40 kilometer per-jam tentunya bukan kebiasaan. Namun seminggu ini tidaklah menjadi masalah pada akhirnya. Itu semua perbedaan yang bisa diatasi, walau ada kesulitan di sana – sini. Perjumpaan dengan persimpangan, padatnya pengendara bermotor yang menyelinap dan kadangkala tanpa aturan, antri di lampu setopan, tentunya beberapa fenomena yang tidak dijumpai ketika melaju di jalan tol. Itu semua pada akhirnya bisa dimaklumi.
Lantas apa yang membuat lelah ? Ada faktor jasmani, ada juga faktor rohani. Ini serius. Apa yang saya utarakan tadi kebanyakan adalah faktor jasmani. Beberapa faktor rohani, terbukti cukup menyita energi ketika kita tidak berkendara di jalan tol. Salah satunya adalah adanya kecelakaan. Di jalan tol kita bisa menjumpai kecelakaan, demikian juga di jalan biasa. Menyaksikan hal seperti ini, membuat nyali ciut dan menguras energi. Membuat kita lelah. Semakin parah kejadian kecelakaan yang kita saksikan, semakin membuat lelah. Walau memang jarang terjadi kecelakaan, namun menyaksikan 'hal – hal yang nyaris menjadi kecelakaan' tentunya juga melelahkan rohani. Dan hal ini lebih sering nampak oleh pengemudi yang tengah melaju di jalan raya antar kota. Bagaimana angkutan kota beradu sudut dengan pengendara motor, bagaimana kendaraan mendadak memutar. Bagaimana penyeberang jalan dengan setengah berputus asa nyelonong tanpa beban. Bagaimana seorang nenek tersandera di tengah jalan tanpa bisa berbuat apa - apa. Kejadian – kejadian ini kerap muncul di jalanan non-tol.
Ribuan sepeda motor yang berkerumun laksana lebah membuat pikiran kalut. Kamu tidak akan bisa dalam waktu yang sama melihat spion kanan – spion kiri – spion tengah dan tiga jendela. Namun dari semua sisi itulah sang lebah berdatangan dan terbang. Sementara mata berkeliaran membagi perhatian dengan rambu dan marka, dengan jendela dan spion, telinga juga tidak mungkin beristirahat. Klakson berteriak – teriak disana - sini. Saya terbawa serta secara naluri untuk ikutan sering menekan klakson. Apa lagi ? Mungkin masih ada bumbu sedikit untuk menambah keriuhan jalanan, seperti adanya angkutan kota yang mendadak berhenti tanpa peduli bahwa apa yang dilakukannya itu menghalangi orang lain, bahkan membahayakan, karena praktis kendaraan di belakangnya cenderung akan membuang kemudi ke kanan dan menjadi ancaman bagi kendaraan yang melaju di lajur kanan. Dan beberapa bumbu lagi yang ditulis bisa jadi memperpanjang paragraf.
Jalanan reguler menjanjikan hal lain dibanding jalan tol. Sekitar pasar tidak bisa kita jumpai sepanjang toll-road. Ketika melintas pasar, betapa gelandangan tergolek di pinggir trotoar bermandi asap knalpot, menyantap sampah. Ketika membuka jendela untuk bisa menyaksikan lebih jelas, dia seakan berkata, "Apa yang hendak kamu katakan ?". Juga ketika menyaksikan sepeda motor yang melaju menguntit bis kota, dengan bayi dipangkuan boncengan, sementara asap solar menggila menyelimutinya. Bayi itu tercekik racun. Contoh lain adalah ketika tertahan lampu merah di persimpangan Pasar Rebo misalkan, selain bertebaran pengamen, gelandangan, dan penjaja asongan, seringkali nampak kaki – kecil berusaha dengan susah payah naik turun bis kota. Kaki kecil ini kaki pengamen balita. Mereka kesulitan untuk menjejakkan kakinya di tangga bis. Ketika menyaksikan mereka tertatih turun dari tangga bis, membuat jantung ini seakan berhenti berdegup. Pemandangan ini membuat nanar. Kita bisa kelelahan menyaksikan hal – hal seperti ini. Apakah jasmani kita yang lelah ? Mungkin lebih tepatnya, jiwa kita yang lelah. [] haris fauzi – 4 Mei 2011
haris fauzi
kolomkenisah
No comments:
Post a Comment