RUMAH SAKIT
Rumah Sakit itu tempat merawat orang sakit. Baik rawat inap, ataupun rawat jalan. Rawat jalannya ditangani di poliklinik. Biasanya gitu. Sementara rawat inap, ya dia menginap seperti halnya menginap di losmen, rumah teman, atau menginap di rumah mertua. Menurut nasehat sesepuh keluarga, rumah sakit itu merupakan salah satu layanan sosial. Tempatnya menunaikan kegiatan sosial selain pesantren atau sekolahan, rumah yatim piatu, serta majid atau musholla. Dalam beberapa kali Halal bi-Halal keluarga besar, sesepuh selalu menyuarakan hal itu dalam nasehatnya. Maksudnya banyak, salah satunya agar generasi penerus keluarga selalu meluangkan waktu untuk menunaikan aktivitas sosial di masjid, rumah sakit, mengurus yatim piatu, dan atau aktif dalam penyelenggaraan pesantren. Nasehat itu bisa bermakna luas. Bila tidak bisa membuat rumah sakit sendiri, ya bagaimana caranya memberi kesempatan orang lain untuk bisa berobat dengan wajar. Tentunya maksudnya adalah memberi bantuan. Itu dari sisi personal.
Dari sisi ideologi, nasehat sesepuh itu bermakna bahwa rumah sakit merupakan sarana kegiatan sosial, bukan komersil. Dalam nasehat itu dinyatakan bahwa rumah sakit bukanlah merupakan perangkat kapitalisme. Rumah sakit adalah sarana sosial seperti halnya masjid atau musholla. Nah, disinilah baru muncul problema umat. Sudah tidak heran lagi apabila sekolahan dan rumah sakit kini berubah wujud menjadi ajang bisnis yang menggiurkan. Gara – gara merebaknya teori ekonomi kapitalis, maka rumah sakit --dan juga sekolahan-- berubah wujud menjadi mesin pendulang uang. Bisnis rumah sakit kabarnya menghasilkan kekayaan yang sangat signifikan bagi pemilik dan pengelolanya, namun dari sisi lain tentunya secara kejam mencekik kantong – kantong pasiennya. Rasanya sudah banyak keluhan bahwa sekolahan dan rumah sakit merupakan ikon 'produk mahal'.
Memang mahal tidaknya suatu produk, berbanding lurus dengan kualitasnya. Semakin tinggi kualitasnya, tentunya semakin mahal harganya. Namun, untuk sarana kegiatan sosial, hal ini tidak harus seperti itu. Setidaknya, semahal – mahalnya rumah sakit, tentunya tetap mengacu pada belas asih. Ada unsur humanisme disitu. Dan itu harus dominan. Rumah sakit itu memang memasang tarip, tetapi tidak harus menolak pasien yang tidak punya uang. Hal ini semata karena pertimbangan kemanusiaan. Kan namanya juga kegiatan sosial.
Beberapa pekan ini santer publikasi gerakan "Karena Sehat Milik Semua – Jangan Biarkan Pasien Miskin Ditolak Rumah Sakit". Ini jargon yang bagus. Tentunya banyak yang sangat setuju bahwa rumah sakit tidaklah boleh menolak pasien. Karena sekere – kerenya pasien, mereka juga ber-hak untuk hidup sehat. Ada nyawa yang wajib diselamatkan di badan orang kere yang sakit itu. Gerakan ini bergerak menggalang dana untuk membiayai pasien miskin. Gerakan ini mengumpulkan donasi untuk dibayarkan kepada rumah sakit.
Masalahnya, gerakan ini bisa disalah-artikan sebagai legitimasi tarip mahal yang dipasang oleh pebisnis rumah sakit. Memang penyebab dominan dari ditolaknya beberapa pasien kere oleh rumah sakit adalah karena ketidak-mampuan membayar. Hal ini diakibatkan karena 'katanya' rumah sakit memang memberlakukan tarip tanpa pandang bulu. Dalam dunia kapitalis, hal ini memang wajar. Ada transaksi jual beli disitu, ada keuntungan disitu. Dan seperti kita ketahui bersama bahwa tarip rumah sakit memang cukup mahal.
Namun bukan lantas dengan tersedianya donasi dan kemudian pasien kere bisa mendapatkan layanan rumah sakit, lantas permasalahan sudah selesai. Belum. Disitulah problematikanya. Dengan mengumpulkan donasi, maka gerakan ini menjadi seperti perguliran kotak tromol di musholla. Berjalan menampung duit. Sementara tarip yang dipasang rumah sakit masih tarip premium alias mahal. Problem yang terbesar adalah mengembalikan rumah sakit dari zona bisnis kapitalis menuju zona gerakan sosial. Kembali ke khittah. Dan ini tidak mudah.
Masyarakat membutuhkan gerakan masif yang memperjuangkan hak – hak kesehatan. Pengumpulan donasi merupakan hal penting. Dan hal ini tentu akan lebih bermakna bila gerakan itu berpusat kepada tujuan untuk mengembalikan hak – hak setiap orang untuk hidup dan menikmati kesehatan. Dompet Dhuafa, yang menyokong gerakan tersebut, juga mengungkapkan adanya keinginan untuk memperjuangkan fasilitas kesehatan yang berkualitas untuk rakyat miskin. Dan dalam konteks kekinian, agenda yang mendesak saat ini adalah perlunya perangkat untuk mengendalikan tarip rumah sakit yang gila - gilaan, serta me-razia rumah sakit yang berbuat tidak senonoh dengan menolak pasien miskin. Dan alangkah masif-nya bila gerakan ini mampu dengan cepat menekan pemerintah untuk mengeluarkan regulasi larangan penolakan pasien miskin. Bagaimanapun pemerintah –bila mengaku pro-rakyat—seharusnya bisa mengambil peran lebih dalam hal ini.
Bila demikian, tentunya ada kemungkinan pemilik pundi – pundi alias pemilik rumah sakit akan melancarkan protes. Itu bisa jadi. Karena memang ada dua pandangan disini. Pandangan pertama adalah rumah sakit sebagai manifestasi gerakan aktivitas sosial. Sementara paradigma kedua adalah garis ekstrim bahwa rumah sakit adalah sebagai perangkat kapitalisme untuk mengeruk duit sebanyak – banyaknya dari pasien. Dan, disinilah peran penetrasi dari pemerintah.
Tentunya tidak semua rumah sakit menganut aliran garis keras kapitalisme. Namun juga, tidak semua rumah sakit menganut aliran aktivitas sosial. Stigma yang kini ada adalah bahwa rumah sakit mahal berarti memiliki fasilitas bagus, sementara rumah sakit sosial ya fasilitasnya abrakadabra alakadarnya. Apakah harus seperti itu ? 'No comment' untuk hal ini. Ada cerita tentang rumah sakit di jaman kejayaan Khilafah Kordoba. Jaman itu rumah sakit merupakan salah satu perangkat pemerintah dalam penyelenggaraan kesejahteraan rakyat. Rumah sakit tidak berbayar, alias gratis. Namun jangan salah, rumah sakit jaman Kordoba begitu mewah. Semewah apa ? Begitu mewahnya sehingga banyak warga hingga turis – turis kaya raya dari luar negeri berpura – pura sakit agar bisa menginap gratis di rumah sakit tersebut.
Menyikapi hal tersebut, pengelola rumah sakit tidak tinggal diam. Semua pasien, baik yang sakit beneran maupun yang berpura – pura sakit, selalu diperhatikan dan diperiksa. Bagi yang memang kedapatan ber-penyakit, maka pasien tersebut tentunya dirawat hingga sembuh. Sementara bagi yang telah melalui pemeriksaan kesehatan selama tiga hari dan ternyata sehat, tentunya ketahuan kalo ternyata cuma pengen menginap gratisan. Untuk hal ini maka pasien gadungan ini dipersilakan pulang atau beranjak mencari penginapan umum.
Benar sekali. Saking mewahnya sehingga banyak yang menyalahgunakan fasilitas ini. Maksudnya, pura – pura sakit supaya bisa menginap di kamar mewah. Dan konon kebanyakan yang melakukan hal ini adalah turis asing. Rupanya sudah kondang seantero dunia ihwal trik untuk menginap gratis bermewah – mewah di rumah sakit. Dan ini juga sudah di-antisipasi oleh pengelola rumah sakit. Seorang pengelola rumah sakit menjelaskan bahwa tiga hari menginap di rumah sakit tidak dihitung sebagai perawatan kesehatan, namun hanya sebagai perjamuan kepada tamu. Dan memang diberikan cuma - cuma. Konon, menjamu tamu di Kordoba biasanya memang diberi gratis menginap selama tiga hari. Begitulah. [] haris fauzi – 29 juni 2011
haris fauzi
kolomkenisah