Ada beberapa hal yang bagi saya lebih mudah difahami di dalam tataran hakekat. Contohnya tentang pengemis. Seringkali kita jumpai pengemis berduyun - duyun baik di perempatan atau di pingir jalan. Untuk tataran syariat, maka pengemis itu harus disantuni. karena dia adalah dhuafa. Namun apabila pengemis itu ternyata seorang pemalas yang dikoordinir oleh mafia pengemis, maka kita tidak patut mengulurkan uang kepadanya, karena hanya mempopulerkan gerakan "manusia malas". Petakompli yang terjadi adalah, seberapa faham kita mengerti siapakah gerangan pengemis yang mengetuk jendela mobil kita ? Pengemis tulen -kah ? Pengemis geng mafia -kah ? Malaikat yang menyamar -kah ?
Dalam tataran hakekat, yang paling mudah apabila kita memulai dari term "niat". Innamal 'Amalu bin Niyat. Amalan tergantung dari niat. Term "niat" bukanlah pembicaraan dalam tataran syariat. Lihatlah bagaimana mudahnya tataran hakekat membahas soal petakompli yang terjadi dalam menyantuni pengemis yang membingungkan tadi. Bila kita berniat memberi untuk mencari pahala penyantunan, maka itu menjadi benar. Bila kita berniat tidak mau memberi karena hendak memberantas mafia pengemis, maka itu juga dibenarkan.
Kasus kedua adalah Maulid Rasulullah sebagai contohnya. Sebagian muslim menganggap memperingati kelahiran Muhammad sebagai Maulid Rasulullah, adalah tindakan untuk mengenang dan memuja Muhammad SAW. Untuk memuliakan Muhammad SAW.
Sebagian lain tidak merayakan dan cenderung memberi fatwa bid'ah perayaan Maulid dengan alasan hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin. Dan juga akan menciptakan kultus yang berlebihan. Itu adalah tataran syariat.
Dalam tataran hakekat dimana bicara tentang niat, maka bagi yang merayakan Maulid, itulah saat yang tepat untuk memuliakan Rasulullah. Bukan berarti hanya saat itu saja memuliakan beliau, tetapi benar - benar menunjukkan sebagai bentuk kecintaan kepada Rasulullah. Bila itu niatnya, maka dalah tataran hakekat perayaan Maulid Rasulullah jadi tidak ada masalah. Walaupun secara syariat memanglah hal itu tidak pernah dicontohkan baik oleh Muhammad SAW sendiri ataupun pada masa Khulafaur Rasyidin.
Demikian juga bagi mereka yang tidak merayakan. Karena memang menjaga kemurnian ajaran itu hal yang sangat mulia dan berpahala, maka merka tidak merayakan Maulid dengan argumen tersebut. Dan itu dalam tataran hakekat adalah benar. Siapa yang memelihara kemurnian ajaran Islam, maka dia setara dengan pejuang syuhada yang berperang di jalan Islam.
Itulah kenapa, pembahasan tingkatan syariat, hakekat, tarikat, makrifat menjadi suatu solusi. Seringkali kita sudah beradu bogem ketika masih ribut ditataran syariat, dan melupakan mencari solusi di tataran yang lain. Maka, cobalah. Insya Allah memudahkan. [] haris fauzi - 25 januari 2013