Sekitar akhir bulan Agustus (--atau awal bulan September ?) Si Bungsu --yang kebiasaan sekolahnya ditunggu Mama-- akhirnya dicoba untuk ditinggal mendadak. Ini sesuai anjuran pihak sekolah, bahwa untuk kelas A siswa tidak boleh lagi diantar. Dampaknya Si Bungsu menjadi marah besar dan mogok sama sekali untuk berangkat ke sekolah, sehingga akhirnya pada Selasa (17/9) kami berkonsultasi dengan Psikolog rujukan sekolahan. Psikolog menganjurkan untuk melakukan "terapi paksa", yakni Si Bungsu digeret paksa ke sekolah dan ditinggal paksa. Menurut Psikolog "terapi paksa" ini tidak berdampak apa - apa. "Yang penting anaknya dibawa ke sekolah. Gak mandi juga ga papa. Trus ditinggal aja di sekolah", begitu anjuran Psikolog.
Terapi paksa ini juga harus diiringi dengan terapi "alam bawah sadar", yakni membisiki hal - hal positif kepada Si Bungsu ketika nyenyak tidur. Dampak dari "terapi alam bawah sadar" ini adalah membangun nilai positif kepada Si Bungsu.
Malam itu -sepulang dari berkonsultasi dengan Psikolog- Istri saya yakin sekali, sementara saya seperti biasa cenderung tidak berpihak, bahkan agak sinis menanggapi terapi paksa ini. Karena saya membayangkan tingkat kesulitan membawa Si Bungsu ke sekolah. Anak itu tidak akan mudah dibawa dan ditaruh begitu saja. Akhirnya "terapi alam bawah sadar" dimulai semenjak selasa (17/9) sepulang dari Psikolog. Dan dilanjutkan hari rabu (18/9) malam. Pada hari jum'at (20/9) pagi dicobalah untuk merayu Si Bungsu agar mau berangkat sekolah. Ternyata belum mau, malah merengek ikut berangkat ke kantor. Akhirnya Si Bungsu ikut saya ngantor. Sementara Istri berangkat ke sekolah untuk merundingkan skenario "terapi paksa" yang bakal dijalankan.
Pulang dari kantor, sesampai rumah sekitar pukul 20.30. Si Bungsu tertidur di mobil. Sambil saya gendong masuk ke kamar, saya berbisik bertanya,"Adek besok pinter berangkat sekolah, ya ?". Dan Si Bungsu mengangguk - angguk dalam tidurnya. Artinya, alam bawah sadarnya menerima bahwa besok akan berangkat ke sekolah. Tetapi kan sabtu (21/9) libur. Jadi Si Bungsu tetap belum sekolah, namun di hari sabtu tersebut Si Bungsu tidak merengek hendak ikut ke kantor. Saya senang berangkat ngantor hari sabtu tersebut. Hari sabtu kabar dari sekolah mereka bersedia menjalankan "terapi paksa" mulai senin (23/9). Dan saya menyetujuinya. Terapi "bisik" tetap dijalankan untuk memelihara alam bawah sadar Si Bungsu yang positif terhadap sekolah.
Tibalah hari senin (23/9) yang mendebarkan itu. Hari dimana dimulainya "terapi paksa". Pagi itu saya berangkat ke kantor dengan sedikit rengekan Si Bungsu. Dan satu jam kemudian Si Bungsu dipaksa berangkat dan ditinggal di sekolah. Konon, Si Bungsu marah - marah. Ketika saya pulang kantor, Istri melaporkan ulah bocah yang marah di sekolah. Saya menganggap hal itu wajar, merujuk kepada statemen Psikolog. Senin malam selasa, usai tahajjud saya membaca do'a dan menjalankan "terapi bisik". Saya sedikit kaget karena ketika saya tanyakan ihwal "berangkat sekolah", kali ini Si Bungsu menggeleng-geleng. Artinya alam bahwa sadar dia sekarang berbalik menjadi negatif terhadap sekolah. Mungkin ini akibat pengalaman tidak menyenangkan karena terapi paksa pada pagi hari sebelumnya.
Selasa (24/9) pagi hari dimulai lagi. Ketika saya hendak berangkat, Si Bungsu meraung - raung tidak mengijinkan. Namun, terapi paksa harus tetap dijalankan sesuai anjuran Psikolog. Benar dugaan saya, Si Bungsu tidak mudah diajak ke sekolah, kecuali dibujuk - bujuk. Walhasil ternyata Si Bungsu marah besar. Gurunya dipukul - tendang. Dan, alhamdulillah Istri saya bertemu dengan Psikolog di sekolah. Saat itu Psikolog hanya berkomentar,"mengapa tidak pake baju seragam ?". Istri saya bingung, toh pada saat konsultasi hari selasa (17/9), Psikolog tidak mensyaratkan baju seragam, bahkan tidak mandi-pun tidak masalah. Psikolog juga menanyakan,"... mengapa dibujuk ? Kenapa tidak dibawa begitu saja ?". Ini pertanyaan lucu, Si Bungsu bukan boneka yang mudah dibawa kemana - mana. Kalo tidak diikat, ya dibujuk. Cara apa lagi ? Kesulitan ini sudah saya bayangkan sebelumnya, walau Psikolog meremehkan hal teknis ini,"...kan tinggal bawa trus ditaruh di kelas...". Ketika Istri melaporkan ihwal respon Psikolog ini, saya cuma bergumam, ".. emangnya karung, tinggal bawa dan taruh ????".
Yang membuat saya prihatin adalah ketika Si Bungsu pulang sekolah. Istri melaporkan bahwa Si Bungsu ngoceh melulu semenjak pulang sekolah. "Adek ga mau sekolah... adek ga mau sekolah.... adek ga mau sekolah", begitu terus menerus hingga malam ketika saya pulang, tidak mau makan, dan tidurnya gelisah. Bahkan terus mengoceh hingga rabu (25/9) pagi menjelang saya hendak berangkat ke kantor. Mungkin Si Bungsu trauma terhadap sekolah. Namun, mengingat kata Psikolog bahwa "terapi paksa" ini tidak berdampak apapun, bahkan tidak mungkin terjadi trauma, maka saya masih berpikir segalanya berjalan normal.
Rabu (25/9) pagi itu, biasanya pada pukul 6.30 saya mengantar Si Sulung sekolah, dan biasanya Si Bungsu ikut. Dalam perjalanan tersebut Si Bungsu kembali meracau,"tidak mau sekolah... jangan lewat sekolahan.... ", sambil menangis dan menendang - nendangkan kakinya ke lantai mobil. Saya akhirnya yakin bahwa Si Bungsu mengalami trauma terhadap sekolahannya. Psikolog tersebut ternyata salah.
Akhirnya pukul 09.00 saya putuskan untuk menghentikan terapi paksa. Dan saya tanya kepada Si Bungsu," Adek mau kemana ?". Dia menjawab,"Adek nggak mau ke sekolah..... adek mau ikut ayah ke mesjid". Maka saya antar dia ke mesjid. Sesampai disana Si Bungsu berubah menjadi sedikit ceria dan tidak meracau lagi. Namun Si Bungsu kembali murung ketika -secara kebetulan- ada rombongan anak sekolah memasuki mesjid untuk pengajian. Si Bungsu kontan meminta untuk pergi dari mesjid karena ada anak - anak berseragam sekolah. Saya kian yakin bahwa Si Bungsu kini trauma terhadap sekolah. Akhirnya saya bawa Si Bungsu ke taman bermain di sebuah mall. Tentunya, kemudian saya merencanakan untuk berangkat ke kantor. Ketika saya drop, Si Bungsu marah - marah kepada Mama-nya. Rupanya Si Bungsu hanya ingin ditemani ayahnya, karena Mama telah berbuat jahat dengan memaksanya ke sekolah. Disinilah poin utama kesalahan Psikolog. Bagi saya, seorang anak yang tidak percaya kepada Mama-nya, itu merupakan hal krusial. Tetapi bagi Psikolog, hal itu sepele. Tentunya perbedaan ini makin meyakinkan saya bahwa saya dan psikolog tidak memiliki kesamaan pandangan.
Rabu malam, Si Bungsu berangsur ceria, menyanyi, menari, menggambar,... namun dalam tidurnya masih terkadang mengigau. Saya mencoba melupakan urusan sekolah Si Bungsu. Yang penting adalah bagaimana caranya supaya Si Bungsu kembali percaya kepada Mama-nya.[] haris fauzi, 27 sept 2013.