Dua tahun lalu, setiap pagi, ketika Si Sulung berangkat sekolah dan Si Tengah dijemput bis sekolah, maka Si Bungsu juga ikutan bersicepat mencangklong tas hendak berangkat. Kala itu Si Bungsu amat antusias untuk berangkat sekolah. Dan atas dasar inilah ketika berumur tiga tahun Si Bungsu terdaftar sebagai murid Play Group.
Namun, semenjak Play Group ternyata Si Bungsu bukan termasuk murid yang "mudah". Masalah utama Si Bungsu adalah tidak bisa lepas alias minta selalu diantar hingga ditunggu di dalam kelas sekalipun. Bahkan kadangkala Si Bungsu meminta saya yang harus menunggunya, bukan Mama-nya. Dan tahun ini, ketika menginjak bulan Agustus 2013, artinya si Bungsu genap setahun sekolah dan memasuki level TK A dengan tetap ditunggu oleh Mama-nya. Ini menjadi problem karena dalam satu kelas tinggal tiga anak yang masih harus didampingi orang tuanya.
Dan, jalan untuk menjadikan Si Bungsu mandiri-pun ditempuh. Pihak sekolah dan psikolog menyarankan kepada istri agar Si Bungsu ditinggal mendadak, supaya anaknya bisa lepas. Ini namanya "terapi paksa". Apa dampaknya ketika hal itu diterapkan ? .... Suatu hari Mama-nya menjalankan saran tersebut. Bukannya anak jadi mandiri, tetapi Si Bungsu jadi meradang hebat, menendang guru-nya, memrotes mamanya, dan hari berikutnya malahan Si Bungsu mogok sekolah. Tidak mau sama sekali untuk berangkat sekolah.
Dan, jalan untuk menjadikan Si Bungsu mandiri-pun ditempuh. Pihak sekolah dan psikolog menyarankan kepada istri agar Si Bungsu ditinggal mendadak, supaya anaknya bisa lepas. Ini namanya "terapi paksa". Apa dampaknya ketika hal itu diterapkan ? .... Suatu hari Mama-nya menjalankan saran tersebut. Bukannya anak jadi mandiri, tetapi Si Bungsu jadi meradang hebat, menendang guru-nya, memrotes mamanya, dan hari berikutnya malahan Si Bungsu mogok sekolah. Tidak mau sama sekali untuk berangkat sekolah.
Melalui konsultasi, seorang Psikolog tetap menyarankan untuk ditinggal paksa, karena bocah berusia 4 tahun itu sudah harus dan bisa dilakukan terapi paksa berkaitan dengan sifatnya yang mulai memberontak. Jadi, dengan kondisi bocah berusia sudah 4 tahun, yang harus dilakukan adalah memaksanya berangkat sekolah dan meninggalkan di sekolah dengan kondisi apapun. Tentunya saran ini sulit dilakukan. Bagaimana mengantisipasi seorang anak yang tidak mau sekolah ? Bagaimana caranya memaksakan ? Apakah dipaksa dengan kekerasan ? Psikolog mengatakan tidak boleh dimarahi, tidak boleh dipukul. Menurut saya ini agak mustahil. Pasti Si Bungsu akan bertahan kuat - kuat untuk berpegangan pagar atau apalah. Dan kalo kita paksa seret, tentunya hal ini menyakiti Si Bungsu. Atas argumen ini Psikolog cuma menyarankan tinggal saja di sekolahan, ga usah diberi terapi kekerasan. Saya tetap menanyakan "bagaimana" teknisnya. Dan penjelasannya cuma,"Ya ditinggal saja". Sekali lagi, ini mustahil. Minimal dia akan kuat - kuat memeluk kaki Mama-nya, dan seperti ini tidak mungkin dilepaskan tanpa menyakiti tangan Si Bungsu.
Sebetulnya yang ada dalam kecamuk pikiran saya adalah "resiko". Ketika suatu hari dia ditinggal Mama-nya mendadak, Si Bungsu memiliki kepercayaan yang turun kepada Mama-nya. Mama dianggap meng-khianat-i Si Bungsu. Dampaknya adalah Si Bungsu selalu ingin bersama Ayahnya. Menurut Sang Psikolog, itu wajar sebagai fenomena tantrum. "Sehari dua hari memang begitu, tetapi setelah itu akan dekat lagi", begitu penjelasan Sang Psikolog. Namun, ketika saya jelaskan bahwa Si Bungsu sudah hampir dua minggu tidak mau percaya dengan Mama-nya, Sang psikolog buru - buru meralat,"...dan bisa satu - dua minggu".
Bisa dibayangkan apabila hal ini disertai dengan menyakiti tangan dan kakinya agar tidak menggelantung di badan orang tuanya ? Tentu Si Bungsu akan kesakitan pula. Ini yang tidak masuk dalam teori Si Psikolog.
Selain itu saya juga masih memiliki pertanyaan menganjal, yakni apakah anak --walaupun sudah menginjak usia 4 tahun-- itu tidak dendam ketika diperlakukan paksa ? Soalnya banyak kejadian anak SD yang menjadi pendendam kepada orang tuanya gara - gara dipaksa melakukan sesuatu. Atas pertanyaan ini Psikolog itu menyatakan bahwa kalo sudah SD, pemaksaan bisa berakibat dendam, "... terapi paksa itu hanya untuk umur 4 tahun...". Begitu ralatnya lagi. "Untuk anak setelah umur 4 tahun ? atau hanya 4 tahun ?". Ternyata cuma untuk 4 tahun saja. Kebenarannya wallahualam bi sawab.
Akhirnya saya menegaskan pertanyaan saya,"Apakah terapi paksa itu tidak beresiko ?". Dan psikolog menyatakan "TIDAK". Ketika saya sampaikan ulang efek bahwa Si Bungsu tidak percaya kepada Mama-nya, Psikolog menyatakan itu bukan sesuatu yang berarti, "... yang penting anak mau sekolah. Itu harus dipaksa".
Bagi saya ini sudut pandang yang berbeda. Menurut saya apabila ada bocah yang tidak percaya dengan Ibu-nya, ini merupakan hal yang serius. Kepada siapa dia harus percaya sekarang ? Namun poin ini bukan dipandang serius oleh Psikolog. Disini ada perbedaan yang makin jelas antara saya sebagai orang tua dengan paradigma Psikolog.
"Seberapa tinggi tingkat keberhasilan terapi paksa ?". Psikolog menjawab bahwa terapi tersebut pasti berhasil apabila sekolah menyediakan satu orang guru untuk mengurus Si Bungsu. Ini permintaan yang tidak mungkin mengingat satu kelas diisi 20 murid dengan dua guru. Menurut saya, ini adalah kelemahan teori terapi paksa, yang apabila gagal, maka pihak lain yang di-"kambing hitam"-kan. Bukan saran terapinya yang salah, tapi lingkungan sekitar yang tidak mendukung. Ini poin yang kurang sreg bagi saya.
Sampai hari ini, Si Bungsu tetap mogok sekolah. Terapi paksa belum diterapkan. Entah kapan Mama-nya akan mulai memenuhi saran Psikolog dengan menggeret paksa Si Bungsu berangkat ke sekolah. Namun, kondisi sekarang adalah kepercayaan Si Bungsu kepada Mama-nya makin merosot. Ini yang membuat saya prihatin. Saya sendiri memilih berdoa dan berusaha secara persuasif. Karena saya tau Si Bungsu adalah tipe anak yang tidak bisa dibohongi dan dipaksa. Dia terbiasa diberi pemahaman logis. [] haris fauzi - 18 september 2013
No comments:
Post a Comment