Friday, September 04, 2015

untungnya faham

Malam itu saya mampir ke suatu tempat dimana beberapa rekan biasa 'nyangkruk' untuk ngobrol, diskusi, atau yang sering sih bercanda dan berdebat. Namanya juga 'informal' meeting. Beberapa orang sudah terlihat cangkruk disitu. Akhirnya, menjelang tengah malam pembicaraan mengerucut ke soal persoalan agama Islam. Kebetulan ada yang alumni pesantren dalam diskusi itu.

Pada jeda obrolan entah keberapa, sang alumni pesantren menyatakan bahwa dalam Islam, seorang pria itu tidak mengapa mengenakan perhiasan emas. Alasannya adalah," ... yang tidak diperbolehkan adalah membeli perhiasan dengan cara riba, hutang.... Bukan emas-nya,.. ini yang saya fahami dari pesantren lho yaa....", gitu katanya. Wah, ini sih tujuannya mempengaruhi audiens, kata saya dalam hati.

Alumni pesantren itu, setahu saya memang berpikiran sedikit liberal, dan lebih mengutamakan prinsip ber-demokrasi dibanding prinsip beragama. Sementara saya berbalikannya. Ketika ada pertanyaan "apakah anda orang Indonesia ataukah orang Islam ?", maka saya menjawab, "saya Islam", sementara beliau kemungkinan akan menjawab, "Orang Indonesia". Itu andai ada pertanyaan seperti itu. Untungnya saat itu tidak. Tetapi sang alumni pesantren itu faham positioning saya, demikian juga saya faham posisi pandangan beliau.

Dengan posisi pandangan semacam itu, sang alumni pesantren suatu ketika bertanya kepada saya,"..oke lah... sekarang saya tanya... makhluk apakah itu 'khamr' yang diharamkan dalam al-Qur'an ?".

Mendengar intonasinya berbicara, saya menduga ini jebakan. Pada umumnya, dalam merespon pertanyaan seperti ini orang akan menjawab dengan "bir". Dan, jawaban ini akan mudah dipatahkan dengan argumen bahwa "bir ga ada jaman nabi, jadi bir halal dong...". Begitu.
Saya butuh sekian jenak sebelum menjawab. Saya lihat alumni itu tersenyum menang melihat saya ragu menjawab.

Waktu sekian jenak itu saya pergunakan untuk mencari jawaban yang langsung mematahkan pertanyaan dalam sekali jawab. Lantas saya menjawab," ...khamr adalah sesuatu yang memabukkan..."

Dia kaget mendengar jawaban yang tidak dia duga. Dia mengulang pertanyaannya,"...apa itu 'khamr'...?"
Saya menjawab makin tegas...,"Sesuatu yang memabukkan....!".
Inilah untungnya saya membaca Al-Qur'an berikut terjemahannya. Hal itu ada di Al-Qur'an. Sehingga saya faham betul, dengan memberikan jawaban berdasar Al-Qur'an tentunya tidak ada lagi perdebatan dan dalih.

Melihat alumni pesantren terkejut dan gamang, temannya berusaha membantu,".... berarti kalo gak sampe mabuk, gak masalah dong...?".

Kini giliran kubu mereka yang masuk jebakan saya. Lontaran semacam itu sangat memudahkan saya dalam menjawab,".... dalam dalil --entah yang mana-- disebutkan bahwa bila dalam jumlah banyak memabukkan, maka dalam jumlah sedikit-pun statusnya haram...".

Maka selesailah pembicaraan.

------

Maksud tulisan saya begini, sebenarnya, dengan memahami terjemahan Al-Qur'an, itu sangat membantu kita dalam menyelesaikan banyak hal. Salah satunya adalah perdebatan di atas. Juga, dengan sedikit pola filosofis, dengan menggabungkan dua dalil, saya juga dengan mudah mementahkan pertanyaan kedua, walau saya tidak hafal dalil penguatnya. Tapi dua jawaban itu cukup untuk membungkam lontaran - lontaran yang memang bertendensi untuk menyudutkan atau memanipulasi dalil Islam. Jaman sekarang jamak sudah dalil - dalil Islam dipermainkan, dianggap kuno, dibuat bahan olok-olok, dinomer dua-kan, bahkan mungkin nomer kesekian. Istilahnya, terbawahkan. Padahal sejatinya dalil - dalil akidah Islam sudah seharusnya dimuliakan, di-nomer-satu-kan. Dan, masalah terbesarnya adalah, mereka yang merendahkan dalil - dalil Islam itu kebanyakan malah pemeluk Islam sendiri, beberapa dari mereka adalah orang yang berilmu, sehingga malah memelintir segala hal karena dia memiliki ilmu tersebut, kondisi semacam ini bisa menggiring masa awam menjadi apolojis terhadap hal - hal yang semula dilarang menjadi 'boleh' dilakukan. [] haris fauzi - 4 Sept 2015

No comments: