Konon suatu ketika, para pembesar suku Quraisy berunding dengan sangat serius. Mereka hendak mengajukan usulan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Kala itu pengikut Rasulullah SAW, pemeluk agama Islam, tengah berkembang pesat sehingga cukup membuat para pembesar Quraisy resah. Kaum Quraisy masih bertahan dengan adat - istiadat dan 'agama jahiliyyah' mereka. Dan hendak menahan laju dakwah Islam. Salah satu cara yang dilakukan untuk hal ini adalah dengan melakukan mediasi.
Dari satu sisi, para pembesar Quraisy menganggap adalah sangat mendesak untuk mengusulkan jalan tengah, mengantisipasi perkembangan dakwah Islam yang semakin meluas. Formulasi usulan yang dibawa oleh para pembesar Quraisy pada intinya adalah : Para pembesar Quraisy akan menginstruksikan kepada segenap warga yang belum memeluk Islam untuk melaksanakan ajaran Islam disamping tetap menjalankan ritual peribadatan suku. Sementara ummat Islam dipersilakan melaksanakan ajaran Islam, namun juga harus menjalankan peribadatan suku Quraisy. Inilah konsep toleransi yang diusung oleh para pembesar suku Quraisy, yang hendak ditawarkan kepada ummat Islam.
Para pembesar Quraisy dengan percaya diri berangkat menghadap Rasulullah. Menawarkan konsep toleransi 'versi mereka'. Dan singkat cerita, ternyata usulan tersebut ditolak oleh Rasulullah SAW, dengan dalil 'lakum dinukum waliyadin'. Untukmu agamamu, untukku agamaku. Tidak dipercampurkan. Bahkan ketika pembesar Quraisy menyatakan usul,".... setidaknya, ketika kami pengadakan perayaan, maka harapan kami ummat Islam ikut merayakan .... dan ketika ummat Islam merayakan hari raya, kami-pun bersedia ikut merayakan ... ", Rasulullah SAW - pun menolak klausul tersebut.
Ada perbedaan paradigma ihwal tolerasi. Satu sisi, para kaum jahiliyyah Quraisy, menyatakan bahwa toleransi versi mereka adalah saling ikut merayakan perayaan agama yang ada. Sementara bagi ummat Islam, toleransi versi Rasulullah Muhammad SAW adalah surat Al Kafirun ayat 6. Cukup. [] haris fauzi, 26 februari 2020.
No comments:
Post a Comment