SO SORRY, PAK USTADZ
Pernah dalam suatu pengajian, disampaikan oleh Pak Ustadz bahwa adalah ihwal penting untuk mempelajari ilmu agama Islam. Ya kebetulan karena saya beragama Islam jadinya ikut pengajian agama Islam. Yang saya 'cerna' disini apa yang disampaikan Pak Ustadz sebagai ilmu Islam adalah ilmu sholat, warisan, cara membaca Al-Qur'an, dan sebangsanya yang banyak kita jumpai di sekolah - sekolah madrasah, pondok, dan atau di pengajian - pengajian. Katanya sih ilmu seperti ini lebih utama bagi ummat Islam.
Sempat timbul pertanyaan dalam hati bahwa dalam pertimbangan saya dikotomis eksklusivitas ilmu seperti itu tidaklah terlalu menguntungkan, setidaknya menurut pemikiran saya pribadi. Paling tidak bila seluruh ummat Islam beranggapan ilmu seperti itu adalah yang utama, maka mereka berbondong - bondong semuanya mempelajarinya. Maka seluruh ummat berguru ke pondok pesantren, misalnya. Lha lantas, yang belajar ilmu kimia, fisika, dan matematika siapa ? Filsafat, sosiologi, sejarah ? Siapalagi ?
Sedikit banyak saya belajar dari beberapa orang dan beberapa hal. Menurut pribadi saya, ilmu adalah apa yang diketahui oleh seseorang, bisa dipelajari dan bisa diajarkan. Prinsip utama dari ilmu adalah 'pencarian hikmah'. Semakin banyak ilmu ditimba, maka semakin banyak pula hikmah yang bisa dipetik dan diajarkan. Karena ujung - ujung filosofi ilmu itu menuju ke keranjang hikmah. Apabila ada ilmu yang tidak ke arah situ, berarti ada yang salah. Ilmu 'ngerampok' misalnya, ilmu men-dukun contohnya.
Dengan bekal hikmah, kita bisa bergerak menuju perjalanan spiritual ke arah 'keabadian'. Dalam Islam, serpih - serpih hikmah akan menuntun manusia menuju Tauhid, Ke-Esa-an dan keabadian Tuhan. Ya menurut saya pribadi tegasnya begini : urusan ilmu itu akan membawa kita menuju perjalanan spiritual.
Mungkin yang disebut Pak Ustadz tadi juga ke arah tersebut, tauhid. Dalam arti ilmu agama itu selalu mengarahkan kepada keabadian Tuhan. Tetapi janganlah salah, ilmu fisika-pun mengarahkan peminatnya ke arah itu. Saya tidak menyalahkan beliau --yang bagi saya hanya kurang komplit penyajiannya--, tetapi, saya sebagai seorang lulusan teknik jadi merasa terpinggirkan. Bahkan rekan saya yang seprofesi sempat berbisik,"...Kalo memang tau gitu, sebenarnya kita dari dulu mending ke pondok saja. Gak usah ke universitas...".
Pak Ustadz juga menambahkan bahwa ilmu agama itu ilmu rohani untuk urusan akherat, sementara ilmu yang lain itu ilmu materi untuk urusan duniawi. Beliau juga sempat membagi dua, sebagai ilmu agama dan ilmu dunia. Jadi menurutnya, tetaplah prioritas itu ada di ilmu akherat--ilmu agama--, bila pengen masuk surga. Itu kata beliau.
Ya berbalik ke masalah 'pembelaan' pribadi saya sebagai seorang lulusan teknik, bagi saya ilmu apapun bisa jadi ilmu materi-duniawi atau ilmu rohani-akherati. Tinggal macam penerapannya laksana apa gerangan. Apabila ada seorang lulusan pondok, lantas dia pintar soal membaca Al-Qur'an, lantas dia banyak menerima tawaran manggung untuk mengaji dan menerima duit cukup banyak, maka ilmu mengaji itu bisa menjadi ilmu materi-duniawi. Dibalik itu tersedia juga kemungkinan fenomena bahwa bisa jadi dia memang bisa membaca dan melagukan kitab suci dengan indah, tetapi makna dan penerapan sosialnya tidaklah sesempurna itu. Bagi saya, adalah lebih penting makna dan amalnya ketimbang keindahan lagunya. Tetapi, sebaiknya kedua - duanya.
Juga kebalikannya bila ada seorang ahli fisika, yang di dalam laboratoriumnya selalu banyak menemukan ihwal penciptaan semesta, dan dari hari ke hari dia makin takjub dengan kebesaran Tuhan Pencipta alam semesta, maka bisa jadi ilmu fisika-nya itu menjadi ilmu yang bersifat rohani-akherati. Dibalik hal ini tersedia juga fenomena bahwa jangan - jangan ahli fisika ini malah nggak pernah membaca Al-Qur'an. Atau bisa jadi dia merupakan ilmuwan sekaligus seorang ulama, seperti Ibnu Sina misalnya. Ini menurut pikiran saya pribadi lho ya.
Soalnya dalam Islam dikenal ada dua 'kalam' Tuhan, yakni Kalam Tuhan yang tertulis dan terjaga di dalam Al-Qur'an. Dan satunya lagi adalah kalam Tuhan yang terlukis lewat tanda - tanda alam semesta. Yang terakhir ini saya tidak mengada - ada dan hukumnya sah mutlak karena di dalam Al-Qur'an sendiri sering disebutkan dengan "....tanda - tanda bagi orang beriman" atau "...tanda - tanda bagi orang yang berpikir". Jadi pendekatan kepada penjalanan spiritual menuju Tuhan itu bisa diambil dari kalam Tuhan di Al-Qur'an dan kalam Tuhan di alam semesta.
Memang sering terjadi kendala di urusan seperti ini. Misalnya ilmu fisika malah membuat kejahatan, ilmu kimia malah bikin bom nuklir. Dan repotnya, yang pintar mengajipun kadangkala dia pintar melantunkan tetapi tidak faham maknanya. Atau bisa jadi karena hafal dan jago hukum agama, dia malah memanfaatkan untuk kepentingan partai politik. Ihwal ini tidaklah syak lagi bakal berbalik kepada nurani manusia. Fitrah manusia memiliki sifat berkehendak. Kadangkala manusia bisa berkehendak ke kiri atau ke kanan, ... dan Tuhan secara demokratis membiarkan saja. Bahkan Tuhan membebaskan Iblis untuk mengajak manusia hendak kemana entah. Kalau sudah mencapai hal masalah ini, artinya merupakan masalah perseteruan antara manusia melawan iblis. Tidaklah masuk pembahasan dalam topik singkat kali ini.
Dan sebenarnya, --bila kita cari keterkaitannya-- maka rangkaian 'ilmu-hikmah-perjalanan spiritual' sejatinya merupakan sarana untuk menuju Tuhan sekaligus sarana untuk mengenyahkan iblis. Sebenernya 'teori'-nya seperti itu. Prakteknya kita serahkan ke nurani masing - masing.
Jadi ? Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Pak Ustadz, saya tetap kurang sreg bila ada pembagian ilmu duniawi dan ilmu akherat seperti yang diajarkannya. So sorry pak Ustadz.[] haris fauzi - 31 Juli 2007
salam,
haris fauzi
haris fauzi
Fussy? Opinionated? Impossible to please? Perfect. Join Yahoo!'s user panel and lay it on us.