SERING APA
Yah. namanya juga anak kecil. Saya pas sekolah di pra-sekolah (sekali lagi : sekolah di pra-sekolah...lho, ini apa-apaan sih ?), sering banget nangis. Mungkin karena usia saya yangterlalu kecil, 3 tahun. Tidak hanya itu, teman satu sekolah juga ada yang beulah nakal. Yang paling nakal adalah Iwan dan Hari. Penampilan Iwan sepertinya anak orang kaya, berbadan gempal, berambut panjang poni seperti Adi bing Slamet si Jenderal Kancil, warna kemerahan pula. Iwan suka memakai sepatu proyek, sepatu boot karet warna merah. Bercelana pendek jeans dan berkemeja kotak - kotak lengan panjang. Itu yang saya ingat. Hobinya merebut mainan temannya, kadang lewat cara kekerasan. Sementara Hari begitu royal membagi bogem mentahnya dengan kepalan tangannya yang khas, jempol yang terlipat di dalam genggaman. Entah kenapa, senakal - nakalnya Hari, dia juga cengeng seperti saya. Masa pra-sekolah di TK Aisjijah Bustanul Athfal ini menjadikan masa paling cengeng dalam hidup saya, sering nangis. Untungnya ada kakak dan Pak Ngadenin. Pak Ngadenin adalah tukang becak abonemen yang mengantar kami sekolah, betiga. Kakak, saya, dan mbak Irma, tetangga.
Masuk SD di lingkungan asrama tentara, jadilah saya lebih badung dari semula. Tahun - tahun penuh perkelahian. Enam tahun sekolah, tiga tahun diantaranya diisi adu jotos hampir setiap minggu. Hampir dalam segala urusan, murid sekolah ini selalu menawarkan penyelesaian cara duel.
Dalam komunitas yang selalu begerombol, maka acara pengambilan keputusan yang menyangkut antar kelompok jadi sangat serius. Biasanya diselesaikan di luar sekolah. Lumrah. Gara - gara kalah sepakbola, maka urusannya bisa dilanjutkan ketika sore dilapangan itu juga, namun bukan melakukan sepak bola, tetapi adu jotos.
Keseharian yang seperti itu sedikit banyak memaksa saya kadang melayani pertikaian yang membuat orang tua kuatir itu. Sejatinya saya sering takut, dan mungkin memang saya tidak suka berkelahi. Andai hal itu bisa diselesaikan lewat berbantah - batahan, mungkin saya lebih suka. Namun, tidak semuanya harus dijalani seperti yang saya mau. Kalo musti berantem, ya berantem. Sesering banyaknya friksi antar kelompok atau perorangan, maka sesering itu juga kami berkelahi bertukar bogem.
Walah. Kondisi tubuh yang kecil, dengan berat 25 kg, masa SMP menjadi masa penuh derita. Dengan berjalan kaki menempuh waktu 20 menit saya biasa berangkat dan pulang sekolah. Capek. Beberapa kali sakit. Seberapa sering saya tidak masuk karena sakit ? Mungkin setiap bulan saya pernah tidak masuk dan menyandang predikat absen sakit.
Bagi saya mungkin terlalu berat. Bersekolah di SMP favorit membuat beban akademis berlebih. Setidakmya dari jumlah buku yang harus dibawa lebih banyak ketimbang teman - teman dari sekolah lain. Dari banyaknya pekerjaan rumah sudah jelas. Dengan double impact seperti ini, maka hal itulah yang terjadi, saya sering sakit, sering tidak masuk, sering nyusul ulangan, kalau kesusul. Kadangkala ulangan tidak bisa disusul. Ya udah, terima nasib. Pernah nilai mata pelajaran bahasa Inggris saya berupa kursi terbalik alias 4. Namun di kelas tiga, nilai matematika dan bahasa Indonesia bisa 9. Ajaib.
Ya, ajaib. Dengan kondisi sekolah masa SMP yang tertatih - tatih karena didera macam - macam penyakit, saya lulus dan bisa diterima di SMA favorit kota Malang. Walah, betapa leganya hatiku. Lega karena mampu menyenangkan orang tua. Ga kebayang kalau gagal, pasti dimarahin habis- habisan.
Namanya anak SMA, tentunya sering main. Apalagi SMA favorit, pasti oke nih...oke temen - temennya, oke cewek - ceweknya juga. Jadi kerasan di sekolahan. Belum lagi hari minggu juga musti ke sekolahan, ada kegiatan ekstra kurikuler. Pokoknya, tiada hari tanpa menginjakkan bumi Bhawikarsu, nama sekolah itu. Gak cuma itu. Akhirnya sering kelayapan juga, karena kebetulan banyak teman yang anak orang kaya, jadi terbawa - bawa jalan - jalannya. Orang tua sering saya bikin repot dengan ulah sering kelayapan ini. Pulang sekolah gak jelas, kadang hingga menjelang maghrib. Wahai Ibu, anakmu ini memang bandel. Apalag nilai raport jeblok selalu. Setiap semester sudah menjadi langganan dimarahin Ibu. Mungkin karena kakak nilainya selalu gemilang, dan kakak saya biarpun di sekolah yang sama, dia murid yang baik, tidak ngelayap kemana - mana seperti saya. Jam pulang, ya pulang. Juga teman - temannya agak beda tipenya dengan teman - teman saya. Dasar saya-nya yang bandel, bersua teman - teman yang bandel juga. Keseringan ngelayap. Kacrut deh.
Keajaiban terjadi lagi. Mungkin karena manjurnya doa Ibu, mungkin karena saya berasal dari sekolah favorit, sebandel - bandelnya juga masih encer otaknya. Saya lolos seleksi penerimaan universitas negeri. Biarpun tidak seperti teman - teman yang bertaburan masuk institut dan universitas terkemuka, saya beruntung bisa kuliah di universitas yang cukup bergengsi. Sekali lagi saya lolos lubang jarum. Ihwal saya hendak kuliah ini cukup heboh. Sekampung rasanya nggak ada yang nggak tau siapa saya dan siapa kakak saya. Kakak saya terkenal sebagai anak pintar, saya badung. Dan suatu malam, menjelang pengumuman hasil UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), keberhasilan-kegagalan saya dijadikan pertaruhan beberapa tetangga. Mereka sebagain besar beranggapan bahwa saya tidaklah segemilang kakak, sehingga dalam UMPTN saya akan gagal. Hanya sebagaian kecil yang beranggapan bahwa saya bisa lolos UMPTN.
Dan esok paginya, dalam koran terbitan pagi, nama saya tercantum sebagai peserta ujian yang lulus dan berhak daftar ulang di kampus yang bakal membesarkan saya: Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang. Hampir seluruh tetangga melongo melihat kebiadaban ini.
Entah karena SMA keseringan di sekolah, maka masa kuliah saya sering bolos. Walau bolosnya tetep aja masih di kampus. Dalam arti saya jarang masuk ruang kuliah, padahal saya sendiri sedang di kampus nongkrong di gedung kemahasiswaan. Di gedung kemahasiswaan ini saya berdialog dengan banyak rekan, yang akhirnya menjadi lebih menarik ketimbang kuliah. Memang dasar anak malas.
Dari semua jenjang sekolah, masa kuliah menjadi masa yang paling berarti bagi saya. Bukan urusan teman wanita. Sepanjang sekolah belasan tahun saya tidak pacaran hingga lulus, karena memang ga punya modal. Namun masa kuliah banyak merubah dan menambah wawasan dalam diri saya. Wawasan apaan ? Saya detilnya juga tidak mampu menjabarkan. Yang penting saya merasa memiliki eksistensi di kampus itu, jati diri saya menguat, tidak seperti masa SMA yang kelayapan tapi nggak ngerti untuk apa. Masa kuliah saya mengerti hendak menjadi seperti apa, dan harus bagaimana. Setidaknya itu lebih sering saya pertanyakan kepada diri saya sendiri. Walau tetep saja saya keseringan bolos. Yang baru ketahuan belakangan oleh orang tua saya. Walhasil saya tidak bisa lulus secepat kakak saya.
Oh, ya. Sejak TK hingga lulus kuliah saya selalu satu sekolahan dengan kakak saya. Saya selalu satu kelas di bawah beliau. Nilai akademis saya selalu di bawahnya juga. Ya karena memang kakak saya pintar, dan kebalikan saya bandel. Mungkin karena unyeng - unyeng kakak saya satu, sementara saya dua. Yang jelas Ibu selalu tidak puas saja melihat nilai akademis saya yang kebanyakan jeblok itu. Ibu selalu melipat dahi bila membandingkan nilai kami berdua, walau beda jenjang.
Tapi ada sedikit kejutan. Dalam suatu mata kuliah, karena sistem perkuliahan paket semester penuh, saya sempat bareng satu kelas dengan kakak saya, yakni mata kuliah Pemrograman Komputer. Ketika nilai ujian keluar, kami berdua memiliki nilai yang sama : C. Pada saat itu saya dengan gagah bisa bilang ke Ibu bahwa biarpun saya sering bolos, tapi sekarang saya sudah sepintar kakak saya. Hahahahaha.....[] haris fauzi - 9 Mei 2008
salam,
haris fauzi
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.
Try it now.