TARAWIH MEMILIKI JEDA Inilah 'kisah petualangan' saya dalam melaksanakan sholat tarawih. Jaman SD sampai SMP saya berkesempatan mengikuti shalat tarawih di mesjid - mesjid. Sebagian besar karena mengikuti kemana Bapak pergi menjadi imam. Maklumlah, Bapak saya tentara, tetapi musuhnya setan. Begitu istilah rekan - rekannya. Hal ini adalah karena Bapak infanteri 'jurusan' kerohanian, bukan ngurusin perang semacam operasi Timor - Timur yang kala saya SD sangat marak yang mana kebanyakan relasi Bapak seringkali ditugaskan ke wilayah konflik dengan Fritilin tersebut. Dan karena jurusan kerohanian, maka Bapak lebih sering berurusan dengan sejumlah mesjid ketimbang dengan tangsi dan barak. Mungkin ada sekitar dua - puluhan mesjid yang musti dia satroni dalam sebulan Ramadhan. Pada masa itu, sekitar tahun 80-an, seingat saya Bapak menerapkan dua ragam sholat tarawih. Yang pertama adalah delapan rakaat yakni empat kali sholat dengan masing - masing dua rakaat. Dan satunya lagi adalah --delapan rakaat juga-- namun terdiri dari dua sholat yang masing - masing terdiri dari empat rakaat. Saya ingat betul, bagaimana Bapak musti mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjadi imam di sebuah mesjid. Beliau sering datang lebih awal untuk sekedar bertemu dengan para pengurus mesjid dan lantas menanyakan,"..disini tarawih seperti apa ? ...dua rakaat salam, atau empat rakaat salam ?". Pertanyaan yang lain yang diutarakan Bapak kepada para pengurus mesjid diantaranya adalah bagaimana urutannya, apakah isya - tarawih - khutbah- baru witir, ataukah witir dulu baru khutbah. Ataukah khutbah dilakukan setelah sholat isya. Ini semua tergantung kultur mesjid masing - masing. Mau empat - empat, mau dua - dua, atau mau khutbah dulu, what-ever-lah. Dan Bapak saya biasanya mengikuti kehendak mereka. Ketika Bapak berdialog dengan pengurus mesjid, saya biasanya bercengkrama dengan sesama anak - anak biang ribut di mesjid, berlarian kesana kemari melecut - lecutkan sarung dan melempar kopiah. Kadang membikin heboh dengan menyalakan mercon di teras mesjid dan berebut memukul bedug. Kadang pula saya minta diajari puji-pujian atau bacaan niat puasa yang dilagukan,"Nawaitu...shauma...", yang seperti itu. Yah, namanya juga anak - anak, maunya bersenang -senang walau di mesjid sekalipun. Sayangnya saya belum pernah tau persis bagaimana komentar Bapak bila atau ketika diminta menjadi imam tarawih yang belasan (atau dua puluh ya ?) jumlah rakaatnya. Memang ada lagi macam tarawih yang konon dipopulerkan oleh Umar bin Khaththab, yakni yang jumlahnya --kalo nggak salah-- dua puluh rakaat. Setau saya Bapak belum pernah melakukannya, namun dia membiarkan ketika mengetahui saya pernah melakukannya. "Silakan saja.... Asal jangan terburu - buru...musti tetep dijaga kekhusyukannya...dan ada jarak antar sholat, ....", hanya begitu komentarnya ketika saya suatu kali melakukan paket sholat tarawih yang 'likuran' itu. Semenjak masa SMA yang mana jarak jangkau saya makin melebar kemana - mana, maka makin beragam-lah sholat tarawih yang saya jalani. Maklum, kadang saya menjadi makmum dari Bapak, kadang saya kluyuran ke mesjid lain bareng teman, termasuk dimana saya beberapa kali mengikuti sholat tarawih di mesjid yang menerapkan banyak rakaat. Dan tentunya pula tak jarang sholat tarawih sendirian. Ternyata sholat tarawih sendirian semacam inilah yang bikin males dan sableng. Kalo kala itu lagi kumat malesnya, saya sholat tarawih delapan rakaat sekali hajar, sekali salam. Trus, sholat witirnya cuma satu rakaat. Maklum, saya berpegangan bahwa witir adalah ganjil penutup. Maka saya pakai angka satu rakaat. Itu kalo sableng. Kalo pas lagi otaknya bener, saya menunaikan tarawih di mesjid, namun menunda witir, dengan harapan sebelum sahur saya masih bisa mengerjakan dua kali shalat tahajjud dan lantas di tutup tarawih tiga rakaat. Kayaknya ritual yang inilah yang paling menggembirakan Bapak saya. Kelihatan alim gitu. Hahahahaha. Gimana enggak ? Habis berbuka, langsung tancap ke mesjid. Pas mau sahur, berwudlu dan sholat dulu. Habis gitu ditambah sholat fajar sebelum subuh. Alim kan ?...hihihihihi.... Tentang ritual sholat tarawih di mesjid, saya juga ingat bagaimana Bapak tetap 'menjaga' agar bisa beberapa hari melaksanakan sholat tarawih di rumah. Maksudnya, dalam sebulan Ramadhan tidak semua tarawih dikerjakan di mesjid - mesjid. Memang, karena dalam beberapa referensi menyatakan bahwa Nabi Muhammad melakukan sholat tarawih kebanyakan di rumah. Sementara Umar bin Khaththab mempopulerkan sholat tarawih di mesjid. Untuk ihwal ini beberapa kali Bapak dilanda dilema, ketika banyak permintaan untuk menjadi imam di suatu Ramadhan, sehingga hal ini mungkin tidak menyisakan satu hari-pun untuk tarawih di rumah. Menolak menjadi imam adalah kemustahilan, bukan ? Akhirnya biasanya Bapak menghendaki sekitar tiga sampai lima hari guna sholat tarawih di rumah, terutama pada tanggal satu Ramadhan. Tarawih adalah sholat malam yang dilaksanakan di bulan Ramadhan. Kita semua tau itulah. Dari makna bahasa kurang lebih arti kata 'tarawih' adalah 'jeda' atau 'rehat'. Itulah kenapa ritualnya tidak bisa dilakukan dengan terburu - buru. Karena banyak rakaatnya, maka diperlukan jeda waktu diantara sholat-sholatnya. Istirahat untuk menarik nafas panjang. Gitu istilahnya. Mangkanya beberapa mesjid mengumandangkan do'a diantara sholat tarawih. Kurang lebih isi do'anya begini :"Subhanna malikil kudus, robbuna wa robbulmalaikatiwaruuuh...". Salah satu manfaat do'a ini adalah memberikan waktu jeda antara pelaksanaan sholat - sholat tarawih. Karena berarti 'jeda', maka Bapak --yang menerapkan delapan rakaat tarawih-- favoritnya adalah melaksanakan sebanyak dua rakaat kali empat sholat. Artinya, makin banyak pula jedanya. Memang, Bapak selalu tidak terburu - buru dalam melaksanakan tarawih. Ketika selesai salam, beliau duduk sebentar, komat - kamit sebentar --membaca do'a tadi--, baru berdiri lagi untuk menegakkan sholat tarawih berikutnya. Ya karena berlandaskan definisi di atas bahwa sholat tarawih sebaiknya memiliki jeda antar sholatnya. Secara awam, jeda ini bermanfaat untuk mengurangi perasaan 'kebut-kebutan' yang mengganggu kekhusyukan. Dan karena sholat tarawih itu terbilang cukup banyak rakaatnya, maka pula, konon Umar bin Khaththab menginginkan dilaksanakan berjamaah di mesjid. Selain untuk memakmurkan dan meramaikan mesjid sekaligus merapatkan barisan ummat, dengan sholat tarawih berjamaah, semuanya jadi lebih ringan. Kalo nggak percaya silakan ukur sendiri. Ringan mana antara sholat tarawih sendirian dibanding berjamaah. Suer. Sholat tarawih sendirian bakal lebih capek. Dalam sebuah alasan, mengapa Rasul Muhammad tidak melaksanakan tarawih di mesjid, maka Muhammad menyampaikan bahwa dia khawatir tarawih akan dijadikan sebagai sholat wajib,"...karena tidak semua ummat-ku mampu melaksanakan sholat sebanyak itu...". Nah, begitulah kurang - lebihnya mohon maklum. [] haris fauzi - 26 agustus 2009 salam, |
Wednesday, August 26, 2009
kenisah : tarawih memiliki jeda
Monday, August 24, 2009
kenisah : pasar sebelah
PASAR SEBELAH Semenjak kecil saya tinggal di kampung Kesatrian. Rumah kami berbatasan dengan kampung sebelah, --hanya berselisih tiga rumah-- terpisahkan oleh jalan raya yang mana di sebelah timur adalah kampung bernama Bunulrejo. Kampung kami sendiri bernama Kesatrian. Disebut kesatrian karena memang tempatnya tentara --'satria'--. Banyak tangsi militer, mulai dari kavaleri yang hampir setiap seminggu sekali menggiring tank dan panzer melintas depan rumah, ada juga batalion infanteri yang hampir setiap pagi serdadunya berlarian sambil bernyanyi. dan tak lupa juga, Di kampung kami berdiam sepasukan penyandang nama serem, Korps Polisi Militer. Loreng putih istilah teman – teman. Ketika berombonan tentara itu silih berganti lewat di muka hidung kami laksana karnaval, maka pertunjukan paling eksotis adalah rombongan tank dan masa perploncoan calon serdadu yang jadi tontonan gratis masyarakat sekitar tangsi. Sementara hal yang paling terngiang adalah bunyi terompet pergantian regu jaga. yang bisa kami dengar sebelum kami memejamkan mata. Bila kampung kami lebih bersifat 'tentara', maka kampung sebelah lebih bersifat 'publik', karena Bunulrejo memang memiliki kekuatan infrastruktur kebutuhan masyarakat, mulai dari pasar, tempat ibadah berupa sejumlah mesjid dan mushola, sekolahan dasar negeri, pemukiman, hingga pekuburan Ngujil yang cukup kondang. Bila bicara tentang pasar, maka pasar Bunul jawabnya–demikian kami memanggilnya. Hampir setiap pulang sekolah saya lewati. Blusukan di pasar nan becek untuk mencari sabut kelapa bakal prakarya, misalnya. Atau sekedar mampir lewat mengantar teman pulang sekolah, karena kebetulan beberapa teman bermukim di sepanjang jalan belakang pasar itu. Bapak tidak terlalu suka andai saya keseringan melintas pasar, konon, pasar banyak setannya. Memang kumuh sih. Becek, karena air tergenang di sana – sini, bau anyir daging. Dan warna tiang hijau lumutnya yang kusam itu berikut pagar kawat berduri yang sudah tidak lurus lagi yang membatasinya dengan area parkiran yang semrawut penuh becak membuat makin pekat.
Ada beberapa ikon yang saya ingat ihwal pasar Bunul tempo lalu. Ada penjual tempe yang berada di tengah pasar. Habis subuhan, sering saya disuruh ibu untuk membeli tempe di pagi buta. Saya sendiri masih ngantuk sehingga sering tersaruk kubangan membuat kaki ini berlumpur di sela jemari kaki. Mungkin saya termasuk pembeli pertama kala itu, soalnya Sang Penjual tempe sering kedapatan melecut – lecutkan uang dari saya ke dagangannya sambil berujar,"…laris….laris…". Tidak jauh dari situ ada penjual kue lupis, namun dia berdagang lebih siang di banding tukang jual tempe . Sementara penjual daging dengan timbangan kuningan yang entah bagaimana peneraannya, asyik membanting – banting hewan potong lantas menghajarnya dengan pisau besarnya, yang menghunjam ke tatakan kayu tebal menghasilkan suara yang khas. Area tengah pasar merupakan pusat perdagangan sayur – mayur. Ada bedak – bedak yang terbagi – bagi berdasar blok, namun tak sedikit yang berdagang di jalanan antar blok bedak. Aturan blok mungkin sudah tidak ditepati lagi. Rasanya tidak dikelompokkan. Asal bedak aja. Contoh menyolok yang anomali salah satunya adalah seorang keturunan Arab, kami memanggilnya 'Pak Bakar', yang berdagang buku pelajaran diantara penjual sayuran. Letaknya memang di pinggir, tetapi tetap saja berbaur. Hanya dia sedikit 'lebih elit' karena bersebelahan dengan warung kopi sehingga lahan depannya tidak becek. Selain berjualan buku pelajaran sekolah, juga berjualan kitab turutan (juz-amma), yasiin, buku tulis, dan kaos oblong.
Blok – blok pasar Bunul dikelilingi oleh semacam deretan toko. Di deretan toko yang hampir belakang, ada saudagar kulakan yang cukup sukses, namanya Pak Hadi. Kami sering memanggilnya "Lek Di". Tokonya terkenal dengan julukan pemiliknya; toko 'Pak Hadi'. Anaknya adalah teman sekolah adik bungsu saya. Anaknya bernama Hadi juga. Memang beberapa pedagang pasar itu menyekolahkan anaknya di mana saya juga bersekolah. Seperti juga hal-nya seorang Bapak yang berjualan pinsil, benang, dan layangan yang seingat saya membuka toko bernama "Restu". Anak pemilik toko Restu itu bernama Pur, kawan sekelas adik perempuan saya. Kami sering menyebutnya toko-nya "Pur".
Dalam paradigma kekinian, tenda penjual es campur berada di luar kompleks pasar, di dekat pangkalan becak. Namun, kala jaman dulu, siapa peduli dengan teritorial pasar ? Dia berjualan di depan sebuah kios. Saya memanggilnya kios "Anyong". Yang punya kios orang Tionghoa bernama panggilan Anyong. Saya beberapakali diajak Ibu berbelanja jajanan kering di Anyong. Dan bila sore hari menyengat panasnya, Bapak sering menyuruh kami berangkat membawa rantang untuk membeli es campur di depannya.
Seingat saya ketika kelas enam SD, --sekitar tahun 1980-- rupanya diadakan 'peremajaan' pasar. Kami mendengar beberapa dinamit yang diledakkan untuk membongkar pondasi tiang pasar. Konon, pasar ini semula bikinan belanda, dengan kualitas bangunan kolonial yang lumayan kokoh sehingga dibutuhkan beberapa dinamit untuk merobohkannya. Dipugar, itu istilah orang – orang sembari menjelaskan lokasi baru para pedagang pasar Bunul. Paska pemugaran, pasar Bunul menjadi keren –berwarna krem--, tidak becek lagi. Cuma atapnya relatif lebih rendah. Memang beda, ketinggian badan standar kolonial dengan standar bangsa kita yang lebih pendek
Tidak berbeda jauh. Kenyamanan pasar baru itu tidak bertahan lama. Pasar itu kembali ke keadaan semula, walaupun tidak sejorok dulu, namun tetap saja berubah menjadi gelap, entah kenapa. Mungkin karena atapnya sudah banyak ditimpa atap - atap tambahan yang kebanyakan berupa terpal plastik. Atau lampu - lampu yang mulai ada yang putus bohlamnya. Perkembangan jaman membawa pengaruh juga. Sekitar tahun 90-an, melintas-lah angkutan kota di jalan raya yang memisahkan kampung kami. Suasana menjadi bertambah ramai, pasar menjadi hidup hingga larut malam pasih ada pengunjung, walau cuma berbelanja di deretan toko depan. Banyak orang yang bisa meng-akses pasar Bunul menjadikannya lebih metropolis. Bahkan tahun dua ribuan entah sudah berapa jalur angkutan kota melintasnya sehingga perlu dibuat terminal di samping pasar itu. Wah. Sungguh hiruk pikuk. Jaman kuliah, tahun sembilan puluhan, saya dan teman – teman kampung beberapa kali nongkrong di bedak tukang wedang jahe. Kadang hingga larut malam. Nongrong bareng dengan para tukang becak. Namun semenjak banyak angkutan kota, maka tak ayal lagi disitu ada terminal, maka yang dominan disitu adalah para sopir angkutan kota .
Awal tahun kemarin saya sempat pulang ke Malang . Ada apa lagikah yang berubah dengan pasar Bunul ? Banyak. Angkutan kota semakin banyak. Bahkan akses ke kuburan juga ada. Praktis lahan terminal semakin berjubel. Sementara pasar sudah tidak saya kenali dengan baik siapa yang bercokol disitu. Toko kulakan milik Lek Di konon sudah tidak sesukses dulu lagi. Mungkin kalah bersaing dengan darah segar, semacam toko Tulik yang kompetitif harganya, walaupun toko Tulik tidak berada di dalam pasar. Atau juga bisa jadi karena munculnya beberapa toko waralaba disitu. Tukang es campur sudah tidak ada. Tapi toko Anyong masih berjualan, anaknya yang meneruskan. Mungkin ada beberapa lagi.
Ada yang berubah, ada pula yang tetap. Dan saya juga tidak terlalu faham. Mengapa saya 'menjadi' tidak faham ? Tak lain karena saya juga berubah. Saya semakin jarang melintas pasar itu, yang otomatis menyingkat memori pikiran saya. Dan saya kira, Anda-pun juga berubah, walau bisa jadi Anda kurang faham ihwal pasar itu. Buat apa memahami fenomena pasar itu ? hahahaha....Bagi saya hal itu banyak gunanya. Maka dari itu, tulisan ini saya buat. Adakah pasar di dekat tempat tinggal 'masa kecil' Anda ? Bila ada, cobalah untuk menuliskannya, atau setidaknya mengingat - ingatnya. [] haris fauzi - 24 Agustus 2009
salam, haris fauzi |
Wednesday, August 19, 2009
kenisah : bunga, salaman, dan do'a
BUNGA, SALAMAN, DAN DO'A Yang saya maksud disini adalah bunga panenan. Bukan bunga deposito. Apabila anda kebetulan melewati jalan sekitar Pandanaran - Semarang, maka tampaklah di tepian jalan itu banyak berderet para penjual bunga. Mereka adalah penjual bunga musiman. Maksudnya musiman adalah bunga itu memang dijual --dan dibeli-- di musim - musim tertentu. Paling dominan pada musim ziarah ke makam tentunya. Sebetulnya --dalam Islam-- tidak ada musim khusus kapan harus berziarah ke makam. Tidak ada waktu yang ditetapkan khusus. Apabila memang sedang berpetualang, berjalan - jalan, atau melaksanakan ibadah haji, maka kebetulan saja sekaligus dilakukan ziarah ke makam - makam tertentu. Sementara menziarahi makam itu seperti halnya melaksanakan takziah kepada kerabat yang mangkat. Merupakan ibadah yang bersifat ummat, bersifat wajib ain. Penekanannya individunya lebih kepada agar setiap yang bertakziah, setiap yang berziarah ingat bahwa dia juga bakalan mati dan di tanam di tanah. Selain juga mendo'akan almarhum tentunya. Harapannya bertakziah dan berziarah adalah agar mereka sadar akan dosa - dosa dan keburukan tindak tanduk, takut dihunjamkan ke neraka paska kematian, dan lantas berkesempatan memperbaiki diri sebelum keburu mati. Bersalaman adalah bagian dari kebaikan, karena saling memaafkan merupakan bagian dari menghapuskan keburukan. Bermaafan adalah terkait dengan kesalahan. Maka, seyogyanya setiap kali melakukan kesalahan, sebaiknya sesegera mungkin bermaafan. Walau bermaafan belum tentu secara aktual adalah bersalaman. Bermaafan memang dianjurkan untuk dilakukan sesegera mungkin. Tidaklah terlalu banyak untungnya untuk menunda - nunda meminta maaf selain karena gengsi semata. Ya. Setiap agama pastilah menganjurkan agar ummat-nya menjadi orang yang pemaaf, sadar kesalahan, dan mampu menjadi orang yang berlapang dada. Bersalaman, bermaafan adalah simbol sifat gentleman. Dan ini tidaklah perlu menunggu menjelang lebaran untuk bermaafan. As Soon As Possible, gitu petuah Pak Camat. Sementara do'a adalah bentuk kepasrahan manusia kepada sang Esa, menyerahkan segala usahanya kepada takdir-Nya. Do'a adalah bentuk pengharapan, walaupun tidak selalu seperti itu. Tengoklah do'a sebelum tidur dari umat Islam yang berbunyi kurang lebih,"...dengan atas nama-Mu, Ya Allah, hamba hidup, dan atas nama-Mu hamba mati". Sama sekali tidak ada harapan bahwa seseorang yang memanjatkan itu ingin tidur nyenyak dan mimpi indah. Hanya menyerahkan kepada Tuhan ihwal hidup dan mati.Agak berbeda dengan do'a belajar misalnya, karena disitu tertera dengan jelas harapan agar diberi kemudahan untuk menambah ilmu. Do'a banyak ragamnya. Dalam masyarakat Indonesia yang kebanyakan memeluk agama Islam dengan berbagai latar belakang yang berbeda - beda, urusan berdo'a bahkan sudah membaur dengan adat menjadi kebiasaan masyarakat dengan segala ritualnya, yang mana kebanyakan ritualnya malah bersifat ke-adat-an. Berdo'a juga merupakan simbol masyarakat relijius spiritual. Masyarakat yang memiliki keyakinan dunia ghaib. Mangkanya seringkita jumpai adanya do'a minta hujan, do'a tolak bala, do'a hajatan, dan sebagainya yang seringkali telah berbaur dengan urusan religi dan adat. Sejatinya, berdo'a adalah hal yang dilakukan berkaitan dengan kasus - kasus tertentu. Ketika mau tidur, ya membaca do'a hendak tidur. Mau makan ya berdo'a hendak makan. Gampangnya ya diniatkan seperti itu. Sekarang dalam kalender Islam adalah bulan Sya'ban, sebentar lagi memasuki bulan Ramadhan. Dimana bulan Ramadhan ini merupakan saatnya umat Islam menyongsong ritual ibadah puasa. Namanya juga menjelang, mangkanya sering kita jumpai adanya beberapa aktivitas yang mungkin dimaksudkan untuk mempersiapkan diri menjelang pelaksanaan ibadah puasa. Tak jarang kita saling bermaafan menjelang puasa, atau kita menjumpai beberapa orang yang berziarah kubur sebelum Ramadhan, dan juga tak luput kita tau beberapa masyarakat yang melakukan ritual berdo'a tolak bala menyongsong puasa. Hampir semuanya dilaksanakan di bulan Sya'ban. Bulan menjelang Ramadhan. Perlukah itu semua ? Bagi saya pribadi tentunya hal - hal tersebut tidaklah terlalu perlu dilaksanakan berkaitan dengan ibadah puasa. Urusan saling memaafkan, berziarah, dan berdo'a bersama adalah ihwal yang terlepas dari niatan memasuki bulan Ramadhan. Saling memaafkan, berziarah, dan berdo'a bukan hal yang berdosa, malah dianjurkan, namun hal itu tidak terkait dengan niatan pelaksanaan ibadah puasa. Memaafkan harus dilaksanakan secepatnya tanpa harus menunggu datangnya puasa. Berziarah adalah untuk mengingat kematian kita, bukan untuk menyambut Ramadhan. Sementara memanjatkan do'a adalah bentuk kepasrahan, bukan merupakan rangkaian ibadah puasa Ramadhan. Lantas, apa yang harus dipersiapkan menyongsong Ramadhan ? Bulan Sya'ban memang merupakan bulan dimana umat Islam diharapkan untuk bersiap - siap menyongsong puasa. Sebetulnya tidak hanya bulan Sya'ban, pada bulan Rajab-pun harusnya sudah dimulai. Ada beberapa persiapan yang harus dikerjakan menjelang bulan Ramadhan. Secara garis besar ada empat aspek yang perlu dipersiapkan. Yang pertama yakni aspek ruhani, berupa kesiapan niat atau dikalangan anak muda lebih dikenal dengan 'kebulatan tekad'. Yang kedua adalah kesiapan fisik menahan lapar. Dua aspek ini biasanya dilatih di bulan Sya'ban. Maka tak heran bila ada sahabat yang pernah berkisah bahwa rasul Muhammad banyak sekali berpuasa di bulan Sya'ban melebihi bulan - bulan yang lain hingga mendekati banyaknya puasa di bulan Ramadhan. Ini dimaksudkan sebagai latihan. Dua aspek yang lain yakni aspek pengetahuan mengenai ritual puasa dan aspek finansial. Persiapan ihwal kedua aspek ini biasanya dimulai di bulan Rajab. Karena orang harus belajar banyak, dan mungkin waktu sebulan tidaklah cukup. Demikian juga dengan aspek finansial. Siapa bilang puasa tidak butuh duit ? Bukan berarti lantas kita berboros-ria menjelang lebaran. Namun, sebaiknya di bulan Ramadhan, umat Islam disarankan untuk mengurangi porsi usaha mengejar duit. Maksudnya biar lebih terkonsentrasi ke tafakur dan tadarus. Nah, untuk itu, kebutuhan sehari - hari harusnya dipenuhi dari tabungan yang di dapatkan pada usaha di bulan - bulan sebelumnya. Nah, ihwal menjelang puasa begitulah kira - kira menurut saya. Bagaimana menurut anda ? [] haris fauzi - 19 Agustus 2009 salam, haris fauzi |
Tuesday, August 04, 2009
kenisah : ketika harus prihatin, melawan, dan menolak
KETIKA HARUS PRIHATIN, MELAWAN, DAN MENOLAK Mungkin ketiga hal tersebut adalah suatu yang berbeda dan tidak saling terkait. Prihatin adalah cerminan sikap atas suatu kondisi yang terlanda prahara sehingga menuntut empati tulus seseorang untuk pro-aktif. Dalam kondisi yang kurang menyenangkan, maka secara logika dan alamiah, fitrah seseorang dituntut untuk memberikan perhatian yang lebih kongkrit terhadap permasalahan yang terjadi. Memberikan bakti karya, sumbang saran urun tindakan, dan hal - hal produktif lainnya yang bertujuan untuk memulihkan keadaan, menjadikan semua normal dan baik kembali seperti sediak ala. Itu adalah fitrah. Karena sejatinya manusia itu adalah makhluk sosial yang waras yang memiliki kompetensi untuk menolong sesamanya. Membaca kiriman seorang rekan ihwal kegilaan dan kewarasan, membuat saya berpikir sejenak perihal fitrah. Ada kegilaan yang memang tidak dikehendaki oleh seseorang, namun tak jarang beberapa orang waras sengaja bertindak gila. Menurut saya, yang kedua inilah yang menyimpang dari fitrah. Penjelasan lebih mudah bisa kita setarakan dengan ihwal bunuh diri. Ada orang yang memang ditakdirkan ajalnya tiba dan meninggal. Namun ada juga yang berusaha membunuh dirinya secara melanggar takdir. Jadi ada yang mati dengan sesuai takdirnya, ada pula yang sengaja mencekik lehernya. Ada pula yang memang gila karena sakit, dan hampir sama dengan itu ada pula manusia yang dengan sengaja bertindak gila. yang gantung cekik dan bertindak gila inilah yang menyalahi fitrah. Ada yang sengaja menghilangkan nyawa dengan bunuh diri, ada yang sengaja mematikan nurani dengan bertindak gila. Keduanya menyimpang dari fitrah. Saya bukan hendak berpanjang lebar mengenai fitrah. Bukan pula hendak membahas antara waras dan edan. Namun, sejatinya, empati keprihatinan ini adalah barometer yang fitrahnya sudah tertanam di sanubari setiap orang. Adalah hikmah alam yang senantiasa menggosok barometer tersebut untuk lebih peka dan lebih peka lagi, menjadi lebih sensitif. Namun, kekejian demi kekejian yang kerap dilakukan akan membuat barometer ini semakin tidak berfungsi dan akhirnya berhenti bekerja. Dalam konteks ini, seseorang yang kehilangan fungsi barometer empati menjadi hilang sensitifitas keprihatinannya. Secara pribadi, saya adalah sesosok daging yang berkerangka tulang, dimana saya seringkali melumuri barometer diri saya tersebut dengan kedangkalan tindakan --berikut keburukan - keburukan yang menyertainya-- yang malah membuat menjauhi fitrah. Mengusamkan fitrah. Mudah - mudahan saya terhindar dari perbuatan laknat itu. Tetapi, mudah - mudahan pula saya masih memiliki barometer yang berfungsi, walau entah akurasinya berapa persen. Kehilangan nurani, mungkin kehilangan seluruh identitas kemanusiaannya. Barometer itu diasah oleh hikmah. Hikmah itu seringkali muncul ketika terjadi hal - hal yang tidak menyenangkan, ketika bencana tiba. Itu saat yang paling gampang untuk mengetahui fungsi barometer keprihatinan. Apapun bentuk bencana itu. Mungkin bencana alam, tidak naik kelas, terjungkal dari sepeda, dipecat dari pekerjaan, atau wira-usaha yang berantakan. Suatu ketika saya memperhatikan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan sebuah prahara terjadi. Sebuah prahara terjadi bisa disebabkan oleh banyak hal, banyak orang, dan banyak faktor. Yang jelas prahara ini kedapatan menyengsarakan orang banyak. Menuntut perhatian kita, menuntut fitrah empati kita. Apa yang terjadi ? Ketika prahara itu terjadi, ketika orang lain menjadi korban, ketika sebagian orang lain berempati dan prihatin,....maka, sungguh memuakkan bila memandang seseorang --atau sekelompok orang-- yang menyebabkan itu semua malah dengan sengaja mengabaikan hal tersebut. Yang lebih kebangetan lagi yakni ketika mereka malah menghisap laksana vampir. Ini semua dilakukan dengan sengaja, dan bila kita merujuk kepada standarisasi kewarasan, maka hal itu adalah tindakan gila. Bertindak gila dengan sengaja mencampakkan fitrah yang telah dititipkan oleh Sang Kuasa. Cobalah bertanya kepada hati yang terdalam, patutkah kelakuan - kelakuan laksana vampir itu semua dilakukan. Dan, bila masih belum jua menemukan jawabannya dan masih saja bertindak gila, maka, apalagi yang bisa diharapkan dari manusia model seperti ini ? Mereka adalah manusia yang sudah tidak memiliki rasa prihatin sama sekali. Menolak. Ini adalah kata yang gampang diucapkan, tetapi sulit dilakukan. Menolak kebejatan, semua orang bilang dengan gampang. Tetapi, ketika kebejatan itu terjadi, maka hampir semuanya bungkam, membiarkan semua kebejatan itu berjalan lenggang kangkung seenak udelnya sendiri. Kita semua --dan saya juga-- mungkin terlalu penakut untuk melawan kebejatan. Karena dibalik perlawanan tentulah ada resiko. Resiko inilah yang ditakutkan. Padahal, jargon revolusioner untuk seluruh kebejatan itu hanya ada satu kata : "lawan". "Menolak" itu mungkin ada dua hal. Menolak kebejatan yang 'mengerikan' seperti saya tulis sebagai kasus pertama di atas yang sebetulnya lebih relevan untuk disebut dengan istilah 'melawan', dan...kasus kedua adalah menolak 'kenikmatan' yang disodorkan yangmana tidak pada tempatnya. Mungkin, menerima pembagian korupsi, uang suap, dan pelicin adalah contoh yang gampang untuk kasus kedua. Dalam keadaan normal tanpa prahara, perkara suap, korupsi, dan pelicin adalah hal - hal yang layak dan patut diperkarakan. Apalagi ketika keadaan genting di tengah badai prahara. Seakan mengail di air keruh. Adalah orang gila semata ketika saudaranya sengsara, maka ia memakan bangkainya. Kitab suci mengutuk keras perbuatan orang yang kehilangan kewarasan ini. Saya pernah mengalami hal kecil yang menurut saya itu cukup besar impaknya. Saat itu saya menjadi auditor, dan pihak auditee hendak menyampaikan 'amplop' kepada tim saya. Dalam keadaan itu semua anggota tim diam seribu bahasa, sampai akhirnya saya memberanikan diri menolak amplop itu. Paska audit, saya bertanya kenapa rekan saya tidak ada yang bersahut ketika amplop itu disodorkan. Mereka hanya berujar,'....gak bisa ngomong, bungkam gak tau kenapa...". Sedemikian berat memang, membuat bibir ini kelu. Taruhlah, menolak pelicin, suap dan kongkalikong korupsi mungkin adalah suatu yang berat karena uang itu memang nikmat adanya. Tetapi tentunya kita semua sepakat bahwa itu semua adalah tindakan yang salah dan melanggar hukum, dan sudah sepatutnyalah buat ditolak. Repotnya ada beberapa kenikmatan --yang pada kondisi normal adalah hak kita,-- namun dalam kasus khusus ternyata nurani kita bisa jadi tidak membenarkannya. Untuk kasus ini, mungkin gampang - gampang susah untuk mencari permisalannya. Ummhmm....--setelah selintas berpikir-- saya mencoba usul, gimana kalo contohnya adalah masalah kenaikan upah atau gaji ?...terbayangkah betapa beratnya menolak kenaikan gaji ? Mungkin saya akan sedikit berkisah tentang seorang tokoh masyarakat yang bernama Amien Rais. Ketika itu dia menjabat sebagai seorang pimpinan lembaga. Dalam keadaan keuangan negara yang tersaruk - saruk, konon saat itu juga ada usulan dari pihak lain. Mengusulkan agar gaji Pak Amien dinaikkan. Apa yang terjadi ? Bukannya negara yang menolak kenaikan gaji Pak Amien, melainkan pak Amien sendiri yang menolak gajinya dinaikkan. "Ditengah kondisi negara seperti ini, alangkah tidak punya nurani bila saya menerima kenaikan gaji saya...", ringkasnya begitu penolakannya. Dalam keadaan normal, kenaikan gaji adalah hal yang wajar, namun, ketika keadaan penuh bencana, maka nurani seorang Amien Rais akan menolak kenikmatan berlebihan itu selagi saudara - saudara yang lain sengsara. Mungkin bisa disejajarkan, bahwa hal ini sama saja menjadi vampir ganas bagi saudara - saudaranya yang tertimpa bencana. Dalam keadaan penuh prahara dan bencana, maka nurani yang akan bicara. Fitrah nurani yang penuh rasa kemanusiaan akan membagi empatinya. Bahkan, menuntun kita untuk berbuat lebih baik dari sekedar turun tangan. Suara nurani juga mampu untuk menyuarakan perlawanan. Nurani yang prihatin menjadi pemandu agar kita mampu untuk menolak kenikmatan - kenikmatan yang tidak pada tempatnya. Beberapa orang pilihan memiliki kuasa untuk prihatin, melawan, dan melakukan penolakan. Namun, kebanyakan dari kita tidak. [] haris fauzi - 4 agustus 2009 salam, haris fauzi |