KETIKA HARUS PRIHATIN, MELAWAN, DAN MENOLAK Mungkin ketiga hal tersebut adalah suatu yang berbeda dan tidak saling terkait. Prihatin adalah cerminan sikap atas suatu kondisi yang terlanda prahara sehingga menuntut empati tulus seseorang untuk pro-aktif. Dalam kondisi yang kurang menyenangkan, maka secara logika dan alamiah, fitrah seseorang dituntut untuk memberikan perhatian yang lebih kongkrit terhadap permasalahan yang terjadi. Memberikan bakti karya, sumbang saran urun tindakan, dan hal - hal produktif lainnya yang bertujuan untuk memulihkan keadaan, menjadikan semua normal dan baik kembali seperti sediak ala. Itu adalah fitrah. Karena sejatinya manusia itu adalah makhluk sosial yang waras yang memiliki kompetensi untuk menolong sesamanya. Membaca kiriman seorang rekan ihwal kegilaan dan kewarasan, membuat saya berpikir sejenak perihal fitrah. Ada kegilaan yang memang tidak dikehendaki oleh seseorang, namun tak jarang beberapa orang waras sengaja bertindak gila. Menurut saya, yang kedua inilah yang menyimpang dari fitrah. Penjelasan lebih mudah bisa kita setarakan dengan ihwal bunuh diri. Ada orang yang memang ditakdirkan ajalnya tiba dan meninggal. Namun ada juga yang berusaha membunuh dirinya secara melanggar takdir. Jadi ada yang mati dengan sesuai takdirnya, ada pula yang sengaja mencekik lehernya. Ada pula yang memang gila karena sakit, dan hampir sama dengan itu ada pula manusia yang dengan sengaja bertindak gila. yang gantung cekik dan bertindak gila inilah yang menyalahi fitrah. Ada yang sengaja menghilangkan nyawa dengan bunuh diri, ada yang sengaja mematikan nurani dengan bertindak gila. Keduanya menyimpang dari fitrah. Saya bukan hendak berpanjang lebar mengenai fitrah. Bukan pula hendak membahas antara waras dan edan. Namun, sejatinya, empati keprihatinan ini adalah barometer yang fitrahnya sudah tertanam di sanubari setiap orang. Adalah hikmah alam yang senantiasa menggosok barometer tersebut untuk lebih peka dan lebih peka lagi, menjadi lebih sensitif. Namun, kekejian demi kekejian yang kerap dilakukan akan membuat barometer ini semakin tidak berfungsi dan akhirnya berhenti bekerja. Dalam konteks ini, seseorang yang kehilangan fungsi barometer empati menjadi hilang sensitifitas keprihatinannya. Secara pribadi, saya adalah sesosok daging yang berkerangka tulang, dimana saya seringkali melumuri barometer diri saya tersebut dengan kedangkalan tindakan --berikut keburukan - keburukan yang menyertainya-- yang malah membuat menjauhi fitrah. Mengusamkan fitrah. Mudah - mudahan saya terhindar dari perbuatan laknat itu. Tetapi, mudah - mudahan pula saya masih memiliki barometer yang berfungsi, walau entah akurasinya berapa persen. Kehilangan nurani, mungkin kehilangan seluruh identitas kemanusiaannya. Barometer itu diasah oleh hikmah. Hikmah itu seringkali muncul ketika terjadi hal - hal yang tidak menyenangkan, ketika bencana tiba. Itu saat yang paling gampang untuk mengetahui fungsi barometer keprihatinan. Apapun bentuk bencana itu. Mungkin bencana alam, tidak naik kelas, terjungkal dari sepeda, dipecat dari pekerjaan, atau wira-usaha yang berantakan. Suatu ketika saya memperhatikan bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan sebuah prahara terjadi. Sebuah prahara terjadi bisa disebabkan oleh banyak hal, banyak orang, dan banyak faktor. Yang jelas prahara ini kedapatan menyengsarakan orang banyak. Menuntut perhatian kita, menuntut fitrah empati kita. Apa yang terjadi ? Ketika prahara itu terjadi, ketika orang lain menjadi korban, ketika sebagian orang lain berempati dan prihatin,....maka, sungguh memuakkan bila memandang seseorang --atau sekelompok orang-- yang menyebabkan itu semua malah dengan sengaja mengabaikan hal tersebut. Yang lebih kebangetan lagi yakni ketika mereka malah menghisap laksana vampir. Ini semua dilakukan dengan sengaja, dan bila kita merujuk kepada standarisasi kewarasan, maka hal itu adalah tindakan gila. Bertindak gila dengan sengaja mencampakkan fitrah yang telah dititipkan oleh Sang Kuasa. Cobalah bertanya kepada hati yang terdalam, patutkah kelakuan - kelakuan laksana vampir itu semua dilakukan. Dan, bila masih belum jua menemukan jawabannya dan masih saja bertindak gila, maka, apalagi yang bisa diharapkan dari manusia model seperti ini ? Mereka adalah manusia yang sudah tidak memiliki rasa prihatin sama sekali. Menolak. Ini adalah kata yang gampang diucapkan, tetapi sulit dilakukan. Menolak kebejatan, semua orang bilang dengan gampang. Tetapi, ketika kebejatan itu terjadi, maka hampir semuanya bungkam, membiarkan semua kebejatan itu berjalan lenggang kangkung seenak udelnya sendiri. Kita semua --dan saya juga-- mungkin terlalu penakut untuk melawan kebejatan. Karena dibalik perlawanan tentulah ada resiko. Resiko inilah yang ditakutkan. Padahal, jargon revolusioner untuk seluruh kebejatan itu hanya ada satu kata : "lawan". "Menolak" itu mungkin ada dua hal. Menolak kebejatan yang 'mengerikan' seperti saya tulis sebagai kasus pertama di atas yang sebetulnya lebih relevan untuk disebut dengan istilah 'melawan', dan...kasus kedua adalah menolak 'kenikmatan' yang disodorkan yangmana tidak pada tempatnya. Mungkin, menerima pembagian korupsi, uang suap, dan pelicin adalah contoh yang gampang untuk kasus kedua. Dalam keadaan normal tanpa prahara, perkara suap, korupsi, dan pelicin adalah hal - hal yang layak dan patut diperkarakan. Apalagi ketika keadaan genting di tengah badai prahara. Seakan mengail di air keruh. Adalah orang gila semata ketika saudaranya sengsara, maka ia memakan bangkainya. Kitab suci mengutuk keras perbuatan orang yang kehilangan kewarasan ini. Saya pernah mengalami hal kecil yang menurut saya itu cukup besar impaknya. Saat itu saya menjadi auditor, dan pihak auditee hendak menyampaikan 'amplop' kepada tim saya. Dalam keadaan itu semua anggota tim diam seribu bahasa, sampai akhirnya saya memberanikan diri menolak amplop itu. Paska audit, saya bertanya kenapa rekan saya tidak ada yang bersahut ketika amplop itu disodorkan. Mereka hanya berujar,'....gak bisa ngomong, bungkam gak tau kenapa...". Sedemikian berat memang, membuat bibir ini kelu. Taruhlah, menolak pelicin, suap dan kongkalikong korupsi mungkin adalah suatu yang berat karena uang itu memang nikmat adanya. Tetapi tentunya kita semua sepakat bahwa itu semua adalah tindakan yang salah dan melanggar hukum, dan sudah sepatutnyalah buat ditolak. Repotnya ada beberapa kenikmatan --yang pada kondisi normal adalah hak kita,-- namun dalam kasus khusus ternyata nurani kita bisa jadi tidak membenarkannya. Untuk kasus ini, mungkin gampang - gampang susah untuk mencari permisalannya. Ummhmm....--setelah selintas berpikir-- saya mencoba usul, gimana kalo contohnya adalah masalah kenaikan upah atau gaji ?...terbayangkah betapa beratnya menolak kenaikan gaji ? Mungkin saya akan sedikit berkisah tentang seorang tokoh masyarakat yang bernama Amien Rais. Ketika itu dia menjabat sebagai seorang pimpinan lembaga. Dalam keadaan keuangan negara yang tersaruk - saruk, konon saat itu juga ada usulan dari pihak lain. Mengusulkan agar gaji Pak Amien dinaikkan. Apa yang terjadi ? Bukannya negara yang menolak kenaikan gaji Pak Amien, melainkan pak Amien sendiri yang menolak gajinya dinaikkan. "Ditengah kondisi negara seperti ini, alangkah tidak punya nurani bila saya menerima kenaikan gaji saya...", ringkasnya begitu penolakannya. Dalam keadaan normal, kenaikan gaji adalah hal yang wajar, namun, ketika keadaan penuh bencana, maka nurani seorang Amien Rais akan menolak kenikmatan berlebihan itu selagi saudara - saudara yang lain sengsara. Mungkin bisa disejajarkan, bahwa hal ini sama saja menjadi vampir ganas bagi saudara - saudaranya yang tertimpa bencana. Dalam keadaan penuh prahara dan bencana, maka nurani yang akan bicara. Fitrah nurani yang penuh rasa kemanusiaan akan membagi empatinya. Bahkan, menuntun kita untuk berbuat lebih baik dari sekedar turun tangan. Suara nurani juga mampu untuk menyuarakan perlawanan. Nurani yang prihatin menjadi pemandu agar kita mampu untuk menolak kenikmatan - kenikmatan yang tidak pada tempatnya. Beberapa orang pilihan memiliki kuasa untuk prihatin, melawan, dan melakukan penolakan. Namun, kebanyakan dari kita tidak. [] haris fauzi - 4 agustus 2009 salam, haris fauzi |
Tuesday, August 04, 2009
kenisah : ketika harus prihatin, melawan, dan menolak
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment