Friday, September 11, 2009

kenisah : membaca dunia

MEMBACA DUNIA
 
"Kita membaca dunia secara keliru dan mengatakan bahwa dunia menipu kita"
(Rabindranath Tagore-"Burung-Burung Nyasar-75")
 
Menurut beberapa pakar motivasi, cara memandang atau membaca dunia ini terdapat dalam sebuah perspektif bernama paradigma. Ringkas ceritera, paradigma yang salah, membuat pondasi pikir kita bermasalah. Sehingga seringkali menganggap sesuatu yang seharusnya benar, malahan salah kaprah. Kata orang, dijaman edan kalo ga edan gak akan kebagian. Jadinya yang pada edan malahan kelihatan normal.
 
Saya ingat ketika di tahun delapan-puluhan saya gemar mengunjungi toko kaset. Kala itu kaset musisi luar negeri --istilahnya adalah 'kaset barat', walau sebenarnya kadangkala berasal dari negeri timur seperti Jepang misalnya, tetap saja dijuluk 'lagu barat'--- bertaburan direkam di negeri kita. Sak-ombyok pokoknya. Memang kala itu belum jamannya royalti. Tentunya hal ini terjadi sebelum musisi kenamaan Si rambut Kusut Bob Geldof ngamuk - ngamuk meng-kusut-kan beberapa kaset 'LiveAid" bajakan yang beredar dengan riang gembira di negeri kita.
 
Ya. Jaman itu kaset seharga kira - kira dua ribu lima ratus rupiah. Karena belum kena ongkos royalti, disebutlah sebagai barang bajakan. Dan syahdan siapapun boleh membajak dan mendistribusikan ke toko kaset dengan sakkarepe dhewe. Tercatat beberapa label rekaman yang cukup kondang adalah Aquarius, Team, Atlantic, atau Billboard.
Saya sendiri menyukai rekaman Aquarius karena pas dengan selera kuping saya, sementara kakak saya menyukai rilisan team karena bunyi treble yang bening.
 
Istimewanya jaman kaset bajakan adalah bila ada satu musisi menelurkan album, maka keempat 'pengganda' itu juga membuat rekamannya, jadi sebagai konsumen kita bebas memilih enaknya membeli yang rilisan label mana.
Tentunya hal tersebut tidak terjadi untuk album karya musisi lokal yang jelas - jelas dilindungi hak cipta. Jaman itu memang masih kayak gitu, rekaman musisi lokal dilindungi hak ciptanya, musisi luar negeri belum. Walau kaset musisi lokal menerapkan banderol yang sama, sekitar dua ribu lima ratus rupiah, mereka mendistribusikan rekamannya berdasar hak cipta, jadi tidak semua label rekaman bisa menggandakan. Dan praktis, cuma satu label yang lazim merilisnya. Seperti album 'Semut Hitam'-nya GodBless, hanya dicetak oleh Billboard, tidak oleh Aquarius.
 
Berhubung paradigma saya adalah kaset barat yang kala itu masih dibajak oleh banyak perusahaan rekaman dan tersedia banyak pilihan label, maka pas hendak membeli kaset musisi lokal jadi bias. Menurut saya, yang lazim ya kayak kaset barat gitu, tersedia dalam berbagai pilihan rekaman. Tak ayal, kesalahan pola pikir saya ini berakibat perbincangan konyol. Kala itu, saya dan adik ingin membeli album baru GodBless. Musisi lokal tentunya. "Mbak, GodBless yang keluaran Aquarius ada ga ?", gitu tanya saya. Tentu saja jawaban penjaga adalah "Tidak".
 
Itulah. Kesalahan yang jamak oleh Jayasuprana diistilahkan sebagai 'kelirumologi'. Dan ini tidak hanya mendera saya pribadi. Tentunya banyak yang mengalami, dan mungkin juga Anda. Dan dalam kasus yang berbeda tentunya.
Setidaknya urusan 'keliru-keliru-an' seperti ini ada dua hal. 'Keliru' yang disengaja, ataukah 'keliru' karena memang keliru.
 
Jangan dikira sedikit kekeliruan yang di sengaja. Mungkin malah lebih banyak. Dan bisa jadi hasilnya akan konyol. Mungkin salah satunya terjadi di Amerika. Konon para ilmuwan di benua tersebut sangat mengkhawatirkan isu 'global warming'. Secara singkat, global warming adalah kejadian yang mengakibatkan dan berakibat timbal balik karena rusaknya ozon. Ada sebab lain yang bisa berkontribusi terhadap global warming ini, namun untuk tulisan kali ini cuekin saja. Konon, penyebab utama kerusakan ozon adalah gas karbondioksida yang berlebihan. Tentunya gas ini diakibatkan oleh banyak sumber, dan yang paling dominan sebagai terdakwa adalah knalpot kendaraan bermotor dan cerobong pabrik.
 
Yang saya identifikasi sebagai kekeliruan para ilmuwan itu mungkin adalah kejadian di pertengahan tahun ini. Para ilmuwan Amerika merilis hasil temuan terkini bahwa ada gas lain yang menyebabkan ozon bertambah buruk, yakni gas metana. Dan, gas metana yang paling merusak ozon adalah gas metana hasil sendawa sapi. Ya, sapi hewan berkaki empat. Fantastik. Saya semula menganggap sapi bisa saja menjadi terdakwa bila dia menjadi komisaris puluhan pabrik penghambur polutan.
 
Namun ternyata bukan seperti itu. Bukan hanya sapi jutawan pemilik pabrik yang dituduh menjadi biang kerok, bahkan sapi kere yang setelah dewasa bakal dipotong-pun termasuk terdakwa utama kasus perusakan ozon. Karena semua sapi --baik kaya ataupun miskin-- bersendawa dan mengeluarkan gas metana.
Inilah yang membuat saya untuk sementara ini menganggap para ilmuwan ini keliru. Karena seingat saya, sapi - sapi itu sudah hidup semenjak dulu, sementara kasus 'global warming' baru marak sepuluh tahun terakhir. Alangkah kasihannya para sapi, karena semasa hidup mereka menjadi tertuduh, dan setelah itu disembelih.
 
"Badut, anak - anak, dan musisi berbicara sebenarnya", begitu kata Bono, vokalis band U2 yang sering mengkritik para pejabat, politisi, dan kaum ningrat lainnya. Menurutnya, mereka sering melakukan kekeliruan yang sering disengaja, mungkin seperti kasus 'pengkambing-hitam-an' para sapi tersebut. Tentunya pendapat Bono ini tidak terkait dengan dakwaan yang dijatuhkan para ilmuwan terhadap para sapi. Pendapat Bono itu disampaikan jauh hari sebelum kejadian mengenaskan yang menimpa para sapi - sapi. Kala itu Bono mungkin kesal dengan segala kekeliruan yang banyak bertebaran.
 
Singkat cerita. hendaknya kita jangan lupa, bahwa manusia memang tempatnya khilaf. Biangnya salah. Namun, tentunya tidak harus berlarut - larut dan berakibat konyol. Hal itu tak boleh terjadi, karena manusia sejatinya adalah wakil Tuhan di muka bumi ini. Manusia adalah khalifah yang bertahta untuk mengemban misi Tuhan mengelola bumi. Bayangkan, apa jadinya kalo sang khalifah salah melulu dalam memandang / membaca dunia sehingga pola pikirnya salah. Tentunya ini bisa mengakibatkan kesalahan dalam bertindak, entah salah yang tidak disengaja; apalagi kesalahan 'njarag' (disengaja). Dan, bukankah sebuah lelucon apabila dalam suatu bencana malah menyalahkan pihak lain yang mungkin hanya bisa 'nrimo' sambil 'melenguh' ? Mooooooo................[] haris fauzi - 11 September 2009


salam,

haris fauzi

No comments: