PUASA MERANA ALA INDONESIA *)
Puasa merupakan salah satu ibadah dalam agama Islam yang beranjak dari kosakata Bahasa Arab 'shaum' atau "menahan". Sebagai ibadah yang amat populer, puasa memiliki tingkatan berdasar kondisi pelaksanaannya. Beberapa teori ahli fiqih sempat muncul, tapi tampaknya menjadi kurang membumi karena perkembangan zaman. Benarkan puasa orang Indonesia lebih tinggi dari semua teori puasa Imam Ghazali?
Sebagaimana sering dikhotbahkan di masjid dan surau, melalui buku 'Ihya Ulumuddin', ulama tersohor Imam Ghazali mengklasifikasi tingkatan puasa menjagi tiga; yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus yang lebih khusus lagi.
Puasa umum adalah tingkatan yang paling rendah yaitu menahan dari makan, minum dan bersebadan. Puasa khusus, di samping menahan yang tiga hal tadi, juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela. Sedangkan puasa khusus yang lebih khusus adalah puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya memikirkan apa-apa yang selain Allah.
Puasa tangga paling puncak adalah puasanya para nabi-nabi, shiddiqin, dan muqarrabin. Sedangkan puasa medium level adalah puasanya orang-orang salih - yang mana puasa tingkat ini yang seharusnya kita tuju untuk mencapainya. Sementara puasa “kelas permukaan” adalah puasa amatiran. Untuk mencapai level di atasnya, seseorang harus meningkatkan kesempurnaan dan kualitas puasanya
Selanjutnya Imam Al Ghazali menjelaskan beberapa hal untuk mencapai kesempurnaan puasa yang belum berkualitas. Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan serta dari tiap-tiap yang membimbangkan dan melalaikan dari mengingat Allah.
Kedua menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca Alquran. Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik, karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram pula mendengarnya.
Keempat, mencegah anggota-anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Dan kelima, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka sampai perutnya penuh makanan.
Puasa sangat Khusus ala Indonesia
Kalau dikaji secara lebih mendalam, aneka tingkatan yang diteorikan oleh Imam Ghazali dibatasi pada hal-hal yang bersifat umum dan hanya teraplikasikan pada kondisi masyarakat yang sangat normal. Ia belum memperhitungan hukum pasar dan fakta - fakta kekinian yang terjadi dalam sebuah masyarakat dimana bisa jadi suatu ritual saat puasa akan menjadi demikian spesifik, atau bahkan kondisi masyarakat dapat menyebabkan puasa semakin tinggi tingkatannya. Karenanya pula, puasa di Indonesia, dalam batas-batas tertentu, bisa lebih tinggi dari semua level yang tertera dalam buku 'Ihya Ulumuddin' tadi.
Mengapa kondisi pasar dan masyarakat bisa mempengaruhi tingkatan puasa? Tak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan buku legendaris 'Ihya Ulumuddin". Mungkin korelasi inilah yang belum sempat terpikirkan oleh Imam Ghazali. Dalam kelakar seorang teman, bila Imam Ghazali sekarang masih hidup dan berkesempatan menjelajah Indonesia --baik secara nyata ataupun melalui dunia maya--, sang Imam pastilah merumuskan tingkatan puasa yang sangat khusus bagi umat islam di Indonesia, atau mungkin puasa yang lebih khusus lagi, semacam puasa wabil khusus ala Indonesia.
Sebagai ilustrasi, kita sedikit banyak harus melakukan arus balik kepada krisis ekonomi yang tengah melanda dunia semenjak ‘Black Friday’ Nopember tahun lalu. Dan, walau kini para ekonom dunia telah bersepakat mengeluarkan fatwa bahwa resesi ekonomi global sudah lewat, ternyata badai krisis ekonomi itu masih krasan di negeri muslim Indonesia dan beberapa negara lainnya. Entah diakui atau tidak, di tengah fatwa ulama yang menyatakan tanggal 1 Ramadhan sebagai awal dimulainya puasa, fenomena pasar lokal di Indonesia masih menunjukkan gejala krisis ekonomi.
Bu Gito asal Lamongan yang sudah bertahun – tahun setiap malam membuka tenda berjualan menu makan malam ala Jawa-Timur-an (nasi dengan lauk pecel lele – ayam goreng dan soto ayam) misalnya, merasa puasa ini adalah masa paceklik. Sambil asik mengulek sambel, ibu itu mengeluh bahwa menjelang puasa harga ayam potong mencapai duapuluh ribu rupiah perkilo. “Padahal dua hari yang lalu cuma tujuh-belas ribu rupiah per-kilo,” imbuhnya.
Hal ini dikuatkan lagi ketika seorang tukang jual daging ayam keliling,--yang biasa menjajakan dagangannya di komplek perumahan. Memasuki bulan puasa dia membandrol dagangannya seharga dua puluh delapan ribu per-kilo. Artinya, dalam menyambut bulan Ramadhan, masyarakat Indonesia bersiap - siap untuk 'puasa' menyantap ayam goreng, atau mengurangi kualitas hidup. Harga yang berkaraokeria dan riang gembira itu juga terjadi pada cabe keriting hingga tiket pesawat terbang.
Sialnya, awal bulan puasa pas jatuh pada minggu ketiga bulan Agustus 2009. Menyerempet masa pendaftaran murid baru yang bermain di tenggang bulan Juli. Biaya sekolah di republik yang barusan ber-ulang tahun ke-64 ini memang cukup melangit dalam sepuluh tahun terakhir. Warga banyak yang mengeluhkan tentang besarnya biaya sekolah dan kuliah meskipun pemerintah telah merespon dengan meng-gratis-kan beberapa level dan jenis sekolah.
Maka tak ayal lagi, paska masa pendaftaran sekolah, beberapa kelompok masyarakat Indonesia memasuki bulan puasa dengan kantong kempes, atau bahkan ada yang berbekal hutang yang menumpuk. Dengan keadaan demikian untuk kelompok masyarakat tertentu, alih - alih berpikir membeli ayam, selama bulan puasa ini bila makan sahur kenyang saja sudah alhamdulillah.
Lihatlah betapa hebatnya puasa orang Indonesia, bahkan di saat - saat setelah berbuka-pun mereka masih setengah ber-'puasa'. Benar - benar puasa dalam arti fisik. Ketemu nasi di saat berbuka puasa, artinya bersahur seteguk air. Mengharap bersahur kenyang, berarti berbuka alakadarnya. Mungkin seperti ini yang di-kelakar-kan seorang sobat dengan "Puasa Merana".
Ada juga teori fiqih menjadi kurang valid dengan keadaan Indonesia. Para kaum ulama menyarankan agar orang yang berpuasa melengkapi ibadahnya dengan ritual sosial dan memakmurkan mesjid. Orang yang berpuasa diharapkan mengurangi porsi kegiatan yang berurusan dengan mengumpulkan nafkah. Harus memperajin ber-tafakur dan ber-tadarus.
Di bulan - bulan normal ketika seseorang bisa melakukan lembur banting – tulang sehari semalam saja, tidak sedikit yang 'nafas kantongnya' masih kembang - kempis. Entah bagaimana ceritanya bila porsi kegiatan mengais rejeki ini dikurangi. Ketika mencari nafkah dapat sejengkal, harga - harga melonjak sepuluh langkah. Mungkin ini salah satu tantangan terberat puasa ala Indonesia.
Di tengah-tengah itu semua, pemerintah merencanakan beberapa kenaikan yang berefek domino, diantaranya adalah kenaikan gaji Pegawai negeri Sipil dan harga gas elpiji dua-belas kilo. Tak bisa dipungkiri bahwa gaji Pegawai Negeri Sipil dan gas adalah salah satu parameter ekonomi tanah air yang diyakini cukup akurat oleh masyarakat sehingga harga barang saling lari berkejaran. Itulah sebabnya harga cabe, beras, telur, hingga sapu ijuk bisa jadi akan ikutan naik. Apalagi menjelang lebaran seperti ini.
Dalam teori sosial, ditengah situasi puasa "perut-lapar-leher-tercekik-kantong-bolong" akan sulit sekali menghindari puasa dua hal: memaki dan berbuat kriminal. Seperti lazimnya teori Brooklyn bahwa semakin sulit kondisi ekonomi, maka para penyanyi rap jalanan semakin sering mencaci, dan semakin tinggi pula tingkat kejahatan. Leher yang tercekik akan dengan mudah memuntahkan cacian, sementara perut yang lapar akan menggelapkan mata orang bertindak nekad.
Dua elemen itulah yang bisa membuat 'puasa merana' ala Indonesia turun kualitasnya. Mau lebih "merana" lagi ? Tolong saksikan bagaimana kaum hedonis dan para pejabat (walau tidak semua) melakukan acara - acara buka bersama dengan seringkali memboroskan menu makanan, berfoya - foya, malah bisa jadi berupa pesta mewah. Sangat ikonik, sangat njomplang. Kontras dengan kondisi ketercekikan rakyat kecil, namun di-"lumrah-lumrah"-kan. namanya juga orang kaya.
Di sisi lain, tantangan – tantangan dalam krisis seperti ini bila bisa diatasi maka bakal meningkatkan prestise puasa khusus ala Indonesia. Dalam kondisi pasar dan masyarakat yang spesifik seperti itu, ada baiknya para ulama melakukan ijtihad untuk menemukan teori baru tentang tingkatan puasa sangat khusus orang Indonesia pada Ramadhan tahun ini. []
*) Dimuat di harian Surabaya Post : http://surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=cd2641acda3609cf9eeb2ca8b8fd50a7&jenis=d645920e395fedad7bbbed0eca3fe2e0
-------
M. Aji Surya adalah pengamat sosial senior alumni Pondok Gontor yang bermukim di Moskow sehingga dijuluki 'Mbah Modin Ajimoscovic'. "Lihatlah dari sudut pandang yang berbeda", demikian kiatnya.
[]
Surabaya Post adalah koran regional Jawa Timur. Mendiang Bapak pernah berlangganan surat kabar ini di era tahun 80-an. "Sebagai orang Malang, sebaiknya mengerti berita - berita aktual Jawa Timur", demikian alasan beliau.
[]
Paragraf terakhir di edit Juni 2016 atas inspirasi dari Yudhidayak Ariadi. Thx
-------
No comments:
Post a Comment