JEDI Pak Guru yang cukup kesohor karena ke-galak-annya memasuki kelas. Menutup pintu dengan berwibawa sehingga membuat semuanya terdiam dan lantas meletakkan map di meja sambil mengucap salam. Murid - murid membalas salamnya dibawah sorot mata Pak Guru yang tajam. Para murid mempersiapkan buku yang diperlukan dengan berhati - hati, khawatir terjadi kegaduhan yang tidak perlu. Setelah itu Pak Guru memalingkan wajahnya menuju papan tulis. Seakan detik berhenti berdetak ketika Pak Guru menghentikan geraknya. Dengan raut muka kecewa Pak Guru berkata dengan berwibawa," Siapa yang piket hari ini ?". Seluruh kelas tertunduk. Saat itu papan tulis masih kotor penuh coret - moret, sisa pelajaran sebelumnya. Hari itu ada lima orang yang bertugas piket menjaga kebersihan kelas termasuk juga bertugas menghapus papan agar selalu siap untuk digunakan. Dengan kondisi mencekam seperti itu, petugas piket tidak kuasa hendak maju untuk menjalankan tugasnya. Nyalinya menciut dan terbang entah kemana. Mereka hanya bisa saling menyalahkan dengan saling memandang penuh curiga. Murka Pak Guru yang terkenal disiplin dan galak tanpa kompromi itu terbayang sudah. Menit awal dari dua jam pelajarannya sudah membara, tentunya dua jam sisanya akan berupa neraka. Hal ini karena kealpaan kelas semata. Sang petugas piket lalai, dan rekan - rekannya keasikan bercanda kala jeda pergantian jam pelajaran sehingga tidak mengingatkan petugas piket. Dinding tembok yang dingin, atap yang tinggi, kayu kuda atap yang menyeringai, dan pintu berwarna kusam membekukan suasana. Tidak ada yang bersuara. hanya angin menebus jendela yang lirih seakan tercekam. Beberapa detik hening sehingga bila rayap berkata - kata mungkin akan terdengar. Dan tetap hening ketika terdengar langkah ragu sepatu seorang siswa yang melaju ke depan kelas, menuju papan tulis. Langkah yang diberani - beranikan. Hampir seluruh kelas menahan nafas. Siswa tadi-pun dengan gemetaran berusaha menghapus papan tulis dengan baik, walau dalam kondisi penuh tekanan seperti itu segalanya tidaklah berjalan sempurna. Seusai papan itu terhapus, Pak Guru berkata kepada penghapus papan tadi,"...kamu, sini... jangan langsung duduk...". Siswa tadi yang hendak bersicepat menuju bangkunya lagi kontan menghentikan langkahnya. Merubah haluan menuju meja guru, dengan bergelayut berjuta ketakutan. Di muka sidang sorot tajam Pak Guru, Sang Siswa pasrah, namun, dalam hatinya berharap supaya ada malaikat yang bersedia menolongnya. Kelas sunyi senyap menunggu reaksi Pak Guru. Apapun bisa terjadi saat itu. Entah penggaris yang melayang, entah semprotan yang membabi buta, atau...entah hukuman apalagi. Pak Guru berkata setengah murka dengan beberapa metraliyurnya, "Mengapa kamu lalai tugas ?" "Mengapa harus menunggu guru datang baru papan tulis dihapus ?" "Saya tidak mau kejadian ini terulang lagi. Kamu mengerti ?" "Kamu akan menanggung resikonya bila hal ini terjadi lagi. kamu faham ?" Sang siswa tertunduk, dan setelah mengatur nadinya sekian lama baru menjawab singkat," Baik Pak". Malaikat yang diharapkan ternyata menyempatkan singgah. Dan hatinya yang terbelenggu ketakutan seakan terbebas ketika Pak Guru mempersilakan siswa tadi untuk kembali menuju bangkunya. Hari itu hari Rabu, dan Sang Siswa adalah petugas piket untuk hari Jum'at, tidak bertugas hari itu. Dan, itulah kenyataan. Bahwa seorang jedi kadangkala menjadi korban, dan sebaiknya memang harus bersiap untuk menjadi korban. Sementara bisa jadi orang lain akan dianggap menjadi pahlawan. Karena jedi memang bukan pahlawan yang musti kesohor. Karena jedi adalah jedi. [] haris fauzi - 14 oktober 2009 salam, haris fauzi |
Wednesday, October 14, 2009
kenisah : jedi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment