Tuesday, October 13, 2009

kenisah : berniat

BERNIAT

Berniat adalah 'melakukan niat', bukan hendak membahas 'mewujudkan sebuah niat'. Namun adalah 'bagaimana kita berniat'. Melakukan niat yang saya maksud bukan berarti "bagaimana melaksanakan" atau "merealisasikan suatu niatan". Tetapi adalah bagaimana sis-dur untuk menjalankan niat.
Berniat menjadi suatu hal yang penting, karena disitu termaktub apa yang akan kita lakukan, demi apa kita lakukan, dan untuk siapa kita melakukan hal tersebut. Ada baiknya bila segala sesuatu yang dilakukan dilandasi oleh niat yang baik. Niat untuk bersekolah adalah untuk menuntut ilmu, niat ke kantor adalah untuk menafkahi keluarga, dan lain sebagainya.

Tentunya niat itu bisa jadi tidak terangkai hanya dengan satu ihwal. Misalnya niat ke kantor, tentunya adalah untuk mencari nafkah. Bila dirangkaikan dengan ingin melaksanakan perintah Tuhan, maka ihwal kedua ini akan mengerucutkan niatan menjadi lebih spesifik. Dan ini bisa membatasi diri untuk menjauhi hal - hal yang tidak berguna dan mudharat. Ini sebuah contoh sahaja.

Niat sejatinya ada dalam hati, dan tak jarang niatan itu terlontarkan melalui ucapan. Sebagian ulama berpendapat bahwa niat itu diutarakan dalam hati. Sebagian ulama lainnya mengajarkan untuk mengucapkan sebuah niat. Mangkanya tak jarang dalam sholat berjamaah kadang kita mendengar makmum sebelah mengucapkan niat sehingga terdengar oleh kita. Namun ada juga yang berniat di dalam hati. Demikian juga dengan niat ke kantor, ada yang dilafadzkan dalam bentuk gumaman mulut dan ada juga yang dinyatakan dalam hati. Namun bisa jadi kebanyakan orang yang memiliki rutinitas pasti dalam kegiatan berangkat mencari nafkah –ke kantor misalnya-- malah tidak mengucapkan niat baik di hati ataupun di mulut.

Pernah juga kita jumpai niatan yang disampaikan sebagai usulan, atau sekaligus pernyataan permintaan izin atau perkenan. Memang permintaan perkenan dan niat itu suatu hal yang berbeda, namun dalam kasus tertentu kedua hal itu tidak bisa dipisahkan. Misalnya bila seseorang berniat menolong tetangganya, tentunya niat ini disampaikan kepada suami atau istrinya terlebih dahulu. Sehingga menjadi niat bersama dan tentunya sekaligus meminta izin. Dalam kasus ini, tak bias dihindari bahwa niat harus diucapkan.

Begitulah ragam niat itu, ada yang terlontar di mulut, ada yang terucap dalam hati, namun tak jarang ada juga yang lalai dalam berniat. Niat apa saja, bisa niat sholat, niat sekolah, niat mandi, niat menolong tetangga atau apapun.

Pada malam – malam bulan ramadhan, sering kita jumpai anak - anak belajar me-lafadz-kan niat puasa di surau - surau. Dengan dilagukan. Anak - anak itu memang diajarkan untuk 'berniat puasa'. Demikian penting adanya niat, sehingga diharapkan sebuah tindakan, amalan, ibadah, atau apapun sedapat mungkin dimulai dengan niat. Untuk inilah hendaknya jangan disepelekan fenomena 'berniat' ini. Karena tak jarang beberapa kegiatan amal ibadah tidak disertai niat, mungkin gara - gara terjebak 'rutinitas' semata seperti contoh dalam paragraf atas tadi.
Sebagai contoh lain; karena terbiasa berpuasa, maka suatu kali niat tidak dinyatakan sehingga akhirnya puasa itu hanya menjadi kegiatan rutin tanpa tujuan. Bila ini yang terjadi maka makna puasa itu akan berkurang karena tidak ada pernyataan demi apa berpuasa dan untuk siapa berpuasa.

Contoh lain yang gampang adalah niat untuk ber-wudlu. Sebagian besar orang ketika selesai mandi pagi atau sore akan melakukan wudlu. Demikian sering melakukan hal itu, sehingga wudlu seakan menjadi rangkaian otomatis dari kegiatan mandi. Karena otomatisasi inilah, maka tak jarang 'niat' berwudlu terlewatkan. Sehingga dalam pelaksanaannya wudlu itu tidak memiliki niat. Demikian juga dengan aktivitas mencari nafkah, berangkat ke kantor, berangkat sekolah, belanja ke pasar, atau apapun banyak yang menjadi kegiatan rutin sehingga tak jarang yang lupa mengutarakan niatnya. Begitulah, alasan mengapa sebagian ulama menganjurkan untuk melafadzkan niat.

Walhasil, memang tidak mudah untuk memulai segala sesuatu dengan prosedur berniat, karena tidak sedikit hal – hal yang bisa dilakukan dalam dua puluh empat jam sehari. Tentu sulit bila semua harus seperti itu, namun, sebaiknya mencoba untuk memaksimalkan prosedur 'berniat' untuk memulai segala aktivitas. Karena Tuhan memperhatikan itu semua, termasuk bila tidak ada niat. Cendekiawan Jalaluddin Rakhmat dalam buku "Renungan Sufistik" mengingatkan bahwa niat yang baik dan niat yang buruk tidaklah pernah luput dari perhatian Tuhan. Tentunya Tuhan juga akan memperhatikan apabila ada kegiatan yang tidak disertai niat. Untuk itu, sudah seharusnyalah kita mengutamakan kesempurnaan niat, karena Tuhan memperhatikan itu semua. Maka, sebaiknya lakukanlah segala sesuatu dengan niat semaksimal mungkin, dan tentunya berniatlah yang baik – baik saja. [] haris fauzi – 13 oktober 2009



No comments: