BENANG GHAIB Mudah - mudahan anda sempat nonton film Taiwan yang berjudul "Silk". Dalam film itu diceritakan ihwal benang sutera yang berada di alam ghaib. Benang sutera antah - berantah. Selain berceritera tentang horor dalam skenario psikologi, tentunya sang pembuat film tersebut tak cuma berjudi dengan menampilkan judul "Silk". Jadi, dalam film itu selain menggambarkan aksi - aksi dari hantu, horror yang cukup mencekam dengan tekanan - tekanan psikis yang cukup mantab, film itu juga memiliki ide unik, yakni mengisahkan perangkat benang sutera sebagai semacam perangkat di dunia ghaib yang menjadi salah satu alat utama ketika sang hantu beraksi. Lebih lengkapnya monggo nonton sendiri film tersebut. Saya tak hendak bercerita tentang bagaimana isi film hantu itu, juga tak hendak berceritera bagaimana benang sutera itu beraksi sebagai benda ghaib ketika sang hantu hendak membunuh mangsanya, juga tak ada cerita di sini tentang bagaimana hantu akan mandi, keramas, atau sekedar cuci muka. Cuma saya hendak menulis ihwal adanya mitos tentang benang ghaib. Dan, pembuat cerita dari Taiwan itu-pun memercayai bahwa ada benang ghaib. Setidaknya dalam film bikinannya. Jaman saya masih berumur sepuluh tahun, ada kisah lain tentang benang ghaib. Cerita tersebut saya dapat dari guru ngaji saya di kampung sana. Jadi ceritanya adalah tentang pelaksanaan sholat, utamanya sholat berjamaah. Namanya guru ngaji ya jelas - jelas kisahnya seputar hal beginian. Guru ngaji itu bertutur bahwa dalam ajaran Islam, memang disarankan dengan sangat kuat, bahwa sholat hendaknya ditunaikan tepat waktu dan dalam keadaan berjamaah. Ini untuk kesempurnaan ibadah itu sendiri. Semakin sempurna ibadah tersebut, maka semakin bagus implikasinya bagi hidup dan kehidupan orang yang melakoninya. Konon, orang yang semakin sempurna sholatnya, maka semakin baik pula akhlak orang tersebut. Semakin baik pula rahmat dan barokah yang dia terima. Ini belum cerita tentang benang, masih sekedar pembukaannya. Nah, ketika sholat berjamaah itulah, maka kepatuhan terhadap komando Imam --sang pemimpin-- harus kuat. Ini demi kesempurnaan itu sendiri. Bila gerakannya tidak kompak, maka berkuranglah nilai kesempurnaan sholat tersebut. Apalagi bila gerakannya mendahului gerakan Sang Imam. Konon pelanggaran semacam ini kelak di neraka akan diganjar dengan hukuman kepala kerbau. Maksudnya, kepala orang itu diganti dengan kepala kerbau. Gitu kata guru ngaji saya. Itu hukuman yang akan diterima para makmum apabila gerakan makmum (peserta) mendahului gerakan Sang Imam. Mungkin pula sering kita jumpai, terutama ketika hendak ruku' atau hendak sujud dari i'tidal, maka ada beberapa makmum yang bergerak mendahului komando Imam, walau dalam hitungan sepersekian detik para makmum ada beberapa yang sudah meluncur duluan mengayunkan kepalanya ke bawah. Ada yang mendahului Imam, ada pula yang membarengi. Ini semuanya kurang sempurna. Yang benar adalah bergerak setelah komando Imam selesai. Begitu hikayat ceritanya. Konon -lagi-, ada sedikit cerita --yang mungkin juga tahayul-- mengapa pelanggaran komando Imam ini banyak terjadi ketika hendak ruku' dan sujud, yang notabene adalah gerakan dari posisi berdiri tegak menuju gerakan yang memposisikan kepala di bawah. Menurut guru ngaji saya -lagi-, ketika orang sedang sholat --baik berjamaah atau tidak-- maka iblis memasangkan pasak berikut tali atau benang ghaibnya di jidat orang yang sedang bersholat tersebut. Tentunya tidak berasa sakit, malah mungkin merasa ngantuk karena konon iblis juga suka meniup - niup mata sehingga membuat rasa kantuk timbul. Dan ketika sholat itu dijalankan, maka iblis menariknya sesegera mungkin. Iblis memainkan tali seperti dalam pertunjukan panggung boneka. Konon iblis demen banget ketika menarik kepala orang. Iblis ini berada di lantai depan orang yang ber-sholat, sehingga ketika iblis menarik talinya maka orang itu melaksanakan sujud dan ruku dengan cepat seperti ayam mematuk jagung. Dalam sholat sendirian, maka aktivitas sholat jadi lebih cepat alias tidak khusyuk, para pelaksananya cenderung mempercepat gerakan hendak sujud dan ruku'. Dan dalam sholat berjamaah, bila iblis memainkan benang yang menempel di jidat para makmum, maka bisa jadi gerakan makmum bisa mendahului gerakan Imam. dan ini mencederai kesempurnaan pelaksanaan sholat berjamaah. Ya sekali lagi ini 'kan cuma konon. Seingat - ingatnya apa yang saya dapatkan dari guru ngaji jaman kecil dulu. Anggap saja sebagai bacaan guyonan. Bila ada yang belum pernah mendengarnya, mungkin bisa menjadi dongeng yang lucu. Atau malah bisa jadi menjadi sarana introspeksi ihwal pelaksanaan sholat kita. Sekali lagi ini kan cuma tulisan tentang obrolan "benang supranatural". Obrolan ringan sahaja tentang benang ghaib, bukan tentang hal - hal turun jabatan, atau demonstrasi, atau rekayasa politik. Tentang benang ghaib, setidaknya, selain dari guru ngaji, sineas Taiwan juga sudah pernah mem-film-kan ihwal benang ghaib ini, yaitu tadi, dalam film berjudul 'Silk'. Bagi yang belum nonton, saya sarankan untuk mencoba menyempatkan menontonnya. Yakin --menurut saya-- lebih keren ketimbang film hantu mandi atau hantu cuci muka. [] haris fauzi - 27 januari 2010 salam, haris fauzi |
Wednesday, January 27, 2010
kenisah : benang ghaib
Wednesday, January 20, 2010
kenisah : hujan januari
HUJAN JANUARI Tergopoh – gopoh dan murung diantara hujan yang bertubi – tubi. Itu Januari dalam benak saya. Cerita pada bulan lalu bagaimana bohlam lampu pijar yang meledak di tengah malam –membuat saya terkejut sekali—hingga kini masih teringat, tentunya juga masih menyisakan jelaga di tembok, terlebih di atap kamar mandi. Bohlam itu tidak sekedar meledak, melainkan juga terbakar. Juga saya masih teringat kisah tahun lalu ihwal bagaimana seorang rekan menyampaikan bahwa dalam penerbitan sebaiknya memilih satu diantara dua, yakni penulis yang bermodal atau menjadi pemodal yang menulis. "Bila tidak berada dalam opsi itu, sebaiknya lupakan...". Rekan itu menyuruh saya melupakan sesuatu yang tidak bisa saya lupakan. Semua masih teringat seiring rinai hujan sepanjang jalan, sepanjang waktu, seakan tidak hendak putus dan kerap menjadi dingin seperti kisah – kisah kolong jembatan yang membeku menusuk tulang. Seperti biasa tahun – tahun sebelumnya, keseharian di bulan Januari di isi dengan bercanda, mencari nafkah, menyimak berita, membaca buku, dan tentunya sarapan, tidur, mandi dan kegiatan lazim lainnya. Dan juga mendengarkan lagu. Seperti itu. Januari ini setidaknya saya menyelesaikan membaca buku tulisan Jalaluddin Rakhmat yang memberi pengertian ihwal pemikiran –tentunya pemikiran spiritual—yang lapang dan alternatif sudut pandang yang demikian banyak. Seperti membuka jendela pikiran kita, seakan sufisme itu tidak hanya dipandang dari satu jendela sempit. Layaknya sebuah rumah yang ditambahi dengan puluhan jendela sehingga semakin terang dan kita bisa memandang dari berbagai arah ke segala penjuru. Saya bersyukur setelah membaca buku kecil itu. Dan tak lama kemudian saya menjadi sok pendakwah dengan pengutip pemikiran – pemikiran Kang Jalal. Terutama alasan – alasan mengapa malaikat cemburu kepada manusia gara – gara lakon manusia bisa berbuat salah dan manusia bisa terjerembab hidupnya, sementara malaikat tidak. Singkat cerita, menikmati cerita – cerita pendek bikinan Anton Chekov membuat berdecak kagum. Cerpenis Rusia itu –dengan rambut tersisir rapi ke belakang dan kacamata bulatnya—mampu menulis dengan deskripsi yang detil dan sarat makna hanya dalam tiga – empat lembar tulisan sahaja. Rasa kemanusiaannya membuat Chekov mampu dengan caranya yang luar biasa gamblang menyibak dan menjelaskan ihwal penderitaan kehidupan, kegetiran, dan keprihatinan yang menyeruak di banyak tulisannya. Sebuah kompleksitas yang terlalu kontan, terlalu pendek. Namun setahu saya Maxim Gorky menyukainya. Atau setidaknya Armand Maulana pernah berkata," Bila karya seni yang pendek saja sudah cukup menyampaikan pesan, mengapa harus dibuat panjang...". Saya sendiri adalah seorang ayah tiga anak, yang mungkin menjadi peserta gerombolan atau kelompok manusia yang dalam sebulan ini cukup tergopoh – gopoh berkejaran dengan kebutuhan finansial. Hal ini mungkin membuat rambut saya lekas rontok. Bila kini Chekov menjadi tetangga karib saya, --atau menjadi rekan sebelah bangku di kantor,-- mungkin dia akan terbahak – bahak dengan perkara saya ini. Atau dia akan menyiutkan matanya. Cobalah, bagaimana Chekov menuliskan tragedi roman kehidupan yang menggelikan dengan demikian ringkas dalam cerpennya. Bahkan ketika berhadapan dengan peti mati beberapa kali. Tentunya rontoknya rambut tidaklah sepadan dengan kejadian sekoyong – konyong berhadapan dengan peti mati di kegelapan. Demikian juga kejar – kejaran kebutuhan finansial tidaklah separah tergopoh – gopohnya Petrovich yang berlarian kesurupan melintas kuburan di tengah hujan malam hari dan kemudian berjumpa lagi dengan peti mati, dan peti mati lagi. Ini bisa membuat Petrovich edan. Mangkanya, mungkin Chekov akan menertawakan saya, atau bahkan memandang iba. Januari ini juga bagi saya mencatatkan beberapa berita kusam. Bertubi berita dan kabar menohok dan berbelok di media, membuat Januari makin murung. Mungkin kabar memendam angkara. Jelas terlalu banyak kepentingan tak kasat mata yang sering timbul - tenggelam. Urusan orang kecil kebanyakan dipertaruhkan di gelanggang gladiator yang penuh kebohongan. Apabila ada petarung yang menang, maka orang kecil tetap sengsara. Dan apabila ada yang kalah, orang kecil jualah yang makin sengsara. Orang kecil adalah orang kebanyakan yang tidak lagi bisa prihatin, mereka hanya bisa murung di antara hujan Januari ini. Lantas kakinya basah terendam banjir. Lantas kepalanya juga. Dan pentas gladiator itu terus berlangsung dengan angkuh. Saling hina, saling dusta, saling tuding. Hujan Januari tahun ini tidaklah dengan segera usai, demikian juga dengan kemurungannya. Kemurungan itu tidak akan mudah selesai. Tidak sebagaimana saya dengan mudahnya menyudahi tulisan ini. Januari masihlah hujan, dan masih memendam kemurungannya. [] haris fauzi – 20 Januari 2010. salam, haris fauzi |