Wednesday, January 20, 2010

kenisah : hujan januari

HUJAN JANUARI

 

Tergopoh – gopoh dan murung diantara hujan yang bertubi – tubi. Itu Januari dalam benak saya. Cerita pada bulan lalu bagaimana bohlam lampu pijar yang meledak di tengah malam –membuat saya terkejut sekali—hingga kini masih teringat, tentunya juga masih menyisakan jelaga di tembok, terlebih di atap kamar mandi. Bohlam itu tidak sekedar meledak, melainkan juga terbakar. Juga saya masih teringat kisah tahun lalu ihwal bagaimana seorang rekan menyampaikan bahwa dalam penerbitan sebaiknya memilih satu diantara dua, yakni penulis yang bermodal atau menjadi pemodal yang menulis. "Bila tidak berada dalam opsi itu, sebaiknya lupakan...". Rekan itu menyuruh saya melupakan sesuatu yang tidak bisa saya lupakan. Semua masih teringat seiring rinai hujan sepanjang jalan, sepanjang waktu, seakan tidak hendak putus dan kerap menjadi dingin seperti kisah – kisah kolong jembatan yang membeku menusuk tulang.

 

Seperti biasa tahun – tahun sebelumnya, keseharian di bulan Januari di isi dengan bercanda, mencari nafkah, menyimak berita, membaca buku, dan tentunya sarapan, tidur, mandi dan kegiatan lazim lainnya. Dan juga mendengarkan lagu. Seperti itu. Januari ini setidaknya saya menyelesaikan membaca buku tulisan Jalaluddin Rakhmat yang memberi pengertian ihwal pemikiran –tentunya pemikiran spiritual—yang lapang dan alternatif sudut pandang yang demikian banyak. Seperti membuka jendela pikiran kita, seakan sufisme itu tidak hanya dipandang dari satu jendela sempit. Layaknya sebuah  rumah yang ditambahi dengan puluhan jendela sehingga semakin terang dan kita bisa memandang dari berbagai arah ke segala penjuru. Saya bersyukur setelah membaca buku kecil itu. Dan tak lama kemudian saya menjadi sok pendakwah dengan pengutip pemikiran – pemikiran Kang Jalal. Terutama alasan – alasan mengapa malaikat cemburu kepada manusia gara – gara lakon manusia bisa berbuat salah dan manusia bisa terjerembab hidupnya, sementara malaikat tidak.

 

Singkat cerita, menikmati cerita – cerita pendek bikinan Anton Chekov membuat berdecak kagum. Cerpenis Rusia itu –dengan rambut tersisir rapi ke belakang dan kacamata bulatnya—mampu menulis dengan deskripsi yang  detil dan sarat makna hanya dalam tiga – empat lembar tulisan sahaja. Rasa kemanusiaannya membuat Chekov mampu dengan caranya yang luar biasa gamblang menyibak dan menjelaskan ihwal penderitaan kehidupan, kegetiran, dan keprihatinan yang menyeruak di banyak tulisannya. Sebuah kompleksitas yang terlalu kontan, terlalu pendek. Namun setahu saya Maxim Gorky menyukainya. Atau setidaknya Armand Maulana pernah berkata," Bila karya seni yang pendek saja sudah cukup menyampaikan pesan, mengapa harus dibuat panjang...".

 

Saya sendiri adalah seorang ayah tiga anak, yang mungkin menjadi peserta gerombolan atau kelompok manusia yang dalam sebulan ini cukup tergopoh – gopoh berkejaran dengan kebutuhan finansial. Hal ini mungkin membuat rambut saya lekas rontok. Bila kini Chekov menjadi tetangga karib saya, --atau menjadi rekan sebelah bangku di kantor,-- mungkin dia akan terbahak – bahak dengan perkara saya ini. Atau dia akan menyiutkan matanya. Cobalah, bagaimana Chekov menuliskan tragedi roman kehidupan yang menggelikan dengan demikian ringkas dalam cerpennya. Bahkan ketika berhadapan dengan peti mati beberapa kali. Tentunya rontoknya rambut tidaklah sepadan dengan kejadian sekoyong – konyong berhadapan dengan peti mati di kegelapan. Demikian juga kejar – kejaran kebutuhan finansial tidaklah separah tergopoh – gopohnya Petrovich yang berlarian kesurupan melintas kuburan di tengah hujan malam hari dan kemudian berjumpa lagi dengan peti mati, dan peti mati lagi. Ini bisa membuat Petrovich edan. Mangkanya, mungkin Chekov akan menertawakan saya, atau bahkan memandang iba.

 

Januari ini juga bagi saya mencatatkan beberapa berita kusam. Bertubi berita dan kabar menohok dan berbelok di media, membuat Januari makin murung. Mungkin kabar memendam angkara. Jelas terlalu banyak kepentingan tak kasat mata yang sering timbul - tenggelam. Urusan orang kecil kebanyakan dipertaruhkan di gelanggang gladiator yang penuh kebohongan. Apabila ada petarung yang menang, maka orang kecil tetap sengsara. Dan apabila ada yang kalah, orang kecil jualah yang makin sengsara. Orang kecil adalah orang kebanyakan yang tidak lagi bisa prihatin, mereka hanya bisa murung di antara hujan Januari ini. Lantas kakinya basah terendam banjir. Lantas kepalanya juga. Dan pentas gladiator itu terus berlangsung dengan angkuh. Saling hina, saling dusta, saling tuding. Hujan Januari tahun ini tidaklah dengan segera usai, demikian juga dengan kemurungannya. Kemurungan itu tidak akan mudah selesai. Tidak sebagaimana saya dengan mudahnya menyudahi tulisan ini. Januari masihlah hujan, dan masih memendam kemurungannya. [] haris fauzi – 20 Januari 2010.

 


 
salam,

haris fauzi

No comments: