Saya bukan pengamat dunia kartun, namun saya menyukai urusan kartun. Umumnya kartun ada yang berupa komik strip banyolan, ada yang berupa karikatur, ada juga yang berupa komik panjang berlembar - lembar. Sangat menarik dan lucu. Yang disebut kartun ada juga yang berupa film seperti kegemaran anak – anak semacam Naruto, Kapten Tsubasa, Scooby Doo, Yogi Bear, dan sebangsanya – jaman saya kecil dulu yang kondang adalah bikinan Hanna Barbera Film--. Namun, kali ini saya tidak membahas kartun yang berupa film.
Dan karena bukan pakarnya, mangkanya saya membuat satu matriks yang terdiri dari garis vertikal dan horisontal yang mana kedua garis itu bertemu di tengah - tengah. Garis melintang horisontal untuk variabel kata. Ujung kanan maksimal kata, ujung kiri untuk minimal kata. Di tengah – tengahnya ada garis vertikal, tepat di titik nol. Titik tertinggi garis vertikal untuk maksimal gambar, titik terendah untuk minimal gambar. Sisi kanan atas berarti maksimum gambar dan maksimum kata. Sisi kiri bawah berarti minimal kata dan minimal gambar. Setelah ini, mari kita bicara ihwal kartun atau komik.
Beny - Mice merupakan duet kartunis Indonesia yang royal dalam penulisan kata. Untuk menjelaskan keadaan, mereka menggunakan limpahan kata deskriptif. Di era kini, hal ini menimbulkan wabah kartun baru di Indonesia.
Larry Gonick dan Joe Sacco juga cukup royal menghamburkan kata, ini tak lain karena mereka lebih saya kenal dari buku – buku komiknya, bukan sekedar kartun pendek. Yakni komik “peradaban” dan “Palestina”. Bedanya dengan Beny-Mice, Gonick dan Sacco bahkan juga menghamburkan tintanya dengan demikian dahsyatnya. Tak jarang pekat dan penuh sesak. Beny-Mice sejatinya juga cukup royal dalam menggambar, namun dalam pengamatan saya Gonick dan Sacco sepertinya punya stok tinta lebih untuk menggambar.
Gonick maupun Sacco agak beda dengan Beny-Mice, karena kisah komik Gonick maupun Sacco yang panjang –bahkan berjilid – jilid--, tidak pendek-pendek seperti kisah karya Beny-Mice. Mungkin kartun ‘Petruk – Gareng’ -yang sering saya nikmati ketika kecil- lebih mewakili komparasi ini ketimbang Beny-Mice.
Lat, kartunis Malaysia, tidak terlalu banyak berkata – kata, tidak juga berlebihan dalam menggambar. Satu halaman bisa jadi satu cerita yang proporsional, sepeti halnya ‘Tomat’ karya Libra. Setidaknya begitulah menurut saya yang cuma pernah menikmati karya Lat dari kumpulan komiknya, beberapa belas tahun silam. Entah buku itu kemana sekarang. Yang saya ingat, bahwa Lat kadangkala menyisipkan lagunya KC & Sunshine Band, “That’s The Way … Aha… Aha.. I Like It..Aha.. Aha…”. Librasendiri benar – benar memanfaatkan ‘Tomat’ dengan menggambar ‘ala cepat’. Asal – asalan, tak jarang tangan si Tomat berjemari lebih dari lima karena saking asal – asalannya.
Sementara kartunis yang hemat dalam gambar adalah kartun ‘Ferd Nand’ karya Henning Dahl Mikkelsen dan ‘Dilbert’ karya Scott Adams. Mereka berdua menggambar berkesan seadanya, polosan saja. Bedanya adalah Dilbert masih ada sedikit kata – kata, sementara ‘Ferd Nand’ yang sangat minim dalam gambar –gambarnya seperlunya sahaja— ternyata juga minim menggunakan kata – kata. Namun hebatnya, ‘Ferd Nand’ bisa mengocok perut kita dalam gaya minimalisnya itu. Gaya komik tanpa kata ini dikenal dengan gaya ‘kartun pantomim’.
Aragones ? Dia sangat royal dalam gambar seperti halnya Joe Sacco dan Larry Gonick. Sergio Aragones bahkan berkesan lebih detil dalam penggambarannya, banyak personifikasi dan gambar pendukung yang ditumpahkan dalam karyanya, seperti gambar lalat, daun, debu, dan asap. Bahkan ketika menggambarkan jet-coaster, Aragones juga melengkapi dengan detil konstruksi tiang - tiang lintasan jet coasternya. Sepertinya, tangan Aragones tak kenal henti dalam menggoreskan tintanya. Pokoknya Aragones seakan berusaha sepenuh-penuhnya memenuhi kertasnya dengan gambar. Konon tangan Aragones selalu menggambar bahkan ketika sedang telpon atau makan sekalipun.
Bedanya dengan Sacco adalah Aragones miskin kata – kata. Bukan hanya miskin, tapi bisu seperti ‘Fed Nand’. Karya – karya Aragones adalah pantomim. Walau karyanya bisu, namun yang membuat buku kompilasi komik-nya berjargon “Louder Than Words” adalah karena kepekaannya mengangkat isu yang cemerlang, dan tentunya didukung banyaknya gambar yang tertuang.
Joe Sacco, Larry Gonick, dan Beny-Mice berada di sisi kanan atas matriks. Ferd Nand berada di kiri bawah. Lat, Libra, dan Scott Adams berada di kisaran tengah, cuma Adams karena lebih ‘irit’ maka lebih condong ke kiri bawah, sementara Lat condong ke kanan atas. Sergio Aragones berada disisi kiri atas. Ini tak lain karena berhamburannya gambar tanpa kata sama sekali.
Karena dunia kartun adalah dunia gambar, mangkanya jarang ada kartunis yang sedikit menggambar tetapi banyak berkata – kata. Bahkan mungkin tak ada kartunis seperti itu, mangkanya dalam matriks ini tak ada penghuni sisi kanan bawah.
Tentunya tak semua kartun bisa saya peta-kan seperti ini, mungkin sebaiknya anda sendiri yang menambahkan. Yang jelas, kartun itu menyenangkan dan membuat hidup senang. Tak jarang kartun membuat senyum getir karena menohok. Kadangkala kartun terasa perih, karena menyuarakan nurani. Percayalah. [] haris fauzi – 15 september 2010
Dan karena bukan pakarnya, mangkanya saya membuat satu matriks yang terdiri dari garis vertikal dan horisontal yang mana kedua garis itu bertemu di tengah - tengah. Garis melintang horisontal untuk variabel kata. Ujung kanan maksimal kata, ujung kiri untuk minimal kata. Di tengah – tengahnya ada garis vertikal, tepat di titik nol. Titik tertinggi garis vertikal untuk maksimal gambar, titik terendah untuk minimal gambar. Sisi kanan atas berarti maksimum gambar dan maksimum kata. Sisi kiri bawah berarti minimal kata dan minimal gambar. Setelah ini, mari kita bicara ihwal kartun atau komik.
Beny - Mice merupakan duet kartunis Indonesia yang royal dalam penulisan kata. Untuk menjelaskan keadaan, mereka menggunakan limpahan kata deskriptif. Di era kini, hal ini menimbulkan wabah kartun baru di Indonesia.
Larry Gonick dan Joe Sacco juga cukup royal menghamburkan kata, ini tak lain karena mereka lebih saya kenal dari buku – buku komiknya, bukan sekedar kartun pendek. Yakni komik “peradaban” dan “Palestina”. Bedanya dengan Beny-Mice, Gonick dan Sacco bahkan juga menghamburkan tintanya dengan demikian dahsyatnya. Tak jarang pekat dan penuh sesak. Beny-Mice sejatinya juga cukup royal dalam menggambar, namun dalam pengamatan saya Gonick dan Sacco sepertinya punya stok tinta lebih untuk menggambar.
Gonick maupun Sacco agak beda dengan Beny-Mice, karena kisah komik Gonick maupun Sacco yang panjang –bahkan berjilid – jilid--, tidak pendek-pendek seperti kisah karya Beny-Mice. Mungkin kartun ‘Petruk – Gareng’ -yang sering saya nikmati ketika kecil- lebih mewakili komparasi ini ketimbang Beny-Mice.
Lat, kartunis Malaysia, tidak terlalu banyak berkata – kata, tidak juga berlebihan dalam menggambar. Satu halaman bisa jadi satu cerita yang proporsional, sepeti halnya ‘Tomat’ karya Libra. Setidaknya begitulah menurut saya yang cuma pernah menikmati karya Lat dari kumpulan komiknya, beberapa belas tahun silam. Entah buku itu kemana sekarang. Yang saya ingat, bahwa Lat kadangkala menyisipkan lagunya KC & Sunshine Band, “That’s The Way … Aha… Aha.. I Like It..Aha.. Aha…”. Librasendiri benar – benar memanfaatkan ‘Tomat’ dengan menggambar ‘ala cepat’. Asal – asalan, tak jarang tangan si Tomat berjemari lebih dari lima karena saking asal – asalannya.
Sementara kartunis yang hemat dalam gambar adalah kartun ‘Ferd Nand’ karya Henning Dahl Mikkelsen dan ‘Dilbert’ karya Scott Adams. Mereka berdua menggambar berkesan seadanya, polosan saja. Bedanya adalah Dilbert masih ada sedikit kata – kata, sementara ‘Ferd Nand’ yang sangat minim dalam gambar –gambarnya seperlunya sahaja— ternyata juga minim menggunakan kata – kata. Namun hebatnya, ‘Ferd Nand’ bisa mengocok perut kita dalam gaya minimalisnya itu. Gaya komik tanpa kata ini dikenal dengan gaya ‘kartun pantomim’.
Aragones ? Dia sangat royal dalam gambar seperti halnya Joe Sacco dan Larry Gonick. Sergio Aragones bahkan berkesan lebih detil dalam penggambarannya, banyak personifikasi dan gambar pendukung yang ditumpahkan dalam karyanya, seperti gambar lalat, daun, debu, dan asap. Bahkan ketika menggambarkan jet-coaster, Aragones juga melengkapi dengan detil konstruksi tiang - tiang lintasan jet coasternya. Sepertinya, tangan Aragones tak kenal henti dalam menggoreskan tintanya. Pokoknya Aragones seakan berusaha sepenuh-penuhnya memenuhi kertasnya dengan gambar. Konon tangan Aragones selalu menggambar bahkan ketika sedang telpon atau makan sekalipun.
Bedanya dengan Sacco adalah Aragones miskin kata – kata. Bukan hanya miskin, tapi bisu seperti ‘Fed Nand’. Karya – karya Aragones adalah pantomim. Walau karyanya bisu, namun yang membuat buku kompilasi komik-nya berjargon “Louder Than Words” adalah karena kepekaannya mengangkat isu yang cemerlang, dan tentunya didukung banyaknya gambar yang tertuang.
Joe Sacco, Larry Gonick, dan Beny-Mice berada di sisi kanan atas matriks. Ferd Nand berada di kiri bawah. Lat, Libra, dan Scott Adams berada di kisaran tengah, cuma Adams karena lebih ‘irit’ maka lebih condong ke kiri bawah, sementara Lat condong ke kanan atas. Sergio Aragones berada disisi kiri atas. Ini tak lain karena berhamburannya gambar tanpa kata sama sekali.
Karena dunia kartun adalah dunia gambar, mangkanya jarang ada kartunis yang sedikit menggambar tetapi banyak berkata – kata. Bahkan mungkin tak ada kartunis seperti itu, mangkanya dalam matriks ini tak ada penghuni sisi kanan bawah.
Tentunya tak semua kartun bisa saya peta-kan seperti ini, mungkin sebaiknya anda sendiri yang menambahkan. Yang jelas, kartun itu menyenangkan dan membuat hidup senang. Tak jarang kartun membuat senyum getir karena menohok. Kadangkala kartun terasa perih, karena menyuarakan nurani. Percayalah. [] haris fauzi – 15 september 2010
No comments:
Post a Comment