Saturday, December 04, 2010

kenisah : peran ustadz

Peran Ustadz

Ustadz adalah gelar yang umumnya disematkan oleh masyarakat Indonesia kepada pemuka agama Islam. 'Ustadz' artinya adalah guru, pengajar agama Islam. Profesinya juru dakwah. Dalam bermasyarakat di Indonesia, sejatinya ustadz adalah pemuka masyarakat, karena dianggap sebagai orang yang berilmu dan nasehatnya diturut oleh banyak orang. Sering menjadi 'problem slover' di ranah sosial. Masyarakatlah menetapkan siapa yang bakal menjadi 'ustadz' mereka.

Dalam pergeseran waktu dalam kurang lebih dua puluh lima tahun, sudah banyak sekali re-definisi perihal istilah ini ihwal siapa yang patut mendapat gelar 'ustadz'. Sekitar tahun delapan puluhan, seorang pemuka agama, pemimpin mesjid, bahkan seorang yang telah menunaikan ibadah haji, belumlah kedapatan gelar 'ustadz'. Gelar tersebut barulah diberikan bila memang benar - benar dianggap menguasai ilmu agama berikut penerapannya di masyarakat, menjadi sesepuh masyarakat yang menjadi tempat berkeluh - kesah serta meminta nasihat. Itupun sepertinya masih belum layak mendapatkan gelar 'ustadz'. Secara de-jure, gelar 'ustadz' barulah dinisbatkan oleh masyarakat ketika seorang tersebut telah menjadi imam dan penceramah dalam sebuah Sholat Hari Raya, dengan makmum beberapa desa. Kira - kira seperti itulah gambaran gelar ustadz -dalam pengamatan saya pribadi- pada dua puluh lima tahun lampau.

Memang agak berbeda dengan masa kini. Sekarang rasanya tidaklah terlalu sulit memperoleh gelar tersebut. Bila telah menjadi imam sholat maghrib dalam sebuah mesjid dan telah mengajar mengaji 'iqra' saja, maka orang tersebut sudah dijuluki dengan 'ustadz'. Seorang yang bisa memberi ceramah keluarga dari rumah - ke rumah-pun telah sontak mendadak digelari dengan 'ustadz' di depan namanya.
Perubahan cara pandang masyarakat dalam menetapkan gelar kepada 'ustadz-ustadz' ini bukan tidak berdampak. Kini masyarakat menisbatkan para 'ustadz'-nya lebih mudah dibanding dua puluh tahun lampau. Dan hasilnya adalah makin banyak para ustadz, namun dengan kedalaman ilmu yang bervariasi. Kedalaman ilmu merupakan faktor penting dalam ihwal per-'ustadz'-an ini. Ini tidaklah salah, toh arti kata 'ustadz' adalah guru. Jadisetiap orang yang mengajarkan, maka berhak berpredikat sebagai ustadz.

Dalam peribahasa sering kita jumpai untaian kalimat "Apabila ulamanya yang baik maka masyarakatnya juga baik". Artinya, ulama yang berkualitas bisa meningkatkan kualitas masyarakatnya. Ulama artinya adalah orang yang berilmu, sementara definisi dari 'ustadz' adalah 'penyampai' atau juru dakwah. Juru dakwah harusnya memang orang yang berilmu. Bila kita membahas tentang ilmu agama Islam, maka dalam pesantren - pesantren sering diajarkan tentang beberapa tingkatan ilmu agama Islam. Yang paling lazim digunakan adalah empat tingkat pemahaman ilmu Islam. Tingkat pertama adalah 'syariat', tingkat kedua dalah 'tarikat', lantas 'hakikat', dan terakhir tingkat 'makrifat'.
Ringkasnya, syariat adalah keilmuan yang berkutat tentang tata cara pelaksanaan ibadah, sementara 'tarikat' artinya wilayah peralihan yang menuju koridor hikmah - hikmah dari ibadah untuk diterapkan ke kehidupan nyata. 'Hakikat' adalah ilmu yang membahas tentang makna yang terkandung dalam suatu peribadatan. Sementara yang terakhir,'makrifat', sejatinya adalah filosofi nilai - nilai adiluhung peribadatan.

Bila kita mengamati, akhir -akhir ini kajian keagamaan yang diadakan oleh para ustadz di masyarakat semakin di dominasi oleh urusan syariat. Banyak sekali pengajian yang membicarakan ihwal tatacara peribadatan. Tentunya menurut versi masing - masing ustadz-nya. Sementara dari sisi lain, masyarakat Islam Indonesia adalah komunitas yang sangat heterogen. Heterogenitas tersebut kebanyakan adalah berada dalam ranah syariat. Cukup beragam cara masyarakat Islam Indonesia dalam ber-ibadah. Contohnya adalah adanya tarawih delapan rokaat, sementara kelompok lain bertarawih sebanyak duapuluh rakaat.

Dengan fenomena seperti di atas maka setidaknya ada tiga catatan yang perlu diperhatikan ihwal peran ustadz dalam masyarakat. Catatan pertama adalah pembahasan kajian yang di dominasi oleh ranah syariat tanpa penyampaian hikmah - hikmahnya akan bisa --walau tidak selalu-- berakibat membawa jamaahnya untuk menjadi pengikut yang taqlid.
Kedua, karena hikmah peribadatan yang disampaikan terlalu minim, maka pesan moral peribadatan kurang optimal terimplementasi dalam peri - hidup bermasyarakat. Akan banyak orang yang beribadat sesuai dengan tatacara yang sudah sesuai dengan syariat, namun kering dalam implementasi bermasyarakat karena tidak menguasai hikmahnya.
Yang Ketiga, banyaknya perbedaan dalam tatacara peribadatan, bila tidak dibahas secara hakikat, akan menciptakan kotak - kotak golongan dalam masyarakat tersebut. Dan tidak jarang sang ustadz malah memperuncing perbedaan antara golongan.

Akumulasi dari tiga hal tersebut dikhawatirkan bisa mengakibatkan adanya pengikut yang fanatik buta, tidak memiliki kemampuan menerapkan aplikasi di masyarakat, dan menganggap 'salah' golongan lain yang berbeda tata-cara peribadatannya. Ini adalah masalah yang kompleks dan tentunya sangat mengganggu 'ukhuwah islamiyah'.
Tentunya kompleksitas permasalahan umat yang heterogen ini tidak akan mudah diselesaikan dengan tataran ilmu syariat semata. Untuk ini, peran ustadz harus meningkat demikian juga tingkatan keilmuannya. Secara 'keilmuan', sang ustadz setidaknya jangan hanya menguasai di tingkat ilmu syariat. Ustadz dituntut untuk mampu mengambil saripati dan menyampaikan hikmah dan pesan moral peribadatan. Dan untuk urusan yang lebih pelik, karena dia harus menjadi panutan dan 'problem solver' masyarakat dalam menghadapi tantangan kehidupan, maka dia harus memiliki kemampuan dalam menyelami permasalahan yang terjadi. Tak jarang permasalahan dalam masyarakat menuntut kedalaman ilmu makrifat.

Secara garis besar, setidaknya ustadz dituntut lebih mumpuni menjadi pemuka masyarakat yang mampu menyatukan kelompok - kelompok yang heterogen, menebarkan hikmah dan pesan moral ibadah dalam kehidupan sehari - hari, serta menjadi problem solver yang arif bijaksana. Karena permasalahan masyarakat adalah juga permasalahan sang ustadz. Tidak ada ustadz yang tidak terlibat dalam permasalahan umat. Ustadz bukanlah semacam ikan dalam akuarium yang tersekat tabir dengan masyarakat sekitar.
Sekali lagi, oleh karena kompleksitas permasalahan yang harus dihadapi seorang ustadz, maka dituntut penguasan ilmu yang lebih mumpuni. Dengan kedalaman ilmu sang ustadz, maka tingkat ilmu dalam masyarakat akan lebih baik. Dan dengan ini otomatis masyarakat mewujud menjadi kelompok masyarakat yang lebih beradab. Gambaran seperti inilah yang seperti dicirikan oleh filosof Iran Ali Syari'ati, bahwa pemuka agama harusnya menjadi cahaya panutan masyarakat, menggerakkan umat dan membebaskannya dari kebekuan, dan membentuk masyarakatnya untuk menjadi lebih madani. [] haris fauzi - ditulis ulang di Wajok, 3 Desember 2010

2 comments:

Anonymous said...

Apakah tidak ada level kompetensi "ustadz" dan standarisasinya? Urusan agama yang saya tangkap dari tulisan Anda sangat penting, tapi seolah-olah dalam sejarah Muslim tidak pernah ada "kompetensi SDM ustadz" yang jelas dan profesional dalam mengurusi agama, apalagi kehidupan. Sayang sekali

Andani said...

Mohon maaf, apakah ada teori yang menjelaskan klasifikasi ustad di masyarakat? Dan sebenarnya ustad itu profesi bukan? Mohon infonya