WAJAH
Wajah itu tidak hanya milik manusia. Kota juga memiliki wajah. Dan wajah kota itu seperti wajah manusia. Ada yang ekspesif, ada pula yang datar. Ada yang cerah, ada juga yang kusam seperti orang sedih atau sakit. Ada orang yang sedang berbalut gembira, maka dia tertawa – tawa sedemikian lebar dan leluasa sehingga seluruh gurat wajahnya muncul mengiringi gelak tawa dan lebar mulutnya. Seorang kakek jompo, termenung sendirian, dan bayangkanlah apabila kemudian dia tergelak. Maka seluruh kerut wajahnya seakan berbalik arah. Mulutnya mendadak lebar menampakkan gusi ompongnya. Telinga dan alis-nya yang semula tergantung beku kini bergoyang menari.
Namun ada juga yang tidak seperti itu. Alfred Riedl, pelatih kesebelasan Garuda, dalam suatu pertandingan pernah memasang raut muka tanpa ekspresi walau para pemainnya unggul lebih dari tiga gol. Sungguh amat berbeda dengan para pemain yang berjingkrak – jingkrak larut dalam suka cita dan melampiaskan lewat beragam selebrasi mulai dari joget jaran kepang, hingga tinju kepalan tangan menghajar udara.
Dalam salah satu tulisannya Akbar Ahmed pernah bertutur tentang masyarakat Turki era 'modernisasi'. Bagaimana Turki berupaya untuk menjadi 'up-to-date' dengan mengadopsi sebanyak – banyaknya budaya Eropa. Kota – kota di Turki dirombak sedemikian rupa memenuhi tuntutan ini. Jeans, supermarket, makanan cepat saji, metropolitan life style merajalela. Apa jadinya ? Kain lokal entah kemana. Gedung artistik ala Turki kuno lenyap berubah menjadi mall dan plaza. Makanan daerah sudah berganti dengan burger. Cinderamata kerajinan tangan berubah menjadi kartu pos.
Menurut Ahmed ini sungguh menjemukan. Jeans, mall, burger, dan kartu pos ada di seluruh pelosok dunia, dan karena saking banyaknya, maka hal ini tidak memiliki ekspresi keunikan. Ke-khas-an itu telah pergi. Suatu bayaran mahal untuk sekedar meraih predikat kota yang ber-identitas metropolitan. Andai demi sekedar kartu pos dan mall, maka tidak perlu terlalu jauh pergi ke Turki, di warung waralaba terdekat bisa jadi tersedia.
Seluruh penjuru menjadi seragam, menjadi cenderung datar semata, dan kehilangan ekspresi yang menggairahkan. Ini laksana robotisasi. Teringat pula film 'Terminator' dimana Arnold Schwarzenegger berperan menjadi sesosok cyborg. Arnold bermain gemilang dengan menanggalkan semua ekspresi 'kemanusiaan'-nya. Sangat berbeda dengan penampilan Arnold ketika membintangi film 'Twins' atau 'Kindergarten Cop' yang wajahnya kerap dihiasi senyum lebar dan kerutan wajah yang begitu variatif. Apalagi tawa bahaknya yang lepas.
Mungkin ada yang sepakat bahwa hal ini adalah membosankan. Walau membosankan, era kekinian hampir semua kota merayap menggapai identitas metropolis yang berwajah seragam. Dan dalam waktu yang bersamaan hampir semua orang berperan menjadi terminator. Wajah – wajah datar tanpa ekspresi ini semakin banyak dan semakin banyak. Andai berandai – andai, bisa jadi kelak semua orang akan berpakaian sama seperti dalam film 'Matrix', siapa kawan siapa lawan tidaklah terlalu bisa dibedakan dari caranya berpakaian, bahkan kacamata mereka-pun relatif seragam. Dan yang lebih keparat lagi, dalam film itu ada ribuan orang yang sama persis.
Apakah ini gempuran globalisasi ? Mungkin saja. Gelombang globalisasi yang sudah mengalir berpuluh tahun lebih ini menghasilkan banyak hal keseragaman termasuk cara berpakaian, cara makan, arsitektur, hingga kuburan. Yang paling menohok adalah adanya mata uang bersama negara – negara Eropa, Euro. Bila ekspansi ini berlanjut maka mata uang di Eropa tidak lagi unik dan kehilangan daya tarik koleksinya. Karena sama saja di seluruh penjuru dunia. Ini salah satu contoh.
Contoh kedua, ternyata tulisan ini harganya dua puluh ribu rupiah. Maksud saya, tulisan ini saya buat sambil sarapan di resto cepat saji di bilangan mall kota. Sarapan seharga dua puluh ribu rupiah berikut minuman dingin dengan wadah kertas, dengan satu tube air mineral. Makanan yang sama dengan meja seberang sana, demikian juga dengan kemasan minumannya. Dan masih berkerdus – kerdus lagi air mineral yang dengan mudah dijumpai di dalam supermarket sana. Disini relatif datar segalanya, cenderung seragam, dan minim ekspresi. Termasuk saya. [] haris fauzi – 13 desember 2010
No comments:
Post a Comment