Friday, December 30, 2011

kenisah : resolusi atau revolusi

RESOLUSI ATAU REVOLUSI

Dalam ingatan, tahun ini kepala saya nyaris meledak dijejali dengan banyak hal yang ujung - ujungnya membuat muak. Apalagi bila bukan kasus negara yang bangkrut dikarenakan pesta - pora bancakan koruptor.  Mengapa membuat kepala nyaris pecah ?... Tak lain adalah karena saya merasa sering membayar pajak. Dimana - mana saya dikenai pajak. Dan duit pajak itu kini nyaris habis ditilep. Hingga negara perlu berhutang, dan ini juga ditilep.

Lantas mengapa membuat muak ? Aksi kampanye 'sok suci' penggalangan pajak yang digadang - gadang sepanjang jalan dan sepanjang media membuat perut ini mules. Seakan warga negara yang tidak membayar pajak adalah residivis-kurap, sementara penilep uang negara ternyata masih bebas berkeliaran dan menjadi selebriti di televisi - televisi.

Serahkan permasalahan kepada ahlinya. Demikian kata nabi. Di negara ini, yang disebut dan dinilai ahli dalam hal penanganan korupsi sejauh ini ada beberapa. Memang, korupsi disini menjadi urusan KPK - elemen yudikatif - dan tentunya polisi, mereka-lah yang sudah selayaknya menangani. Namun akhir cerita - cerita inilah yang juga membuat muak. Entah apa yang sudah mereka lakukan, yang jelas pelaku korupsi masih menjadi selebriti yang dibiarkan berbelanja ke luar negeri.

Korupsi itu seperti super oktopusi. Kaki - kaki gurita yang menyelinap sudah kemana - mana. Anda bisa menyaksikan dalam sampul buku kontroversi yang cukup populer beberapa tahun silam karena menyangkut tahta. Menyangkut sektor manapun, tidak melulu di satu sangkutan, perilaku korup ini ada dimana - mana dan tanpa ada kamuflase sama sekali.
Sejarah bangsa kita tahun ini membuktikan, yangmana kita semua bisa menjadi saksi juga, bahwa betapa beratnya menghentikan perilaku korupsi ini. Sangat berat tak terhingga. Dan apapun, memang terasa susah membuktikan seakan tiada ujung. Pihak yudikatif telah tertatih - tatih mencoba mengurai untuk menjatuhkan hukuman alakadarnya. Tetapi, berkali gagal belaka. Apapun alasannya, mereka telah gagal. Dan duit rakyat masih digarong habis - habisan.
Bahkan lebih gila lagi, konon perilaku korup juga terindikasi dilakukan oleh para pejabat dari kalangan yudikatif sendiri. Kita pasti masih mengingat kepopuleran kasus mafia peradilan, sebuah kasus yang demikian populer karena tidak kunjung tuntas. Saya yakin Tuhan melaknat perilaku ini.

Menengok langkah 'jompo' kaum yudikatif di atas,  ada inisiatif bagus, yakni menjadikan peran lembaga ketiga untuk menjadi penengah atau sekedar penyegar suasana. Dalam sebuah kasus korupsi, maka --singkat cerita-- dilakukanlah audit oleh pihak ketiga. Namun apa yang terjadi ? Bahkan pelaksanaan audit oleh lembaga yang kuat-pun seakan menjadi bukti, bahwa kegagalan mereka malah menjadi syak wasangka bahwa audit tersebut hanya berupa lipstik dan tidak membedah kasus korupsi dengan tajam. Ya Tuhan, betapa kuatnya sindikat korupsi negeri ini. Lembaga kuat itu-pun hanya mampu berperan seperti itu. Membaca berita tentang ini, hanya membuat geregetan saja.

Ketika lembaga super power yang melakukan audit ternyata menghasilkan laporan yang tidak mumpuni, kemungkinannya hanya dua. Kemungkinan pertama adalah pelaksananya yang tidak kredibel. Sementara kemungkinan kedua adalah lembaga itu sendiri tersangkut dengan perkara yang ada, menjadikan audit yang tidak independen. Demikian simpulan sarkartis dari berita - berita media mengangkat hal tersebut. Maka urusan penyelesaian korupsi ini hanya menjadi pantun berandai - andai.

Seorang teman pernah berujar, bahwa bila hal sudah membudaya dalam suatu masyarakat, maka aksi polisionil dan yudikatif menjadi kurang efektif. Bila judi sabung ayam sudah mengakar dalam sebuah kampung, maka biar-pun setiap hari dilakukan penggerebekan, prilaku judi sabung ayam ini masih saja berlangsung. "Seperti melarang orang jawa makan nasi dan menggantikannya dengan sereal", keluh sahabat.

Setelah urusan yudikatif dan audit, mungkin kita juga kesulitan berharap pada korps polisi. Sejarah kepolisian juga tercoreng ketika terindikasi melakukan keberpihakan terhadap pemodal. Dalam buku gerakan bawah tanah, keadaan ini sering diistilahkan sebagai 'kinglet'.Beberapa kasus polisi kontra rakyat menciptakan kesan kinglet dan menguatkan dugaan, bahwa dalam hal per-korupsi-an, bisa jadi mereka juga berpihak kepada pemodal.
Konon hal ini karena, lagi - lagi tuduhan, bila pihak polisionil melakukan kegiatan penggalangan dana untuk kebutuhan operasional, maka keberpihakan terhadap pemodal tidak bisa dihindarkan. Karena bagaimana-pun, pemodal adalah pemilik dana yang dalam kasus ini selalu melakukan pemesanan perlindungan. Perlindungan terhadap siapa ? Terhadap siapapun, baik terhadap maling, rampok, garong... ataupun rakyat yang mengganggu bisnis sang pemodal. Entahlah, itu cuma tuduhan, begitu kata televisi.

Suatu ketika saya bersua dengan persimpangan yang demikian carut - marut. Disebabkan oleh perilaku kendaraan transportasi masal yang berjubel mengais penumpang tanpa ampun berhenti sembarangan. Nampak petugas polisi namun tidak melakukan sesuatu yang berarti. Maka timbullah pertanyaan sebagaimana media menanyakan hasil audit korupsi seperti di atas. Kemungkinan pertama adalah petugas tersebut tidak kredibel. Kemungkinan kedua petugas tersebut tidak independen dengan para sopir angkutan umum tersebut. Entahlah, lagi - lagi entahlah.

Namun bila tahun ini memang keadaannya demikian, mungkin kita bisa berharap pemberantasan kasus korupsi ini akan sedikit mengalami kemajuan di tahun berikutnya. Yang perlu kita ingat adalah beberapa tahun lagi merupakan masa emas kampanye untuk pemilihan presiden. Dan, bila --siapapun-- berhasil menjadi tokoh pemberantas korupsi, maka dia mendapat keuntungan untuk promosi suara di mata rakyat. Dan sekali lagi kata teman saya : mata rakyat sudah menangis dengan air mata darah.[] haris fauzi - 29 desember 2011

 
salam,
haris fauzi
kolomkenisah

No comments: