Mungkin ini salah satu sebabnya mengapa Bapak mengundurkan diri dari pentas politik lokal, di tahun 90-an. Pemahaman. Dia tidak faham logika pikir politik, dan akhirnya memilih pensiun. Pemahaman itu berkaitan dengan konsistensi pola pikir. Dalam sesi tatap muka, saya sering menekankan perihal konstrain dan konsistensi kepada para mahasiswa. Dalam dunia teknik hal ini penting. Misalnya, ketika kita membicarakan gaya dan energi, maka kita harus konsisten menggunakan hukum Newton, misalnya. Namun ketika partikel tersebut bergerak melebihi kecepatan cahaya, maka kita harus murtad dari hukum Newton, namun in-konsistensi ini dijaga oleh konstrain hukum Relativitas Einstein. Itu contoh permisalan di depan kelas.
Dunia ini beragam. Tidak demikian dengan perilaku politik negeri ini. Alasan pertama mungkin adalah hukum Newton adalah eksakta, sementara politik adalah ranah sosial. Ini beda kelas. Tapi bukan berarti hal ini tidak konsisten. Bagi saya ilmu pasti itu membuat lebih mudah dalam bersosialisasi. Ilmu sosial itu membuat insting untuk lebih pasti. Alasan kedua adalah, perilaku ini tidak terfahami oleh saya. Baiklah, bagaimana kita bisa nikmati seperti apa proses Bank Century yang demikian berlarut - larut dan berdarah - darah. Terkatung - katung hingga kini tanpa tau siapa yang bertanggung jawab. Partai yang disorot menunggangi kasus ini tidak tergeser, sementara Bank Century telah beralih nama dan sekarang memiliki reputasi membaik dan bisa dijual dengan harga pantas. Sementara nasabah yang dirugikan hanya meratapi nasibnya. Ini kasus perbankan di ranah politik.
Demikian juga dengan urusan kubangan di Jawa Timur yang makin menggila. Pers yang seharusnya memiliki independensi, ternyata malah saling serang demi keuntungan rekan mereka. Jaman kuliah, sering rekan pers dan mahasiswa melakukan demonstrasi ihwal kemerdekaan pers, menentang penjajahan tirani. Namun itu dulu. Pers kini tidak terjajah lagi, namun tergadaikan. Tidak terjajah namun tetaplah belum merdeka. Berita simpang siur ihwal lumpur Lapindo menggoyahkan iman. Dalam urusan politik, pers lebih bermain dengan asik menikmati titipan pengusaha politik. Ini dampak dari kapitalistik jurnalisme. Namun tidak semua.
Ada lagi yang saya tidak faham. Deretan masalah kasus Hambalang semenjak urusan korupsi wisma atlet, dan lantas tertangkapnya si pengicau, hingga amblesnya proyek tersebut. Antara korupsi dan tidak korupsi sama sekali tidak ada kejelasan. Padahal duit itu adalah hitungan matematis sederhana. Seorang bocah juga faham setelah gajian maka rekening bapaknya akan bertambah saldonya. Masalahnya adalah tidak adanya kejujuran pengakuan asal - muasal pertambahan rekening tersebut. Apakah dari gajian, apakah dari iblis. Ini yang tidak difahami oleh bocah tadi. Dan oleh saya juga.
Korupsi memang lebih menekankan kata kunci 'tidak tahu' dan 'lupa'. Masihkah ingat tentang proyek ruang rapat di gedung DPR yang demikian mewah ? Bahkan pejabat yang berwenang-pun mengaku tidak tahu anggaran proyek tersebut. Alangkah eloknya, seorang pejabat tidak tau gelontoran dana sebesar itu.
Bombastis berita konser Lady Gaga juga merupakan hal tidak penting yang entah kenapa dipublikasi demikian heboh, hingga akhirnya narapidana narkoba asal Australia mendapatkan grasi dari presiden. Presiden lantas dielu-elukan oleh Australia, dan puas. Beberapa media menyampaikan pendapat tokoh bahwa grasi tersebut bukanlah barter hukum. Namun, koran lain menyebutkan paska pemberian grasi kepada Corby, maka sejumlah tawanan di Australia dibebaskan. Dan, di siaran televisi juga ada tokoh politik yang menyebut bahwa grasi itu memiliki imbalan pembebasan. Antara barter dan pertukaran imbalan, apakah ini berbeda ? Sayangnya saya tidak faham.
Masih banyak lagi. Kebijakan harga BBM subsidi, urusan dana pendidikan yang berhasil menjadikan sekolah pada roboh, urusan sepak bola yang makin ruwet, semua merupakan deretan yang sulit dipahami. Mungkin ini masalah politik. Tidak terfahami. Saya lebih faham bahwa Bapak akhirnya memilih pensiun daripada dipusingkan dengan masalah seperti ini. Ini mungkin masalah yang bisa diolah sesuai kekuasaan, ataukah memang tidak memiliki konsistensi ? - haris fauzi - 2 juni 2012
ilustrai : 4bp.blogspot.com
No comments:
Post a Comment