Sangat jelas dalam ingatan bagaimana ketika era 90-an, bersama teman - teman mahasiswa seringkali bercakap diskusi tentang segala sesuatu tentang negeri ini. Setidaknya, banyak hal yang kami pandang sebagai suatu keburukan, yang terus - menerus diperbincangkan. Dari jutaan kejelekan mulai dari politik, pemerintahan, pendidikan, jurnalisme, dan sebagainya. Dari sekian jumlah itu, setidaknya ada sekian puluh persen --saya tidak tau tepatnya berapa-- yang kami bisa mengerti sebaiknya seperti apa. Contohnya, ketika mengkritisi perilaku korup pejabat, maka kami saat itu juga faham idealnya pejabat itu tidak korup.
Dalam obrolan rakyat, sah - sah saja ada kritik tanpa pandangan idealnya, apalagi solusinya. Namun dalam diskusi mahasiswa, setidaknya nilai ideal harus ada, walau tidak harus lengkap. Dalam mengritisi sesuatu, maka perlu juga dijabarkan bentuk idealnya sehingga jelas perbandingannya. Ini baru tataran bentuk ideal, belumlah solusi atau 'jalan keluar' untuk menyelesaikan problem yang dikritisi, atau tindakan yang harus diambil hendaknya seperti apa.
Kemajuan dalam sebuah perbincangan, setelah adanya bentuk ideal walau sebagai utopia, salah satunya adalah menemukan wacana langkah tepat untuk mencapai bentuk ideal. Bentuk ideal biasanya dikiaskan dengan kalimat "seharusnya seperti ini". Sementara langkah tepat solusi dikiaskan dengan kalimat "seharusnya dilakukan hal ini".
Nah. Itu tataran diskusi. Itu saja tidak cukup. Untuk mengkritisi nasib suatu bangsa, tidak cukup hanya dengan jutaan kritik, ribuan bentuk ideal, dan ratusan usulan solusi. Bila kita mampu, seharusnya kita juga pada saat yang tepat untuk bertindak. Memang tidak dapat disalahkan bila jutaan kritik itu muncul dari kritikus. Sementara ratusan solusi itu muncul dari pengamat. Ini diskursus yang bagus, artinya 'open-mind' untuk gerbang perbaikan sudah terbuka. Tinggal bagaimana kita menggerakkan badan untuk segera bertindak.
Bertindak itu tidak gampang. Mungkin tataran profesi yang berbeda, mungkin kendala sumber daya yang tidak mencukupi. Sebagai contoh, pada saat carut - marut politik banyak diumbar di media, seorang dokter tentunya hanya bisa sebagai kritikus atau pengamat saja. Bagaimana seorang dokter dengan penghasilan sepuluh juta sebulan mampu merombak sistem politik yang dia kritisi tersebut ?
Dalam islam, ada anjuran untuk istiqomah. Ada juga anjuran untuk bertindak melakukan perbaikan. Jadi, sah - sah saja seorang insinyur pengkritisi kinerja pemerintahan. Namun disisi lain sang insinyur harusnya mampu bergerak dan bertindak. Sesuai porsi dan kemampuannya. Ketika seseorang mengritisi kinerja pemerintahan negara, tidak harus dia bertindak memperbaikinya. Tindakan itu bisa dia wujudkan dalam skup yang lebih kecil. Mungkin dalam region kelurahan. Ketika seorang supervisor berbicara bahwa pemerintahan yang korup itu bejat, trus dia memiliki nilai ideal bahwa seharusnya pejabat itu tidak mata duitan, dan lantas dia mengusulkan kampanye "pemerintahan yang bersih", setidaknya dia bisa mengambil aksi dengan menjaga kebersihan di kelurahan dimana dia tinggal. Salah satunya seperti itu. Jadi, setidaknya bangsa ini tidak terjebak dalam sekedar wacana diskusi. Diskusi itu baik. Kritikus dan pengamat itu berjasa. Namun, tindakan itu wujud realisasi. [] haris fauzi - 30 Agustus 2012.
foto : suara merdeka
No comments:
Post a Comment