Saturday, July 13, 2013

butuh pengalaman

Jaman ini informasi mengalir dengan derasnya. Semua pengetahuan nyaris bisa didapat dengan mudah. Akses publik terbuka lebar. Namun tetap saja, ada beberapa hal yang tidak bisa dicerna hanya melalui teori. maksud saya, pengalaman - pengalaman tertentu juga masih dibutuhkan. Contohnya adalah mengemudi, berenang, menggambar, dan lainnya. Karena dengan pengalaman ada hal - hal yang lebih mudah diyakini dan dijalankan. Dan tidak hanya itu, dari sisi pengambilan analisa, pengalaman juga dibutuhkan untuk memberikan masukan paradigma yang benar. Setidaknya dua contoh yang nanti saya uraikan setidaknya bisa menggambarkan bahwa pengalaman - pengalaman itu dibutuhkan untuk menjadi dasar analisa.

Sekitar sepuluh tahun lalu, saya setiap hari bepergian dari Bogor ke Karawang melalui tol Cikampek. Dalam beberapa kali, tak jarang tepian jalan tol Cikampek itu terbakar. Maklum, rumputnya kering menguning selama musim kemarau. Kala itu saya melintas menumpang boss saya, pangkatnya direktur lulusan kampus terkemuka Bandung. Pinter ? Jelas-lah. Suatu ketika kami membicarakan ihwal kebakaran rumput di pinggir tol tersebut. Menurut boss, kebakaran rumput itu terjadi karena fenomena savana, yakni batang kering yang bergesekan sehingga timbul api. Data - data cukup jelas, rumput kering, cuaca panas, angin juga kebetulan besar sekali. Ketika saya tanya detil, beliau menjelaskan dengan detil pula fenomena savana ini. Dan mengulang - ulang statemen bila batang kering bergesekan maka bisa timbul api. Seorang teman dalam mobil -biasanya dia hanya menumpang sampai bekasi- ikut mengiyakan kebenaran analisa pak direktur. Entah maksudnya menjilat atau memang dia memiliki analisa yang sama. Apakah ini analisa yang salah ? Menurut saya, analisa beliau salah.

Saya, semasa kecil sering menjadi pembakar lapangan. Saya dan teman - teman sering membakar rumput di lapangan yang kekeringan karena kemarau. Dan ketika api-nya membesar, kita bersuka ria, hingga kita terbirit - birit dikejar serdadu. Maklum, lapangan yang dibakar rumpunya adalah lapangan tangsi tentara. Atas dasar pengalaman itulah, maka saya menduga kebakaran yang terjadi adalah karena dibakar, setidaknya ada penyulut api, bukan karena faktor gesekan batang rumput.

Saya kemukakan postulat berdasarkan pengalaman bakar - membakar tersebut. Namun tetap saja direktur dan teman saya beranggapan bahwa itu adalah fenomena savana, bukan karena dibakar. Tentunya saya diam saja. Apa perlunya membantah. Hingga akhirnya suatau saat jalanan itu begitu macetnya, dan kebakaran membahana. Kami satu mobil berpikiran bahwa kebakaran membuat jalanan macet. Ternyata kenyataannya tidak seperti itu. Macet-lah yang membuat rumput - rumput itu terbakar. Karena lagi macet, maka sopir iseng merokok dan membuang putung rokok ke tepian yang pada akhirnya menciptakan kebakaran. Melihat fenomena tersebut, masihlah pak direktur dan teman itu bersikukuh dengan teori fenomena savana, sampai akhirnya tibalah kami menjumpai suatu jalan tol dengan spanduk besar yang bertuliskan "Jangan Membuang Puntung Rokok karena Mengakibatkan Kebakaran".

Pengalaman kedua adalah ketika berkendara bersama anak kedua, Norma. Suatu ketika ada tikus berseliweran melintas jalanan. Norma bilang, "Hati - hati, ntar tikusnya terinjak...". Saya bilang bahwa tikus tidak mungkin terinjak, dia lincah dan bisa menghindari roda mobil. Tak dinyana Norma berargumen,"...kan sering ada bangkai tikus terlindas di jalanan...".

Saya baru sadar, bahwa memang sering kita jumpai bangkai tikus di jalanan. Namun tikus itu bukan mati terlindas, melainkan tertangkap dan dibunuh di suatu tempat, mungkin di dapur, dan kemudian dilempar ke jalanan. Jadi, bukan mati terlindas. Pengalaman ini yang tidak ada dalam diri Norma. Norma tidak pernah melihat ada orang melemparkan bangkai tikus ke jalanan, maka dia berpikiran bahwa bangkai tikus yang ada di jalanan adalah karena tikus mati terlindas.[]haris fauzi - condet, 13 juli 2013


2 comments:

Rawins said...

teori orang pinter memang suka terlalu jauh tapi ga mengena
seperti kebakaran hutan di kalimantan katanya efek kemarau. atau dilemparin masalahnya ke peladang berpindah yang buka hutan. padahal kenyataan di lapangan pelakunya industri. peladang buat apa bakar hutan sampai ratusan hektar orang masih pake pacul?

Haris Fauzi said...

bener panjenengan, mas Wins.... kasus hutan terbakar itu mah alasan akal2an... hahaha...