Thursday, October 10, 2013

pemulihan (ala insting)

Ihwal trauma Si Bungsu terhadap sekolahan, tidak hanya kepada tas dan seragam, bahkan melewati depan sekolahan-pun Si Bungsu merasa trauma. Menanggapi keluh-kesah tentang hal ini,  seorang teman psikolog menyarankan kartu terakhir," ... mengikuti insting seorang ayah bisa menjadi jalan keluar memperbaiki keadaan...". Dan pada akhirnya saya mendapat legitimasi mencoba hal tersebut untuk langkah - langkah pemulihan kondisi psikologi Si Bungsu paska kegagalan terapi paksa berangkat sekolah.

Hari ini genap dua minggu saya memutuskan untuk mengikuti insting saya : menghentikan terapi paksa. Otomatis lempeng dua minggu Si Bungsu tidak sekolah. Kegiatannya setiap pagi adalah bangun pagi, merengek ketika Ayahnya berangkat ke kantor, trus kemudian jalan - jalan bersosialisasi bersama Mama-nya. Dan malamnya menunggu Ayahnya balik dari kantor.
Dua minggu lalu, Si Bungsu benar - benar tidak bisa lepas dari saya. Bahkan ketika di-drop di taman bermain-pun, dia merengek dan memilih minta ikut ke kantor. Mama-nya dipukul-pukul sambil meronta - ronta hingga dari jauh terlihat seperti seorang Ibu yang hendak menculik bocah. Itu dua minggu lalu. Dalam empat hari terakhir, rengekan ketika saya berangkat ke kantor mulai mereda. Dua hari lalu Si Bungsu sibuk dengan kolam renang-mini-nya sehingga membiarkan saya berangkat ke kantor. Suatu pagi Si Bungsu hanya berujar,"....itu suara mobil ayah, ya ?". Dan itu tidak masalah karena Si Bungsu terlalu asyik dengan kolam baru. Pagi tadi, ketika bersama Mama-nya saya tinggal di taman bermain, dia sedikit merengek ketika saya tinggal. Tetapi tidak meronta- ronta. Ini suatu kemajuan pemulihan.

Sebelum mengambil sikap hendak "mengikuti insting", saya juga sempat berkomunikasi dengan Psikolog sekolahan. Psikolog sekolah menganjurkan untuk survey ihwal terapi paksa ke beberapa sekolah yang berhasil menerapkan terapi paksa. Harapannya saya bisa mengambil pelajaran agar sukses menerapkan "terapi paksa" kembali.

Si Bungsu sudah gagal dalam terapi paksa dan berakibat menjadi seorang bocah yang cengeng dan berantakan, ... lantas kenapa saya harus survey ? Bukannya lebih penting mengambil tindakan pemulihan dari dampak negatif yang terjadi ? Wilayah ini bangunannya sudah rubuh semua karena gempa, apakah kini saya harus survey tentang gempa ? Bagi saya lebih penting untuk membangun bangunan dan infrastruktur yang runtuh akibat gempa daripada saya keluyuran survey perihal gempa. Survey itu tidak menjadi hal penting saat ini karena bagi saya penanganan korban-lah yang menjadi lebih penting sebagai prioritas.
Permisalan lain, semisal seseorang telah teridap penyakit demam berdarah. Apa yang harus kita lakukan sekarang ? Membawanya ke rumah sakit ? Ataukah kita melakukan survey tentang wilayah sebaran demam berdarah ?

Setidaknya, 'terapi paksa' berdampak beberapa. Yang pertama adalah trauma terhadap hal - hal yang berbau sekolah seperti seragam, tas, gedung sekolah, hingga jalanan yang menuju ke sekolahannya. Kedua adalah Si Bungsu menjadi suka meronta dan memukul, ringan kepalan. Ketiga adalah hilangnya kepercayaan Si Bungsu terhadap Mama-nya gara - gara Mama-nya dianggap meng-khianati dirinya dengan meninggalkan di sekolah. Keempat adalah Si Bungsu menjadi pemurung. Sifat pemurung ini merupakan perubahan yang "tidak alamiah".

Dampak ketiga dan keempat bagi saya adalah bagian yang harus segera diselesaikan. Dalam insting saya, apabila psikologi Si Bungsu pulih menjadi ceria, dan kemudian kepercayaan kepada Mama-nya pulih, maka dampak pertama dan kedua akan lebih mudah ditangani. Dalam hitungan saya begitu. [] haris fauzi, 10 oktober 2013

No comments: