Hari itu tanggal 25 Oktober 2013, tercatat dalam carik tiket penerbangan. Sore itu saya hendak meluncur ke kota Malang. Dampak radang tenggorokan masih memberatkan kepala, suara ini masih setengah oktaf. Malam pekat menyelimuti badan ketika melangkah memasuki rumah Ibu di Joyogren, sebuah blok pemukiman di kaki kotip Batu.
Minggu pagi, 27 Oktober 2013, pagi yang panas untuk ukuran Joyogren. Ini pancaroba, itu alasannya. Saya nunut mobil adik saya guna meluncur ke makam Ayah di distrik mBunul. Tepatnya pemakaman umum Ngujil. Saya ingat, dua bulan lalu saya menjejak kaki ke Ngujil. Saya masih ingat bunyi riak sungai yang malas beradu dengan irama julur - julur bambu. Seperti biasa, di makam Ayah tidak banyak yang saya lakukan selain mendaras al-Fatihah, beberapa surat Juz-Amma, dan lantas do'a dan permohonan kepada Tuhan agar Ayah dijauhkan dari siksa kubur. Usai.
_________
Selasa, 29 Oktober 2013, Bogor. Hari itu adalah hari rutin. Duduk di jok mobil, duduk di kantor, perjalanan empat puluh kilometer pulang balik Bogor - Jakarta. Selepas Isya saya tiba di rumah. Sekira pukul delapan malam. Malam itu hari kedua saya berangkat tidur tanpa pengaruh obat radang. Tapi yang membuat malam itu istimewa adalah karena Sang Ayah hadir dalam sinema mimpi. Dalam durasi yang cukup lama, serta tidak hilang dalam ingatan sehingga paska subuh saya sempat mengangkat telpon dan menceritakan ihwal mimpi tersebut kepada Ibu. Beberapa mimpi mudah pergi dari ingatan ketika raga tersadar, namun yang ini tidak.
Sepertinya Sang Ayah berada di seberang, berbatas tabir kaca tebal yang jernih namun kedap. Mengingatkan beberapa lorong bandara. Saya berdiri berdampingan dengan Ibu, sementara Ayah berada diseberang mengenakan setelan putih - putih. Kami saling pandang, namun sekeras suara saya berteriak, Sang Ayah tak mendengar. Kami cuma bisa saling pandang. Ibu gelisah.
Mendadak Ayah tersenyum dan melambai, saya menjadi antusias berteriak - teriak serta membalas lambaiannya. Ayah tersenyum. Saya mengguncang - guncang Ibu agar Ibu sempat melihat sekilas senyum Ayah. Namun, dua kali Ibu kehilangan kesempatan itu. Pandangan Ibu tidak terpusat kepada Ayah. Dan ketika Ibu menghadap Ayah, senyum indah Ayah sudah lewat. Setelah itu Ayah pergi sambil melambai. Lambaian terakhir ini berhasil disaksikan Ibu.
Kelana mimpi memiliki skenario sendiri. Misterius. Selang saat beberapa, Ayah kembali muncul lebih dekat, ketika saya sendirian. Kali ini Ayah mengenakan jaket hijau dan kain sarung ungu. Setelan yang sering beliau pakai menjelang isya. Pula pengenakan arloji, yang masih asing bagi saya. Seakan - akan menunjukkan bahwa sang waktu sedang memburu, Ayah berjalan mendekat --dan tidak ada tabir--, lantas berkata," ... aku baik - baik saja, Le...". Saya terbata dan tertegun, mendadak terdengar adzan subuh yang membangunkan tidur. Waktu memang memburu. [] haris fauzi - 30 oktober 2013
No comments:
Post a Comment