Dakwah, secara intisari artinya adalah 'menyampaikan'. Menyampaikan kebenaran. Dalam term normatif, idealnya ada hal - hal yang dibedakan secara bahasa untuk hal - hal positif dan negatif. Contohnya "belajar" tentunya untuk mempelajari hal - hal positif, apabila untuk mempelajari hal - hal negatif, seharusnya tidak menggunakan kata belajar. Sempat terjadi perang opini ketika membicarakan nilai seni dalam sebuah keris. "Seni" adalah istilah yang digunakan untuk hal - hal positif, kecuali 'air seni'. Seni berguna untuk menjadikan hidup lebih indah. Namun, keris adalah alat pembunuh, tentunya tidak berhak dilekatkan kata 'seni', demikian juga dengan tank, meriam, dan sebagainya, bukan merupakan karya seni. Karena keris tidak membuat lebih indah, malah membuat hidup itu hilang / terbunuh.
Hal yang sama sering terjadi dalam dalam membicarakan ihwal "bid'ah" dalam term syariat ibadah. "Bid'ah" adalah hal - hal yang tak dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam ritual ibadah. Konotasinya adalah negatif. Tetapi masalahnya adalah "membukukan" mushaf juga tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW. Apakah ini bid'ah ? Akhirnya ada sebagian ulama yang menyatakan ada bid'ah baik dan bid'ah buruk. Sebagian lain menyatakan bahwa bid'ah selalu bersisi negatif, artinya, kasus mus'af bukan kategori bid'ah, melainkan inprovement. Biarlah. Semuanya benar.
Dakwah itu menyampaikan. Bila telah tersampaikan, ada dua tujuan, -seperti halnya pabrik-, yakni tujuan kuantitas dan tujuan kualitas. Tujuan kuantitas artinya bertambahnya ummat. Tujuan kualitas artinya meningkatnya kualitas hidup sesuai nilai - nilai yang didakwahkan. Jadi, dakwah adalah proses. Parameter-nya secara duniawi dinilai dari dua hal tadi, kualitas dan kuantitas.
Bila anda berdakwah tentang nilai - nilai Islam di suatu daerah, kemudian di wilayah tersebut jumlah kemalingan semakin sedikit, perekonomian naik (secara halal) dan sebagainya, maka secara kualitas sudah terjadi peningkatan. Dakwah anda berhasil. Namun perubahan sosial dari hasil dakwah tentunya tidak selalu mudah. Lihatlah sering kita jumpai walau di suatu daerah sudah banyak masjid dengan sejumlah jadwal kajian ta'lim yang dimotori oleh puluhan ustadz pendakwah, toh tak jarang kondisi sosial masyarakat stagnan. Maling masih ada dan tak kunjung hilang.
Juga bila anda berdakwah kemudian jumlah peserta / jamaahnya naik, maka dakwah anda sukses secara kuantitas. Secara jelas, keberhasilan kuantitatif ini bisa diukur dari jumlah orang. Jumlah jamaah ini bisa dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya jumlah keluarga yang diajak oleh rekan - rekan jamaah yang lain. Seperti halnya jaman Rasulullah SAW, parameter ekstrim-nya adalah bertambahnya jumlah muslimin atau masuknya orang non-muslim menjadi muslim. Jaman sekarang, keberhasilan pendakwah secara kualitatif bisa diukur dari banyaknya pengikutnya dan jumlah mu'alaf yang telah di-islam-kan. Parameter jumlah mualaf ini lebih nyata. Karena jelas - jelas ummat akan bertambah bila ada rekruitmen mu'alaf.
Bila kita hendak berdakwah namun secara kualitatif susah diukur, sementara dari sisi kuantitatif kita tidak mampu mengumpulkan jamaah, apalagi merekrut mu'alaf, bagaimana kita harus berdakwah ? Ada dua hal. Setidaknya kita memperbaiki kualitas diri dan keluarga. Ini secara kualitatif. Lantas, bila kita tidak bisa mengajak orang lain, maka cara untuk memperbanyak ummat adalah dengan memperbanyak anak keturunan. Sebagaimana pesan seorang ulama,"...perbanyaklah ummat islam dari keluarga dan kerabatmu...". [] haris fauzi - 29 nopember 2013