umur 10 : belajar merdeka
Yang saya ingat, pada umur 10 tahun saya kelas 5 SD. Sekolah saya sekolah tangsi, sekolah asrama. Didominasi oleh kenakalan anak kolong. Jaman dulu belum mengenal istilah 'bully'. Tapi 'job' itu ada. Istilah yang populer saat itu adalah "garap" atau "target". Jadi korban peng-garap-an dan korban "target-targetan". "Digarap" artinya dikerjain, dijadikan bulan - bulanan seperti pinsilnya dipatahkan, kepalanya dijitak, bukunya disembunyikan, dijadikan obyek lemparan air selokan, dan sebagainya. "Ditarget" artinya dimintain duit atau bekal, istilah sekarang "di-kompas" atau "di-palak".
Siapa yang melakukan ? Yang paling kerap melakukan tindak kejahatan ini adalah komplotan penguasa kelas dipimpin satu orang raja kelas. Kejadian "garap dan target' ini sudah ada semenjak kelas 3 SD, dan saya termasuk korbannya, hingga pada kelas 4 saya sempat mengadakan perlawanan kecil - kecilan. Menginjak kelas 5 SD saya mendeklarasikan sebagai siswa yang tidak mau di-target tidak mau digarap. Belajar merdeka. Dan bersiap untuk 'pertempuran' itu. Untuk itu mungkin sekitar seminggu sekali saya harus rutin berkelahi, baik di kelas, di lapangan, atau di jalanan, walhasil menjelang kelas 6 saya sudah tidak menjadi target lagi. Usaha itu telah berbuah.
Siapa yang melakukan ? Yang paling kerap melakukan tindak kejahatan ini adalah komplotan penguasa kelas dipimpin satu orang raja kelas. Kejadian "garap dan target' ini sudah ada semenjak kelas 3 SD, dan saya termasuk korbannya, hingga pada kelas 4 saya sempat mengadakan perlawanan kecil - kecilan. Menginjak kelas 5 SD saya mendeklarasikan sebagai siswa yang tidak mau di-target tidak mau digarap. Belajar merdeka. Dan bersiap untuk 'pertempuran' itu. Untuk itu mungkin sekitar seminggu sekali saya harus rutin berkelahi, baik di kelas, di lapangan, atau di jalanan, walhasil menjelang kelas 6 saya sudah tidak menjadi target lagi. Usaha itu telah berbuah.
umur 20 : belajar organisasi
Lepas dari tindak kejahatan 'bully" memang menyenangkan. Tingkat SMP hal itu tidak ada lagi, demikian juga SMA. Masa SMA malah masa sekolah sambil enjoy. Kebanyakan bercanda dibanding sekolahnya. Hingga akhirnya tahun 1990 masuk kuliah, dan mulai belajar mengenai kehidupan kampus. Umur 20 tahun saya kuliah semester 4. Pelajaran tentang idealisme mahasiswa makin mengakar seiring dengan masa aktivitas kemahasiswaan. Tidak hanya di kampus, di kampung-pun pelajaran organisasi sosial juga menjadi penyeimbang kegiatan kampus. Hingga nyaris lulus tiga tahun kemudian, rasanya saya lebih banyak belajar organisasi dibandingkan dengan belajar materi akademik. Namun hal itu tidak jadi mengapa, saya lulus tahun kelima kuliah dan langsung bekerja di perusahaan otomotif terkemuka. Di perusahaan tersebut -rasanya- saya juga lebih banyak belajar ketimbang bekerja. Sebuah perusahaan otomotif yang sudah demikian mapan, hal terbaik adalah mempelajari organisasi dan sistem yang bekerja disitu. Apalagi ?
umur 30 : belajar kepemimpinan
Rupanya memang belajar selalu tidak menjadikan cukup. Saya mendapat kesempatan untuk menerapkan hal tersebut, di perusahaan lain. Perusahaan baru yang bergerak di bidang manufaktur menjanjikan banyak tantangan. Lahan baru ini sungguh menyenangkan untuk eksperimen dan mempraktekkan ilmu yang sudah didapat sebelumnya. Ada satu hal utama yang saya pelajari disitu. Sebagai karyawan umur 30 tahun, saya termasuk generasi 'young guns' yang beruntung secara berangsur - angsur mencecap bangku jajaran manajemen. Saat itu ternyata masih harus belajar banyak lagi, yakni belajar menjadi pemimpin. Ilmu organisasi dari kampung dan kampus, sejatinya bekal yang bagus, tetapi tidak semuanya aplikatif di lingkungan pabrik. Hingga perjalanan waktu berkisar 10 tahun, anak tangga demi anak tangga manajemen naik perlahan tapi pasti, hingga jabatan terakhir sebagai kepala divisi. Generasi 'young guns' yang berhasil duduk diatas saya ada dua orang, yang satu menjadi general manager, yang satunya menjadi direktur. Saya tidak kesampaian menembus jajaran atas manajemen.
umur 40 : belajar menghadapi kegagalan
Memimpin anak buah di perusahaan yang berjalan mapan dan memiliki banyak pekerjaan produksi, ternyata jauh lebih mudah dibandingkan ketika perusahaan tersebut tidak ada pekerjaan produksi. Sesibuk-sibuknya mengatur produksi, masih lebih baik daripada ketika pabrik lengang. Anak buah yang tidak ada pekerjaan sangat riskan konflik, apalagi ketika perusahaan mulai seret keuangan. Teror dari karyawan hingga cekcok di level pemimpin dan manajemen perusahaan menjadi hal yang umum terjadi. Konsistensi menjadi hal penting dalam hal kepemimpinan , utamanya dalam keadaan genting. Seseorang tidak akan percaya kepada pimpinan yang gamang. Dan ketika 'trust' itu hilang, maka kemungkinan akan terjadi chaos.
Setelah terjadi defisit keuangan yang sangat parah, disertai beban hutang yang besar, akhirnya badai kebangkrutan itu tiba. PHK mulai bergulir. Disinilah saatnya belajar tentang kegagalan. Dalam keadaan gagal, banyak pengecut-pengecut bermunculan. Bila dalam keadaan sukses maka akan banyak oportunis mencari peluang menggaruk, maka dalam keadaan gagal akan muncul para oportunis mencari keselamatan diri - sendiri.
Ada yang lucu ketika pimpinan saya, seorang direktur utama, berceramah di ruang sidang manajemen. Dia berkeluh-kesah," ... dalam keadaan perusahaan susah, saya itu kerja sendiri. Karyawan hanya menuntut ... Sementara ketika saya telpon ke pemodal, panggilan saya tidak diangkat... pun ketika saya SMS tidak dibalas...".
Mengapa saya bilang lucu ? Itu sebuah keluhan yang kekanak-kanakan. Karena dia-pun berlaku demikian, ketika saya telpon maka sang direktur tadi tidak pernah mengangkat panggilan saya. Pun ketika saya SMS beliau tidak pernah membalas. Kegagalan tidak selamanya bisa dihadapi dengan mudah, bahkan oleh seorang direktur utama sekalipun. [] haris fauzi - 26 nopember 2013
gambar : kompasiana
gambar : kompasiana
No comments:
Post a Comment