Sebetulnya, perlu saya akui,
betapa malas saya menuliskan hal ini. Inilah tulisan saya, yang sejatinya
sangat tidak ingin saya tulis. Adik saya pernah bilang,” enam orang ahli
politik, membahas satu hal, akan menghasilkan tujuh teori”. Itulah kenapa saya
malas, namun, sepertinya jejak rekam versi saya harus saya tuliskan, setelah
itu sudah. Karena saya berharap tulisan versi saya ini salah.
Bagi saya, perseteruan cicak
versus buaya ini seiring pergantian rezim. Kita harus ingat sekitar lima tahun
lalu mengapa ketua KPK Antasari Azhar masuk bui. Pemenjaraan Antasari ini
seakan tidak terpublikasi karena tertutup gegap gempita-nya kisah sandiwara Rambo
Densus 88 mengobrak – abrik sarang teroris. Salah satu yang membuat Antasari
dijebloskan penjara adalah rencana Antasari untuk membongkar kasus skandal Bank
Century. Kemudian ternyata Antasari masuk bui gegara wanita, sementara
penggantinya, duet Bibit-Chandra, akhirnya dipreteli Polri, dengan aktor utama
Susno Duadji yang melahirkan opera Cicak versus Buaya. Ada apa dengan kasus
Century ? Century adalah kasus yang dipandang bisa menjatuhkan penguasa saat
itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Antasari dipandang terlalu nekad hendak
mengangkat kasus tersebut. Namun, di akhir cerita, cukup sampai aktor Sri
Mulyani yang terseret – seret.
Babak berikutnya, masih dalam era
SBY, opera cicak vs buaya menyurut dengan menghasilkan ketua KPK berada digenggaman
Abraham Samad, orang yang konon sudah tiga kali ikut tes pencalonan ketua KPK
dan baru berhasil dikali ke tiga. Samad akhirnya dilantik presiden SBY. Samad
terkenal galak, banyak kasus yang Samad hajar, namun tidak galak untuk kasus
Century dan Hambalang. Kasus Hambalang
konon juga mengarah ke keluarga Cikeas, namun, lagi – lagi, berhenti di sosok Anas
Urbaningrum dan Nazarudin. Anas ketua partai Demokrat akhirnya dendam kepada
klan Cikeas, sementara Nazarudin sang bendahara partai yang akhir – akhirnya linglung
dan stress. Track record KPK di era Abraham Samad sukses menahan laju kasus Century
dan Hambalang. Dua kasus yang kemungkinan besar bakal menggusarkan SBY.
Jaman berganti, setelah dua
periode menjadi presiden, SBY akhirnya lengser dan naiklah presiden baru Jokowi,
sosok yang selalu berada dalam bayang – bayang Megawati, ketua PDIP. Sebagai
mantan presiden, Megawati juga sejatinya bisa terlilit kasus. Kasus yang
potensial membelitnya adalah kasus BLBI. Naiknya Jokowi menjadikan angin segar
bagi Megawati. Masalah BLBI bisa terkunci seandainya Kapolri dan KPK tutup
mulut. Masalah Kapolri, Megawati percaya kepada calon tunggalnya, Budi Gunawan.
Catat, Budi Gunawan adalah orang yang dipandang oleh Megawati sebagai sosok
yang mampu meredam kasus BLBI yang menjadi ancaman Megawati. Namun apa lacur, boro
– boro dilantik menjadi Kapolri, Budi Gunawan malah dicekal KPK-nya Samad, dijadikan
tersangka dan dijerat dengan kasus rekening gendut. Skenario Jokowi untuk mengamankan
Megawati-pun kocar – kacir gara – gara ulah Samad.
Lantas, kenapa Samad baru
menjerat Budi Gunawan sekarang ? kenapa tidak dari dulu ? ini tidak lepas dari
urusan perseteruan antara Megawati dan SBY. Konon, Samad merasa bila Budi
Gunawan tampil menjadi pejabat Polri, maka ruang gerak Samad yang hendak
memperkarakan BLBI akan terhambat. Dan lagi, rencana Samad untuk mengulur-ulur
kasus Hambalang akan terbongkar. Banyak beredar kabar, bahwa sebagai orang yang
diangkat oleh SBY, Samad masih pro-Cikeas. Sementara Budi Gunawan, sebagai
pro-Megawati, jelas – jelas selain harus mengamankan Megawati, juga akan
membawa misi membongkar rezim Cikeas. Ini memang baru dugaan semata.
Maka, terjadilah kegaduhan cicak
vs buaya jilid kedua. Polri yang secara institusi menjagokan Budi Gunawan
(otomatis pro-Megawati) secara sistematis membalas pencekalan Budi dengan aksi menggoyang
KPK. Pimpinan – pimpinan KPK dijerat satu - persatu masuk bui. Disisi lain Budi
Gunawan berjuang keras di pra-peradilan untuk memuluskan jalan menjadi Kapolri,
sementara Jokowi sebagai presiden belum juga memutuskan pilihannya terhadap
calon Kapolri. Jelas, Budi Gunawan masih berharap banyak. Sementara pimpinan
KPK termasuk Samad mulai tak-berkutik.
Ada aktor ketiga dalam opera KPK
versus Polri, yakni Parlemen. Bagaimana ceriteranya sosok Budi Gunawan ketika
di sidang parlemen bisa lolos fit & proper test calon Kapolri dengan sangat
mulus, padahal masyarakat semua mengetahui bila Budi tersangka kasus rekening
gendut. Parlemen yang dimotori koalisi pendukung Prabowo, dengan senjata “rekening
gendut” sejatinya bisa saja mengganjal Budi yang merupakan jago tunggal
presiden Jokowi tersebut. Namun itu tidak dilakukan koalisi Prabowo, mereka
malah meloloskan dengan sukses. Disini Prabowo sungguh jeli, koalisi Prabowo
sadar, bola muntah nan panas ini adalah ring tinju bagi rezim Cikeas (SBY)
versus rezim PDIP. Mangkanya, Prabowo lepas tangan. Tidak mengganjal proses
Budi. Koalisi Prabowo tidak mau turut campur sebagai petinju ketiga. Maunya
sebagai penonton saja. Walhasil opera cicak vs buaya ini makin memanas, apalagi
ketika Budi Gunawan lolos di pra-peradilan maka suasana makin gaduh.
Kegaduhan rezim ini menyurut
ketika Panglima Moeldoko meradang dan hendak turun tangan bila eskalasi cicak
vs buaya terus meningkat. Walhasil presiden Jokowi segera beres-beres, Jokowi
memutuskan kepastiannya tidak akan melantik Budi Gunawan, demi menentramkan
suasana. Namun, untuk mengamankan sang ibu Megawati, Jokowi juga mengganti
pimpinan KPK. Walhasil Samad, ketua KPK yang selama ini menahan laju kasus
Hambalang, akhirnya lengser. Gertakan
Samad tentang kasus BLBI juga menguap.
Ada nada minor tentang Samad
dalam kasus ini. Konon, keputusan Samad hendak membongkar BLBI adalah karena kekecewaannya
kepada PDIP yang tidak mau menerimanya sebagai Cawapres mendampingi Jokowi.
PDIP memilih Jusuf Kalla. Namun juga, secara kebetulan Samad diidentifikasi
sebagai partisan organisasi garis keras yang diduga berideologi non demokrasi.
Maka dengan ini-pun gayung bersambut untuk menjebloskan Samad. Organisasi Samad
dianggap anti amerika. Penjeblosan Samad-pun terlegitimasi. Nada minor ini
sebetulnya tidak penting dalam bahasan rezim, kecuali sekedar mengukuhkan bahwa
rezim yang berkuasa memang memiliki hubungan baik dengan amerika. Itu saja.
Yang patut digaris-bawahi adalah
bahwa dua institusi, Polri dan KPK, sejatinya adalah pos - pos penting bagi
suatu rezim untuk melanggengkan kekuasaannya, menyelamatkan dari jeratan hukum.
Lihatlah betapa gamblang kasus Century dan Hambalang, namun tidak kunjung
terkuak di jaman SBY. Dengan bergantinya rezim maka dari sini bisa kita
prediksi dua kemungkinan. Dengan komposisi KPK baru pilihan Jokowi, maka kasus
BLBI akan masuk kotak, dan Hambalang + Century-lah yang bakal terkuak. Mengapa
? Jamak semua orang faham, Megawati tidak menyukai manouver – manouver klan
Cikeas yang banyak merugikan PDIP. Saya tetap berharap, tulisan saya salah. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment