Sholat terbaik adalah berjamaah, dengan posisi shaf pertama, atau shaf satu. Ada dua kali kejadian yang saya catat tentang betapa bernafsunya seseorang untuk mendapatkan predikat terbaik tersebut. Yang pertama adalah kasus yang tipikal sekali. Saya sudah berdiri di deretan pertama alias shaf satu. Saya bisa berdiri disitu ya karena saya datang lebih awal.
Ini ceritanya sholat belum di mulai, baru persiapan senyampang iqamah. Seiring iqamah dan instruksi imam ihwal merapatkan dan meluruskan shaf depan, maka berbondong - bondonglah para jamaah maju ke depan untuk mengisi ruang shaf depannya. Yang masih kosong, --atau lega-- segera diisi. Renggang - renggang begitu, bisa dirapatkan dengan baik. Idealnya demikian.
Ini ceritanya sholat belum di mulai, baru persiapan senyampang iqamah. Seiring iqamah dan instruksi imam ihwal merapatkan dan meluruskan shaf depan, maka berbondong - bondonglah para jamaah maju ke depan untuk mengisi ruang shaf depannya. Yang masih kosong, --atau lega-- segera diisi. Renggang - renggang begitu, bisa dirapatkan dengan baik. Idealnya demikian.
Selain itu, ternyata ada juga shaf yang sudah mepet, masih saja disisipi oleh jamaah. Maksud saya begini, shaf itu sudah relatif rapat, namun seseorang masih berusaha mengisi, dengan meminimalisasi jangkah kaki. Artinya kaki dia rapat, dan memaksa sebelah - sebelahnya untuk merapatkan kaki hingga pundak ini berselisih tumpang tindih saking rapatnya barisan. Ini sering saya alami sendiri. Bukan saya yang memaksa maju, tetapi kala itu ada jamaah yang memaksa untuk maju dari belakang saya, menyisip --atau meyusup ?-- masuk di sebelah saya. Okelah sesak sedikit tidak mengapa.
Namun seperti yang sudah saya duga, dengan berjalannya sholat rakaat demi rakaat, penyusup tadi mulai melebarkan jangkah kakinya sehingga memaksa saya untuk merapatkan jangkah kaki saya. Kenapa demikian ? Saya adalah tipikal orang yang "terlambat" dalam gerakan sholat. Maksudnya, saya baru bergerak ketika imam benar - benar usai mengucapkan "Allahu Akbar", sehingga saya terlambat gerakannya. Keterlambatan gerakan saya selalu didahului oleh para jamaah lain yang bergerak ketika imam baru memulai ucapan takbir-nya. Memang dalam hal gerakan ini ada dua versi, gerakan ketika takbir, atau gerakan setelah takbir. Saya berafiliasi dengan yang "gerakan setelah takbir". Tentunya jamaah yang bergerak duluan, dia bisa menentukan posisi dirinya lebih dahulu. Termasuk ketika bangun dari sujud, tentu dia lebih dahulu menjangkah-lebarkan jarak dua kakinya, sehingga semula di berjangkah sempit, kini giliran saya yang kebagian kesempitan.
Apa hasilnya ? Makin berjalannya rakaat, saya makin "terdesak", hingga akhirnya ketika duduk tahiyyatul akhir, saya benar - benar terjepit, dan akhirnya memutuskan maju sekitar dua puluh senti meter agar saya bisa duduk tasyahud akhir dengan benar. Walhasil, barisan saya sudah tidak lurus lagi. Jelas ini mengganggu kelurusan shaf, dan lebih jelas lagi, hal ini mengganggu kekhusyu'an sholat saya, karena saya kelalu kebagian "nggak enak-nya".
Itu kasus pertama. kasus kedua adalah ketika saya sudah datang duluan dan tentunya langsung bisa memilih lokasi. Pas itu anak saya Si Bungsu ikut. Walhasil saya dan Si Bungsu duduk di shaf terdepan, karena memang datang lebih awal, dan kami memilih di ujung kiri. Karena si Bungsu --yang masih berumur enam tahun-- memang pinginnya bersebelahan dengan saya dan tembok, dia tidak suka bersebelahan dengan orang asing.
Menjelang iqamah, ada seorang bapak - bapak berbaju gamis dengan prejengan ustadz menyuruh anak saya pindah ke belakang. Praktis Si Bungsu tidak mau, dia maunya di sebelah ayahnya. Orang itu terus "mengganggu"Si Bungsu hingga cemberut dan menggelandot di kaki saya.
Akhirnya saya ikut rembug. Saya memperingatkan orang itu --baik-baik-- bahwa Si Bungsu ogah berpisah dengan Ayah-nya. Entah karena bebal, orang itu tetap mengganggu Si Bungsu dan tetap saja dia menyuruh agar Si Bungsu mundur. Katanya," Shaf pertama buat bapak - bapak....anak - anak di belakang...".
Menjelang iqamah, ada seorang bapak - bapak berbaju gamis dengan prejengan ustadz menyuruh anak saya pindah ke belakang. Praktis Si Bungsu tidak mau, dia maunya di sebelah ayahnya. Orang itu terus "mengganggu"Si Bungsu hingga cemberut dan menggelandot di kaki saya.
Akhirnya saya ikut rembug. Saya memperingatkan orang itu --baik-baik-- bahwa Si Bungsu ogah berpisah dengan Ayah-nya. Entah karena bebal, orang itu tetap mengganggu Si Bungsu dan tetap saja dia menyuruh agar Si Bungsu mundur. Katanya," Shaf pertama buat bapak - bapak....anak - anak di belakang...".
Sedemikian bernafsunya bapak tadi untuk merebut shaf Si Bungsu menjadikan Si Bungsu sedikit rewel, hingga akhirnya beberapa detik menjelang sholat mulai saya memutuskan untuk mundur ke shaf paling belakang. Artinya saya dan Bungsu mundur ke belakang. Rupanya bernafsu sekali dia merebut sesuatu dari anak kecil, membuat saya mengalah jua.
Sekali lagi, kejadian ini mengganggu ke-khusyu-an sholat saya, hingga akhirnya saya nyaris memutuskan untuk tidak mau bersalaman dengan dia. Di masjid tersebut, usai wirid dan doa dilakukan salaman keliling, dan ketika saya bertatap muka dengan bapak tadi, nyaris saya tidak mau bersalaman.
Sekali lagi, kejadian ini mengganggu ke-khusyu-an sholat saya, hingga akhirnya saya nyaris memutuskan untuk tidak mau bersalaman dengan dia. Di masjid tersebut, usai wirid dan doa dilakukan salaman keliling, dan ketika saya bertatap muka dengan bapak tadi, nyaris saya tidak mau bersalaman.
Apa dampaknya ? Si Bungsu tidak mudah lagi diajak ke masjid, khususon wabil khusus ke masjid tersebut. [] haris fauzi, 27 april 2016