Saturday, December 03, 2016

212

Mobil yang kami tumpangi beranjak dari Jatiasih sekitar pukul enam pagi. Kurang sedikit. Menuju silang Monas. Sepanjang mengukur jalan, kami bermain tebak perkiraan. Karena menurut perkiraan kami, mereka yang berada di jalanan kala itu, separuhnya hendak menuju lokasi yang sama, Monas. Tak bisa dipungkiri bahwa mereka ternyata demikian banyak, sebagian terinspirasi dengan longmarch para ulama dan santri Ciamis yang fenomenal itu.

Menjelang menuju akses tol dalam kota, jalan tol lingkarluar kondisi lalu-lintas sudah merayap. Rupanya tol dalam kota arah Semanggi sudah mengantri panjang sekali. Kebanyakan peserta aksi 212 memang merencanakan hendak melalui tol Grogol menuju kawasan Sudirman, lantas menuju Monas. Melihat gelagat ini, kami memutuskan untuk menempuh jalan lain, yakni tol dalam kota arah Priuk. Rencananya akan menuju silang Monas melalui pintu tol Cempaka Putih, Jalan Soeprapto, Senen, Kwitang.

Turun tol Cempaka Putih, kami beriringan dengan banyak peserta aksi 212. Akhirnya kami semua tertambat di bilangan Galur. Memarkir kendaraan. Turun. Dan lantas melanjutkan perjalanan menuju Monas dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan berjalan kaki dari Galur menuju Kwitang, partisipasi warga sekitar begitu tinggi kepada para peserta aksi. Semua warga mendukung aksi 212, yang ingin menyuarakan "Hukum Penista Al-Qur"an". Wajah - wajah penuh harap dari warga sekitar dipancarkan dengan tulus sambil menyodorkan minuman dan makanan, berharap diambil oleh para peserta aksi yang tengah berjalan berombongan. Para mujahid menerima dengan suka cita, bahkan ada beberapa mujahid yang tetap menerima uluran tangan para warga yang terus menyodorkan air minum, walau sudah keberatan membawanya. Mereka enggan menolak uluran ikhlas para warga yang mendukung aksi ini.

Pergerakan mujahid ini mulai terhambat memasuki area simpang Kramat karena bertemu dengan peserta yang datang dari arah Salemba menuju Kwitang. Dan jalanan makin sesak di silang Tugu Tani. Massa semakin rapat. Rombongan kami tertahan di depan screen Gambir. Tidak bisa maju lagi. Dan akhirnya menggelar sajadah membentuk shaf sholat jum'at di situ. Waktu menunjukkan sekitar pukul 10.30. Saat itu ustadz Abdullah Gymnastiar memberikan tausyiah.

Tak lama setelah do'a bersama dipimpin oleh ustadz Arifin Ilham yang demikian fenomenal, maka dikumandangkan adzan. Ketika ini terkabar informasi bahwa jamaah mujahid dibelakang kami sudah mengular hingga Kwitang dan Cempaka Putih. Subhanallah. Semula kami tak percaya hal ini. Namun ketika kami pulang sekitar pukul dua siang, barulah kami percaya. Bis - bis yang membawa peserta aksi 212, berparkir ria terhampar sepanjang jalan Soeprapto dari Galur hingga Sumur Batu ! Ratusan bis terjajar rapi disitu.

Bila dibelakang saya terhampar shaf hingga Kwitang, sementara ujung Semanggi hingga mencapai Thamrin, bisa dibayangkan berapa banyak manusia mujahid mujahidah melauti Jakarta. Konon mencapai 5-6 jutaan. Mereka berdo'a dengan damai. Berdo'a agar Si Penista dihukum dengan setimpal.

Pada opini koran Republika 3/12, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menulis kolom berjudul "Pesan Aksi Damai 212". Dalam tulisan tersebut Nashir berpesan, bahwa Si Penista Agama seyogyanya dihukum dengan setimpal. Jadi, walau sekarang atmosfirnya adalah berdo'a dan berzikir, tetap saja pesannya adalah tuntutan hukuman kepada Si Penista. Tetap. Sesuai dengan fatwa MUI yang harus dikawal.

Seperti saya tuliskan di atas, kami mulai membubarkan diri usai berjamaah sholat jama' ashar, sekitar pukul setengah dua siang. Dan pergerakan mujahid mujahidah ini baru terurai sekitar pukul empat sore. Dan itu semua terjadi dengan damai, tenang, tertib, indah. Media - media islamphobia yang semula sinis, kini berbalik meng-"klaim" keberhasilan Umat Islam ini. Banyak media yang sebetulnya tersadar akan damainya Islam, tapi masih malu - malu mengakui. Mungkin masih butuh waktu. Jadi Aksi Bela Islam III-
212 ini mengirimkan pesan dua hal, pertama adalah pembuktian Islam Damai, dan kedua adalah tuntutan hukum setimpal kepada penista Al-Qur'an.

Bila membahas mengenai penerapan hukum kepada pelaku penistaan Al-Qur'an, kali ini negara sepertinya tidak siap. Dan, akhirnya Umat Islam harus membantu menyadarkan para pejabat negara bahwa pelakunya harus dihukum setimpal. Lihat saja bagaimana Majelis Ulama Indonesia harus mengeluarkan fatwa agar para pejabat sedikit melek kepada kasus ini. Bagaimana para Ulama harus bertentangan dengan para backing - backing berkekuatan dana besar yang tidak menyukai rilisnya fatwa MUI. Mereka kemungkinan adalah para cukong yang memiliki kepentingan tertentu. Ini masalah serius. Dan rangkaian Aksi Bela Islam, jilid I-III ini berusaha menyadarkan kepada para pejabat bahwa Islam itu damai, dan juga bahwa kasus penistaan itu serius. Total jenderal dari tiga aksi yang telah di gelar, insya Allah sekitar 8 juta suara rakyat Indonesia. Kedelapan juta suara itu masuk ke telinga pejabat negara. Insyaa Allah terdengar. Suara 8 juta orang yang turun jalan dan berteriak, apakah mungkin tak terdengar ?

Bayangkan. ketika Al-Qur'an dinista, dan ketika si pelaku seakan kebal - bebal dan bebas berkeliaran. Maka jutaan umat Islam melakukan protes turun jalan. Protes turun jalan yang pertama, kemudian kedua --diikuti sekitar 2,3 juta mujahid.  Dan paska Aksi Bela Islam II ternyata si Penista masih saja gentayangan, maka Aksi Bela Islam III pada 212 pesertanya membengkak menjadi lebih dari lima juta orang, membengkak 100%. Ada yang bilang lebih dari 7 juta. Jumlah peserta itu terus saja membesar dan terus membesar, menuntut si Penista dihukum. Apakah pejabat negara menunggu membesar hingga meledak ? Wallahu'alam. Saya jelas tidak faham bagaimana sensitivitas gendang telinga pemerintah. Yang saya yakin adalah bahwa para mujahid dan mujahidah itu siap jiwa raga membela Al-Qur'an. Saya sangat yakin, apapun resikonya. [] haris fauzi, 3 desember 2016.

No comments: