Saturday, December 07, 2019

Tiga Sindiran

Pertengahan bulan Nopember 2019, ada kejadian unik. Seseorang bernama Sukmawati -putri presiden pertama RI-- diberitakan telah membanding - bandingkan jasa Presiden Soekarno. Dibandingkan dengan siapa ? Dibandingkan dengan Rasulullah Muhammad SAW. Dilakukan didepan audien umum, pesertanya kebanyakan kalangan muda. Ulah Sukmawati ini menimbulkan kegaduhan dan ketersinggungan ummat Islam. Ada yang kemudian mengajukan proses hukum, walau sampai detik ini belum ada kejelasan prosesnya. Ini adalah sindiran pertama. Bisa jadi ini adalah bentuk 'test the water' atau semacam ujicoba terhadap resistensi ummat Islam di Indonesia ketika Rasulullah diperbandingkan. Apakah ummat Islam adem ayem saja ? Apakah ummat Islam cuek ? Apakah hukum berhasil menjerat Sukmawati ? Kita tidak tau. Sukmawati adalah orang yang dekat, bahkan sangat dekat dengan partai penguasa.

Bila memang ini bentuk test the water, entah siapa yang memesan uji coba ini. Dalam pandangan saya, kasus Sukmawati ini mirip kejadian sebuah tabloid puluhan tahun silam, tepatnya tabloid Monitor tahun 1990, yang mana saat itu tabloid Monitor memuat ranking berdasar jajak pendapat. Dalam ranking tersebut ada Rasulullah diperbandingkan dengan banyak orang lain. Walhasil redaktur tabloid tersebut disidang dan dipenjara dengan vonis 5 tahun. Saat itu hukuman untuk perbuatan mempermainkan Islam mungkin masih berjalan ketat.

Kasus kedua adalah diangkatnya Ahok menjadi Komisaris Utama PT. Pertamina pada akhir bulan Nopember 2019. Selisih sekitar 10 hari setelah munculnya kegaduhan kasus Sukmawati. Seperti diketahui, Ahok pada kisaran September 2016 dianggap mempermainkan ayah suci Al-Qur'an, tepatnya surat Al-Maidah 51. Dari sinilah tenar kasus Al-Maidah 51. Hiruk - pikuk kasus Al-Maidah 51 ini begitu mendunia karena terekspos dan berlarut - larut.

Sebagaimana dimaklumi, mungkin karena Ahok adalah sosok yang dekat dengan kekuasaan, maka proses hukum terhadap Ahok berjalan lambat. Ummat Islam terpaksa melakukan unjuk rasa berulang - ulang --diselingi bentrok sana bentrok sini-- untuk memaksa Pemerintah agar meng-hukum Ahok. Inilah yang membuat kasus Al-Maidah 51 ini berlarut - larut. Setelah dipaksa oleh ummat Islam, akhirnya pada Mei 2017 pengadilan menghukum Ahok dengan vonis penjara selama dua tahun. Terjerat pasal penistaan agama.

Setelah selama dua tahun dipenjara, Ahok lantas bebas, dan diangkat menjadi Komisaris Utama Pertamina. Jabatan tertinggi di Pertamina. Lumayan kan ? Nyindir ke kasus Al-Maidah 51 ? Wallahualam.
Ini adalah kasus kedua yang berfungsi menguji sensitivitas ummat. Sama dengan kasus Sukmawati. Dalam kasus Ahok mungkin akan mengikuti hal - hal lain dan berkembang lebih lebar mengingat bahwa Ahok merupakan orang kuat, dekat kekuasaan, dekat konglomerasi, dan sosok yang pas dalam lingkaran oligarki --bila itu ada--. Bisa saja seperti itu.

Apakah ummat Islam sudah lupa dengan kasus Al-Maidah 51 ? Tentu tidak. Tetapi, bisa jadi ummat membiarkannya. Jadi, ini semacam test the water juga untuk ummat Islam.

Kasus besar ketiga adalah pidato tokoh NU yang dekat dengan kekuasaan, namanya ustadz Muwafiq. Ditengah rasa riang gembira ummat Islam akan tibanya hari Maulid Nabi Muhammad SAW, Muwafiq berpidato selama dua jam. Dalam pidato tersebut terselip sedikit problem, yakni Muwafiq menyebut Rasulullah di masa kecil sebagai anak yang "rembes". "Rembes" itu bahasa Jawa, artinya wajahnya tidak rapi dan tidak bersih. Kotoran mata dan ingusan, kasarannya begitu. Orang yang tidak mandi biasa disebut dengan "orang rembes". Sontak pidato Muwafiq ini mendapat respon kritik pedas. Beberapa saat setelah kasus tersebut meledak, Muwafiq meminta maaf. Namun entah kenapa ummat malah terbelah dua. Para simpatisan Muwafiq membela habis - habisan. Sementara ada pihak - pihak seberangnya memperkarakan ke ranah hukum. Hingga saat ini keadaan belumlah beres seratus persen, walau hiruk - pikuk sudah mereda setelah beberapa media memuat bahwa Muwafiq mengaku bersalah dan meminta maaf. Hiruk pikuk sempat melebar ke perseteruan bid'ah antara jamaah Salafi dengan NU sendiri.

Kasus "rembes" ini sindiran bagi ummat Islam. Yang mau saja terpecah - belah. Saya kurang faham, atas inisiatif siapa Muwafiq menyisipkan kata "rembes" ditengah tausyiahnya. Apakah dia sendiri ? Ataukan orang lain ? Yang jelas, sensitivitas ummat berbunyi alarm-nya dengan kasus ini. Rasulullah direndahkan. Beberapa organisasi Islam konon mengajukan kasus ini ke meja yudikatif. Muwafiq sendiri adalah seorang tokoh yang dekat dengan istana.

Tiga kasus ini, adalah sindiran bagi ummat Islam. Sindiran dalam hal memahami para tokoh yang melecehkan Islam, yang mana posisinya berada dalam lingkar kekuasaan. Apakah umat memiliki sensitivitas ? Bila memang ummat Islam memiliki sensitivitas terhadap ketiga kasus tersebut, harusnya kasus bisa diselesaikan, dengan catatan bahwa hukum bisa menindak dengan benar dan tegas. Terutama dalam kasus Sukmawati. Sebagaimana kasus Monitor tahun 1990.
Dalam kasus Ahok ada sedikit keunikan. Ternyata perusahaan BUMN sekelas PT.Pertamina memiliki pejabat mantan narapidana, kasus pelecehan agama pula. Setelah keluar dari penjara, Ahok mendapat penghargaan berupa jabatan bergengsi. Lepas dari pendapat bahwa konon Ahok dekat dengan kekuasan dan konglomerat. Ini yang mengganjal di hati ummat Islam.
Sementara untuk kasus Muwafiq, harusnya masalahnya sudah selesai karena Muwafiq telah mengaku bersalah dan meminta maaf, dan sudah pula dimaafkan. Yang belum tuntas adalah ketidak-puasan pemuja Muwafiq, yang masih saja merasa bahwa Muwafiq tidak bersalah. Tinggal itu masalahnya.[] haris fauzi - 07 desember 2019

No comments: